Company
Pandemi membuat penurunan daya beli. Akibatnya korporasi limbung. Pinjaman kepada pihak ketiga tidak terbayarkan. Kreditur hingga pemasok meminta kepastian pelunasan utang dengan menyeret korporasi ke pengadilan. Namun, ada juga modus pailit atau penundaan pembayaran utang untuk menghindar dari kewajiban. Siapa yang benar?
17 September 2021
Kesibukan terekam jelas di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, (15/9/2021). Para hakim niaga harus memproses empat perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam satu hari kerja.
Tiga perkara memasuki tahap penunjukkan juru sita, sedangkan satu perkara lainnya baru memulai sidang perdana.
Sejak pandemi terjadi, gugatan PKPU dan kepailitan melonjak bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya, kinerja ekonomi baik secara makro maupun mikro limbung akibat pandemi. Daya beli pun merosot.
Lesunya perekonomian memukul para pelaku usaha. Kondisi ini berimbas pada penurunan cash flow perusahaan yang berujung ancaman gagal bayar utang jatuh tempo.
Celakanya, di tengah kondisi yang serba sulit, perusahaan atau pihak yang sedang terdampak pandemi justru panen gugatan pailit dan PKPU. Mereka seolah terjebak dalam pilihan bayar utang atau dipailitkan.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus mengonfirmasi fenomena lonjakan gugatan tersebut. Dalam situs itu, tercatat permohonan perdata khusus PKPU dan pailit jika dihitung sejak awal tahun (year-to-date) mencapai 428 kasus per 14 September 2021.
Artinya jika menghitung 22 hari kerja per bulan, setiap hari para Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat harus menangani dua sampai tiga perkara perdata.
Catatan ini tentu mengabaikan hari libur sepanjang periode perhitungan. Jika memasukkan libur, jumlah perkara yang harus ditangani akan naik berlipat.
Menariknya, fenomena lonjakan permohonan pailit dan PKPU, tidak hanya di Jakarta. Lonjakan perkara juga terjadi di berbagai wilayah. Di kota Semarang misalnya, jumlah permohonan perdata khusus mencapai 56 perkara, Medan mencapai 47 perkara, sedangkan Makassar ada 9 berkas perkara.
Tidak mengherankan, jika Asosiasi Pengusaha Indonesia mengklaim ada sebanyak 1.289 permohonan PKPU dan Pailit dalam tiga semester terakhir. Terhitung hingga akhir Agustus 2021.
Adapun dari ribuan perkara ini, terdapat 22 perkara yang diajukan oleh perbankan dan lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sementara itu, pemohon lainnya berasal dari pemasok, rekan bisnis, bahkan kreditor yang berasal dari perusahaannya sendiri. Perinciannya 21 perkara permohonan sepanjang tahun berjalan dan satu lainnya carry over tahun lalu.
Perkara itu secara berurutan dari yang paling banyak yakni QNB Indonesia (4 perkara), OCBC NISP (3 perkara), Maybank (3 perkara), Bank Danamon (2 perkara), CTBC Indonesia (2 perkara), Bank Permata (2 perkara), Bank CIMB Niaga (1 perkara), Bank Syariah Indonesia (1 perkara), KEB Hana (1 perkara), BRI (1 perkara) dan Lembaga Penjamin Simpanan (1 perkara).
Khusus QNB, pengajuan PKPU bisa menjadi lima perkara jika memperhitungkan gugatan dari kantor di Singapura pada akhir 2020 lalu.
Aestika Oryza Gunarto, Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) menyebutkan PKPU dan pailit hanyalah salah satu alternatif penyelamatan ataupun penyelesaian kredit bermasalah.
"Pada dasarnya BRI memiliki berbagai cara dalam melakukan penyelamatan ataupun penyelesaian kredit bermasalah, baik yang dilakukan melalui upaya damai maupun melalui saluran hukum," katanya kepada Bisnis, Rabu (16/9/2021).
BRI memang hanya mengajukan satu pailit yang di Pengadilan Niaga Semarang. Sementara pertanyaan yang sama yang dilayangkan kepada Bank Permata, QNB, hingga BRIS sampai berita ini ditayangkan belum direspons.
Para pengusaha menuding gugatan pailit dan PKPU yang melonjak signifikan adalah cara kreditur untuk 'memaksa' debiturnya membayar tunggakan utang.
Meski demikian, tak semua dugaan itu tepat. Pasalnya dalam beberapa kasus, PKPU justru jadi ‘modus’ beberapa perusahaan untuk berkelit dari kewajiban utang.
Seorang praktisi hukum yang fokus di bidang kepailitan bahkan membenarkan adanya praktik tersebut.
PKPU kerap menjadi jalan pintas bagi suatu perseroan untuk keluar dari tagihan utang. Dengan status PKPU, suatu perseroan akan mempunyai waktu untuk negosiasi atau menawarkan proposal restrukturisasi utang.
Bisnis telah mencatat beberapa modus yang dilakukan perseroan untuk melakukan PKPU atas dirinya sendiri. Modus itu biasanya dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga, bisa seorang pegawai, anggota keluarga, atau korporasi baik yang langsung maupun tidak langsung memiliki afiliasi dengan termohon PKPU.
Skemanya, pihak terafiliasi itu mengajukan PKPU terhadap termohon. Permohonan itu kemudian dikabulkan oleh pengadilan. Termohon praktis menyandang status PKPU. Dengan demikian, segala bentuk penagihan utang atau cicilan pembiayaan dari kreditur lain atau non pemohon PKPU praktis akan berhenti.
Praktik itu lazim, karena undang-undang memberikan banyak proteksi bagi perseroan atau pihak yang telah menyandang status PKPU.
Dalam Pasal 242 Undang-undang Kepailitan dan PKPU, misalnya, dijelaskan bahwa suatu pihak yang sedang dalam status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) tidak dapat dipaksa membayar utang.
Itu artinya, semua tindakan eksekusi maupun penagihan utang yang telah dilakukan oleh kreditur lain harus ditangguhkan. Dengan demikian, perseroan hanya fokus untuk melunasi atau menegosiasikan utang kepada kreditur pemohon PKPU, tanpa takut ditagih dan asetnya disita oleh kreditur lainnya.
Bisnis, telah mengumpulkan beberapa kasus yang cukup menarik untuk membedah konflik kepentingan di balik maraknya gugatan PKPU. Kasus pertama adalah PKPU Grup Sritex dengan PT Bank QNB Indonesia Tbk. Kasus kedua adalah perseteruan antara Maybank Indonesia dan PT Pan Brothers Tbk (PBRX).
Dua contoh kasus ini laik menjadi perhatian. Pasalnya, kasus ini melibatkan kreditur perbankan dan debitur yang sama-sama memiliki nama besar di industri, terutama tekstil dan produk tekstil.
Perbedaannya, dalam kasus Sritex, perusahaan ini berstatus PKPU setelah kalah di pengadilan melawan CV Prima Jaya. PKPU Sritex sempat memunculkan isu tak sedap. Sebab, ada dugaan CV Prima Jaya memiliki hubungan dengan Sritex.
Keberadaan CV Prima Jaya dan nilai utang inilah yang sempat mendapat sorotan dari pihak QNB. Bank asal Qatar ini adalah lawan PKPU pemilik Sritex, Iwan Setiawan Lukminto.
Kejanggalan makin kuat karena utang yang disengketakan hanya Rp5,5 miliar. Padahal dalam laporan Keuangan Sritex 2020, perseoran memiliki kas senilai US$187,64 juta. Artinya dari sisi finansial, emiten tekstil itu sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar utang kepada Prima Jaya.
Meski demikian, pihak Sritex melalui Joy Citradewi selaku Kepala Komunikasi Perusahaan, menegaskan bahwa dugaan rekayasa gugatan PKPU yang tengah dialaminya dan 3 anak perusahaannya adalah tidak benar.
Sritex juga menampik hubungan antara Direktur CV Prima Karya, Djoko Prananto dengan keluarga besar Lukminto.
Sementara itu, dalam kasus PKPU Pan Brothers versus Maybank Indonesia, permohonan PKPU ditolak, lantaran ada putusan moratorium dari Pengadilan Tinggi Singapura.
Namun sengketa utang piutang antara Maybank vs emiten berkode saham PBRX itu tak sampai di situ. Usai permohonan PKPU ditolak pengadilan, Maybank mengambil langkah lebih radikal. Kali ini, mereka berniat mempailitkan Pan Brothers.
Permohonan diajukan, dan kasusnya masih dalam tahap persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sayangnya pihak PN Jakarta Pusat tak memberikan respons saat ditanya mengenai tren permohonan PKPU saat ini.
"Belum sempat meminta data, nanti kalau sudah sehat ya, " kata Humas PN Jakarta Pusat Pusat Bambang Nurcahyono, beberapa waktu lalu.
Lonjakan permohonan memperlihatkan adanya celah dalam rezim Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang berlaku saat ini. Rezim Kepailitan dan PKPU yang berlaku masih sangat sederhana, karena tidak mengatur threshold atau ambang batas nilai utang yang di PKPU-kan.
Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan dan PKPU, misalnya, hanya mengatur pengajuan PKPU dapat dilakukan jika kreditur memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Tak ada angka pasti, berapa baseline yang dijadikan syarat bagi pihak, baik individu maupun korporasi, untuk mengajukan PKPU. Akibatnya, setiap pihak yang dianggap terikat dengan perjanjian utang piutang dengan suatu perseroan begitu mudah mengajukan PKPU ke pengadilan.
Dalam kasus Sritex, emiten tekstil yang telah menyandang status PKPU sejak 6 Mei 2021, misalnya, perusahaan yang memiliki size economy cukup besar ini kalah melawan CV Prima Karya. Padahal, nilai utang yang disengketakan hanya Rp5,5 miliar.
Selain masalah ambang batas, masalah lain yang perlu menjadi sorotan serius adalah kerancuan mengenai pihak yang berhak mengajukan PKPU. Rezim PKPU existing mengatur bahwa pihak yang berhak mengajukan PKPU adalah debitur dan kreditur.
Padahal, best practice yang berlaku di sejumlah negara, pengajuan PKPU atau moratorium pembayaran utang seharusnya menjadi hak debitur. Bukan kreditur.
Pakar Hukum Kepailitan Universitas Indonesia yang juga Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik Revisi UU Kepailitan, Teddy Anggoro, beberapa waktu lalu mengatakan kelemahan itu menunjukkan bahwa dalam UU Kepailitan perlu segera diamandemen.
Teddy menyebutkan bahwa bahwa saat ini naskah akademik amandemen UU Kepailitan mulai dibahas.
Rencananya, amandemen UU Kepailitan akan menguatkan sejumlah substansi dalam beleid tersebut . Pertama, syarat PKPU akan ditambah jika sebelumnya 1 kali utang, ke depan akan ditambah menjadi 2 kali utang jatuh tempo.
Kedua, tim penyusun naskah akademik juga akan menentukan ambang batas minimum utang yang dimohonkan PKPU ke pengadilan.
Ketiga, amandemen UU Kepailitan juga akan menganulir substansi dalam Pasal 222 ayat 3 soal kewenangan kreditur bisa mengajukan PKPU. Teddy berpendapat kewenangan mengajukan PKPU adalah hak dari debitur bukan kreditur.
"Nanti di RUU amandemen kewenangan kreditur mengajukan PKPU akan saya hilangkan pak. Jadi ke depan enggak ada lagi debitur digugat PKPU sedangkan dia masih mampu membayar utangnya," katanya seperti dimuat Bisnis, Rabu (19/5/2021).
Di sisi lain, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah melakukan moratorium melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Pasalnya, ramainya perkara pailit tidak semuanya utang piutang yang seharusnya ditagihkan ke pengadilan. Dinilai ada penyimpangan atau moral hazard dari permohonan PKPU dan pailit yang diajukan kreditur kepada perusahaan di tengah pandemi Covid-19.
Ketua Satgas Apindo untuk PKPU dan Kepailitan Eka Wahyu Ningsih mengatakan hampir 95 persen pemohon PKPU dan kepailitan berasal dari kelompok kreditur yang menginginkan terjadinya pembayaran segera dari debitur.
“PKPU semata-mata menjadi momok bagi debitur kalau PKPU perdamaian ditolak, dia langsung jatuh pailit dan tidak ada upaya hukum, tidak bisa banding kasasi,” kata Eka saat memberi keterangan pers di Kantor Apindo, Jakarta Selatan Selasa (7/9/2021).
Malahan, kata Eka, terdapat sejumlah celah hukum dari UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang memberi kemudahan pemohon untuk mempailitkan perusahaan termohon.
Apindo mendorong pemerintah untuk menerbitkan Perppu Moratorium UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sampai dilakukannya amandemen terhadap undang undang tersebut.
“Pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat, peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja dan pengangguran yang disertai peningkatan kasus PKPU dan Kepailitan terhadap perusahaan yang menghasilkan nilai tambah ekonomi tinggi telah menimbulkan kondisi kedaruratan nasional,” kata dia.
Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebutkan PKPU dan kepailitan adalah langkah memberi kepastian bagi semua pihak.
Dia menilai PKPU menegaskan debitur harus menunaikan kewajibannya sebagai pertanggung jawaban terhadap kreditur keuangan, perbankan, maupun non-perbankan.
"Dalam kondisi tidak lagi bisa menunaikan kewajibannya, maka PKPU harus dibuka. Karena di PKPU itu akan menjadi transparan, berapa sebenarnya aset riil dari perusahaan, bagaimana kinerja keuangannya, [apakah] memungkinkan tidak dilakukan semacam kesepakatan bersama. Kalau kesepakatan bersama tidak bisa, maka masuk dalam proses kepailitan," tutur Bhima kepada Bisnis.com, Senin (6/9/2021).
Menurut Bhima, lonjakan kasus PKPU dan kepailitan saat situasi krisis merupakan hal yang biasa. Hal ini juga terjadi di negara lain yang kini terdampak oleh pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif LBH Konsumen Jakarta Zentoni mengatakan desakan moratorium itu bakal ditunggangi oleh debitur yang memiliki itikad tidak baik untuk menghindari kewajiban pembayaran utang di tengah pandemi belakangan ini.
“UU 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU saat ini masih relevan dan tidak perlu direvisi sebab adanya kesetaraan dalam UU tersebut baik dari sisi pengusaha sebagai debitur maupun dari sisi konsumen sebagai kreditur,” kata Zentoni melalui keterangan tertulisnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terus melakukan pemantauan secara detail atas perkembangan korporasi di berbagai level dan sektor usaha.
"Kami sekarang perhatikan adalah risiko dari restrukturisasi, PKPU, juga terjadinya kenaikan PKPU dan kepailitan," ujarnya pekan lalu.
KSSK menilai bahwa perlu terdapat penilaian seberapa dalam luka akibat Covid-19 terhadap perekonomian melalui pemantauan dan identifikasi dunia usaha. Nantinya, KSSK akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya, atau otoritas untuk terus menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Di Bawah Bayang-Bayang Skandal BLBI