bisnis-logo

Stories

Kisah Indosat: Dari Soeharto, Megawati hingga Jokowi

PT Indosat Tbk. lahir dari pemodal asing. Diambil alih oleh Presiden ke-2 Soeharto. Kemudian dilepas ke investor asing oleh Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri. Presiden ke-7 Jokowi bertekad mengambil kembali. Apakah janji itu tinggal mimpi?

25 September 2021

A+
A-

Suasana Ballroom Hotel Borobudur bergemuruh. Suara riuh rendah pendukung pasangan calon presiden tak henti-henti bersorak-sorai. Tujuh tahun sudah momentum debat kandidat RI-1 berlalu. Meninggalkan memori janji yang belum dituai.

Malam itu, Minggu (22/6/2014), adalah debat ketiga calon presiden yang mempertemukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto dengan tema Politik internasional & Ketahanan Nasional. Jokowi, begitu biasa disapa, mendapat giliran menjawab pertanyaan Prabowo soal Indosat.

Prabowo yang mengenakan kemeja putih lengan pendek bertanya mengenai ambisi Jokowi pengadaan drone untuk menjaga kedaulatan NKRI. Menurut Prabowo, persoalan mendasar pertahanan saat ini adalah satelit.

Peran satelit, sambungnya, sangat strategis dalam ketahanan nasional. Masalahnya pada waktu pemerintahan Megawati Indonesia justru menjual perusahaan strategis, yaitu Indosat. Padahal Indosat memiliki orbit dua geostasioner di wilayah udara nasional.

“Apabila jadi presiden apakah akan dibeli kembali atau bagaimana?” ujar Prabowo.

Jokowi yang memakai batik Parang Lereng berwarna keemasan menjawab dengan mimik serius. Dia membela kebijakan Megawati ketika menjadi presiden pada 2002 melepas kepemilikan Indosat kepada asing.

Menurutnya, pada 2002 masih terimbas krisis 1998 sehingga anggaran negara terbatas. Untuk memenuhi pendapatan negara diperlukan divestasi Indosat. “Kita jangan berbicara kondisi normal, tapi bicara krisis dan imbas krisis. Keuangan APBN masih berat,” ujarnya.

Mantan Gubernur DKI itu berseloroh bahwa ada klausul dalam divestasi itu. Saham Indosat bisa dibeli kembali. Oleh sebab itu, dia berjanji di pemerintahannya akan mengambil kembali Indosat ke pangkuan Ibu Pertiwi.

“Ke depan kuncinya hanya satu, yaitu kita buyback [Indosat] kembali, kami ambil kembali, dan saham itu menjadi milik kita lagi. Oleh sebab itu ke depan ekonomi kita harus 7%,” tegasnya.

Satu periode berlalu pemerintahan Jokowi, dan beranjak ke tahun ketiga pada periode kedua, hilal pembelian Indosat belum tampak. Hingga akhirnya kepemilikan Indosat berpindah tangan tiga kali sejak dilepas ke asing 19 tahun lalu.

SEJARAH INDOSAT

Indosat didirikan pada 10 November 1967. Penanda dari tumbangnya Orde Lama, dan berdirinya Orde Baru. Soeharto ingin membuat lompatan jauh ke depan, dengan alih teknologi mempunyai satelit sendiri.

Namun, gagasan itu tersandung anggaran. Tak hilang akal, Soeharto mengundang pemodal asing untuk menjadi operator. Perusahaan telekomunikasi asal Amerika Serikat, International Telephone & Telegraph Corporation (ITT), ditunjuk menjadi investor.

Melalui anak usaha American Cable & Radio Corporation (ACR), berdiri Indosat pada 1967. Perusahaan ini sekaligus menjadi pemodal asing pertama sejak ketok palu UU Penanaman Modal Asing di Tanah Air. Modal asing pertama yang masuk ke kantong Indosat senilai US$6 juta.

Namun, pada 1980 Soeharto kecewa dengan Indosat. Pasalnya, tidak mau membangun infrastruktur kabel telekomunikasi yang menghubungkan Penang-Medan. Proyek itu dinilai ACR tidak sesuai dengan belanja modal perusahaan

Akhirnya, pemerintah Indonesia mengambil alih Indosat dengan skema akuisisi. Pemerintah percaya diri karena cuan besar dari booming minyak mentah dunia. Dengan merogoh kocek US$43,6 juta kepemilikan Indosat pindah ke NKRI.

Bisnis Indosat terus melesat. Hingga mencatatkan sejarah sebagai perusahaan telekomunikasi pertama yang melantai di bursa pada 1994.

Saking besarnya, Indosat bersama dengan Telkom - yang merupakan pemimpin pasar saat itu - membentuk PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada 1995, setahun setelah perusahaan pelat merah itu melantai di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange.

Selang 6 tahun setelah mendirikan Telkomsel, Indosat mengakuisisi Satelindo, dan membuat IM3, yang fokus pada layanan seluler, yang juga sebagai kompetitor Telkomsel di kemudian hari.

Nahas, yang terjadi 1 tahun setelah membuat IM3, atau tepatnya pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri justru melepas Indosat kepada asing. 

Pada tahun tersebut, pemerintah melakukan divestasi saham Indosat sebanyak dua kali. Pertama, divestasi 8,1 persen saham Indosat pada Mei 2002 dengan dana yang diperoleh sebesar Rp1,1 triliun.

Kemudian pada Desember 2002 divestasi 41,9 persen saham dengan memperoleh dana Rp5,62 triliun. Singapore Technologies Telemedia (STT), anak usaha Temasek Group, menjadi pemenang divestasi tersebut. Total dana  yang dikeluarkan Rp6,72 triliun untuk 50,04 persen saham.

Setelah enam tahun, STT melepas kepemilikan kepada Qatar Telecom atau Ooredoo, investor asal Qatar. STT tersandung UU KPPU mengenai klausul antimonopoli. STT melalui Singtel memiliki saham di Telkomsel sekitar 35 persen.

Pada Juni 2008 STT melepas kepemilikan Indosat kepada Ooredoo. Pemodal asal Qatar itu merogoh kocek US$1,8 miliar untuk 40,8 persen saham Indosat yang digenggam STT. Dengan kurs Rp10.000 per dolar AS kala itu, nilai transaksi sekitar Rp18 triliun.

Kemudian Ooredoo terus menambah kepemilikan hingga mencapai 65 persen, sedangkan pemerintah menguasai 14,3 persen saham, dan publik 20,7 persen. Komposisi itu berubah setelah aksi korporasi jumbo diresmikan 16 September 2021.

MEGA MERGER OOREDO-HUTCHISON

Adalah mega merger Indosat (ISAT) dengan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri). Pengumuman penggabungan kelompok usaha pada Kamis (16/9/2021) ini, sekaligus mengakhiri saga negosiasi pemilik perusahaan yang berbasis di Doha, Qatar, dan Hong Kong ini.

Negosiasi merger ini cukup dramatis. Sempat melewati dua babak perpanjangan waktu. Kedua pemegang saham akhirnya menemukan titik temu. Indosat dan Tri merger dan berada di bawah payung baru bernama PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk.

Sebelumnya Ooredoo memiliki saham sebanyak 65 persen di Indosat lewat Ooredoo Asia. Dengan merger ini, Ooredoo berbagi saham dengan Hutchison lewat Ooredoo Hutchison Asia dengan komposisi masing-masing 50 persen.

Tampaknya ada tranksaksi share swap di induk masing-masing dengan adanya pembagian kepemilikan di Ooredoo Hutchison Asia itu. Hutchison tercatat memiliki tambahan saham 16,7 persen di Ooredoo Group lewat tambahan transaksi sejumlah dana.

Dengan penggabungan ini, kepemilikan saham Ooredoo Hutchison Asia dari hasil merger meningkat menjadi 65,6 persen. Adapun saham pemerintah di Indosat Ooredoo Hutchison menyusut menjadi 9,6 persen dari sebelumnya 14,3 persen. Saham PT Tiga Telekomunikasi Indonesia 10,8 persen dan publik menjadi 14 persen.

Tak tanggung-tanggung, nilai transaksi merger ini diklaim mencapai US$6 miliar atau setara Rp85,62 triliun. Dengan penggabungan ini, bakal mengubah lanskap dan peta persaingan bisnis telekomunikasi, khususnya untuk segmen operator seluler di Indonesia.

Usai merger ini, tidak membuat Indosat Ooredoo Hutchison berada di kasta teratas industri telekomunikasi di Tanah Air. Jika mengacu laporan keuangan 2020 masing-masing perusahaan, kombinasi jumlah pengguna internet seluler Indosat dan Tri hampir mencapai 104 juta pelanggan.

Jumlah tersebut berasal dari pencapaian Indosat yang telah melayani 60 juta pelanggan pada kuartal II/2021 dan Tri Indonesia sebesar 44 juta pelanggan.   

Angka ini masih di bawah Telkomsel yang per kuartal II/2021 melayani 169 juta pelanggan. Angka ini bertambah sekitar 9 juta pelanggan secara tahunan.   

Adapun XL Axiata pada periode tersebut melayani 56,7 juta pelanggan atau setengah dari jumlah pelanggan Indosat Ooredoo Hutchison.

Aksi korporasi ini tentunya bakal semakin menjauhkan keinginan Presiden Jokowi untuk mengambil alih Indosat kembali ke Ibu Pertiwi.

Apalagi nilai transaksi dari merger itu mencapai Rp85,62 triliun, lebih dari 10 kali lipat divestasi saham saat pemerintahan Megawati, Rp6,72 triliun.

Apakah Prabowo berani menagih janji Jokowi saat kampanye Pilpres tujuh tahun lalu untuk membeli kembali Indosat? Mengingat saat ini mereka di dalam satu kapal Kabinet Indonesia Maju.

Penulis : Hendri T. Asworo & Rio Sandy Pradana
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Badai PKPU di Meja Hijau, Modus Apa Serius?

Next

Evergrande dan Potret Kerakusan Korporasi

back-to-top
To top