bisnis-logo

Company

'Perkawinan' Gojek-Tokopedia, Akankah Euforia Bertahan Lama?

Pengumuman merger PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dengan PT Tokopedia memberikan efek kejut. Tak hanya kepada khalayak pengguna aplikasi berbasis digital tersebut, tetapi industri turunan yang bersinggungan dengan dua korporasi karya anak bangsa itu.

20 Mei 2021

A+
A-

GoTo, demikian nama holding dari ‘perkawinan’ Gojek dengan Tokopedia. Entitas ini akan menjadi induk dari dua perusahaan aplikasi berbasis daring tersebut. Ada tambahan lini bisnis, yakni GoTo Financial.

Lini usaha GoTo Finansial ini akan membidangi bisnis di sektor keuangan, mulai dari perbankan, asuransi, multifinance, hingga teknologi finansial.

Ada dua nakhoda di GoTo. Andre Soelistyo dari Gojek menjadi CEO Group GoTo, dan Patrick Cao dari Tokopedia sebagai Presiden GoTo. Pembagian ‘kekuasaan’ juga dilakukan di dua entitas anak usaha.

Kevin Aluwi yang juga menjadi Co-founder Gojek tetap menjabat sebagai CEO di perusahaan ride hailing tersebut. Posisi serupa ditempati William Tanuwijaya, yakni CEO Tokopedia.

Dalam sebuah wawancara, William Tanuwijaya menyebutkan bahwa GoTo akan disamakan dengan Alphabet Inc. milik Google. Perusahaan investasi yang mempunya lini bisnis lintas sektor dan fokus pada teknologi.

William sempat mengklaim bahwa GoTo akan menjadi perusahaan multi ekosistem pertama di dunia. Artinya, perusahaan yang menyatukan transportasi online dengan e-commerce beserta entitas turunannya, seperti pesan antar makanan, keuangan, logistik, dan lainnya.

Entitas turunan yang terkena dampak signifikan dari aksi korporasi ini adalah PT Bank Jago Tbk. Bank berkode saham ARTO itu sedari awal tahun sahamnya terbang terkena sentimen masuknya Gojek.

Bank yang diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan pengusaha Patrick P. Walujo itu ketiban berkah lonjakan harga saham mulai pengujung 2020. Sejak Juni 2020, sempat terjadi beberapa kali transaksi saham jumbo di pasar negosiasi yang melibatkan saham bank tersebut.

Akhirnya Gojek mengumumkan telah mengempit 22 persen saham Bank Jago pada 18 Desember 2020. Kabarnya, Gojek membeli saham publik lewat PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk.

Seperti diketahui Trimegah Sekuritas adalah milik Patrick P. Walujo melalui perusahaan investasinya, Northstar Group. Patrick juga seed funding Gojek ketika perusahaan ini baru dirintis oleh Nadiem Makarim.

Berdasarkan catatan Bisnis, pada 2020 total nilai transaksi saham ARTO di pasar negosiasi mencapai Rp2,25 triliun. Sejak menggelar initial public offering pada Januari 2016, saham bank yang semula bernama Artos tidak pernah melampaui level 200.

Sejak diambil alih Jerry dan Patrick saham ARTO to the moon. Begitu investor di lantai bursa menyebut. Saham Bank Jago sempat melesat di level Rp11.000 ketika Gojek masuk. Pun ketika pengumuman merger GoTo awal pekan ini.

Kapitalisasi ARTO hampir mendekati Rp150 triliun. Sempat menyikut PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. sebagai klasemen Big Caps. Namun, kinerja Bank Jago sampai saat ini masih merah.

Hingga kuartal I/2021 Bank Jago menelan kerugian Rp38,13 miliar. Berdasarkan catatan Bisnis, rapor merah ini melanjutkan kerugian yang dialami sejak 2015. Meskipun tahun ini manajemen optimistis akan mencetak laba sekitar Rp50 miliar.

Perusahaan Lippo

Entitas lain yang terdampak dari pengumuman merger GoTo adalah PT Multipolar Tbk. (MLPL) dan PT Matahari Putra Prima Tbk. (MPPA). Dua emiten ini ada di bawah bendera Lippo Group, milik konglomerat Mochtar Riady.

MLPL adalah pengendali MPPA. Adapun MPPA pemilik Hypermart. Belakangan pemilik gerai hipermarket ini melepas sebagian sahamnya ke Gojek.

Dalam keterbukaan informasi Selasa (11/5/2021), Direktur Multipolar Agus Arismunandar mengungkapkan 11,9 persen saham MPPA dilepas kepada PT Pradipa Darpa Bangsa, Panbridge Investment Ltd., dan Threadmore Capital Ltd. Transaksi itu dilakukan pada 6 April 2021.

Pradipa Darpa Bangsa yang kini menggenggam 4,76 persen atau 358,53 juta saham MPPA itu ada benang merah dengan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa.

Sebanyak 99,996 persen saham Pradipa Darpa Bangsa dimiliki oleh Gojek dan 0,004 persen dikempit PT Dompet Karya Anak Bangsa alias Gopay.

Andre Sulistyo yang kini menjadi CEO GoTo diketahui menduduki posisi komisaris utama di perusahaan yang bergerak di bidang jasa aktivitas profesional, ilmiah, dan teknis itu.

Adapun, Threadmore Capital Ltd. membeli saham MPPA sebanyak 3,81 persen atau setara dengan 286.824.700 saham. Threadmore Capital Ltd. merupakan perusahaan investasi yang berdomisili di Cayman Islands.

Terakhir ada Panbridge Investment Ltd. yang membeli 3,33 persen saham MPPA atau setara dengan 250.971.600 saham. Sama seperti Threadmore Capital, Panbridge juga diketahui adalah perusahaan investasi yang berdomisili di Cayman Islands.

Menurut informasi yang diterima Bisnis, dua perusahaan ini terafiliasi dengan Gojek. “Diyakini seperti itu,” ujar sumber yang mengetahui transaksi itu.

Namun, setelah transaksi itu, MLPL masih menggenggam 38 persen saham MPPA. Gojek memiliki kepentingan bisnis di sektor pengiriman bahan makanan yang belum tergarap serius di Indonesia.

Menurut L.E.K. Consulting, saat ini pasar pengiriman bahan makanan secara virtual di Indonesia mencapai US$1 miliar atau setara Rp14 triliun (kurs Rp14.000 per dolar AS) atau 0,3 persen dari PDB. Pasar e-groceries ini diramalkan melonjak ke US$6 miliar pada 2025 dipicu oleh pandemi.

Kongsi Gojek dan Hypermart akan mensinergikan bisnis pengiriman bahan makanan ke dalam GoMart. Hal ini tentu akan menggembungkan bisnis e-groceries anak usaha Lippo tersebut. Belum lagi sinergi pada e-commerce lain.

Dampak Senyap

Dampak yang tidak terdengar dari aksi korporasi GoTo adalah PT Blue Bird Tbk. Emiten berkode saham BIRD ini sebenarnya bersinggungan dengan Gojek. Pasalnya PT Aplikasi Karya Anak Bangsa telah menggenggam saham perseroan pada Februari 2020.

Memang kepemilikan saham Gojek di BIRD cukup tipis. Kala itu, PT Pusaka Citra diketahui menjual 108.207.016 saham dengan harga Rp3.800 per saham. Total nilai transaksinya adalah Rp411 miliar.

Sejalan dengan transaksi itu, porsi pemegang saham mayoritas PT Pusaka Citra, perusahaan milik keluarga Djokosoetono, di BIRD berkurang menjadi 31,52 persen dari semula 35,842 persen.

Meski ada aksi korporasi GoTo, saham BIRD terlihat anyep. Pada saat diumumkan merger Gojek-Tokopedia, Senin (17/5/2021) sahamnya ditutup merosot 3,47 persen menjadi Rp1.250 per lembar saham. Harga ini tentu jauh di bawah harga beli Gojek pada Februari 2020 sebesar Rp3.800 per saham.

Dampak senyap lain terjadi pada PT Adi Sarana Armada Tbk. Pemilik perusahaan jasa pengiriman Anteraja.id ini tak terlihat efek bola salju pada aksi korporasi GoTo.

Seperti diketahui Anteraja adalah milik pengusaha kakap TP Rachmat yang juga mertua dari Patrick Walujo. Anteraja berkongsi dengan Tokopedia untuk jasa pengiriman barang. Pada penutupan perdagangan Senin (17/5/2021), emiten kode saham ASSA ini susut 0,49 persen menjadi Rp2.030 per lembar.

Hal serupa terjadi pada PT Astra International Tbk. Emiten blue chip ini tercatat sebagai investor besar Gojek. Astra terlibat pada pendanaan seri D bersama Google dan lainya senilai US$1,5 miliar pada Januari 2018.

Kemudian Astra masuk kembali pada pendanaan seri F sebesar US$100 juta pada Maret 2019. Namun, saat aksi korporasi GoTo diresmikan, saham emiten berkode ASII itu menyusut 0,96 persen menjadi Rp5.175 per lembar.

Dampak tidak terlihat tentunya terjadi pada PT Telkomsel, karena bukan perusahaan publik. Padahal pada menit terakhir jelang pengumuman merger GoTo, anak usaha Telkom itu membenamkan investasi hingga US$450 juta. Yang terdiri dari November 2020 sebesar US$150 juta dan Mei 2021 senilai US$300 juta.

Begitu juga dampak tak kasat mata pada sejumlah entitas asing yang telah membenamkan duitnya di Gojek dan Tokopedia. Dampak bola salju itu akan terlihat ketika perusahaan berbasis teknologi itu melantai di bursa.

Pada tahun ini ditargetkan GoTo akan melantai di bursa. Mereka akan mencatatkan di bursa nasional dan Amerika. Euforia terhadap rencana GoTo go public cukup tinggi. Baik dari regulator hingga investor.

Karpet merah disiapkan Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Otoritas Jasa Keuangan. Proses IPO GoTo terancam oleh beleid BEI terkait klasifikasi papan pencatatan saham.

Pada aturan itu, perusahaan yang masih rugi tidak bisa dicatatkan pada papan utama, melainkan papan pengembangan atau akselerasi. Seperti diketahui, salah satu syarat untuk masuk ke papan utama adalah membukukan laba usaha pada satu tahun buku terakhir.

Adapun di papan pengembangan, emiten tak harus membukukan laba. Akan tetapi, harus memiliki proyeksi keuangan bahwa perusahaan memperoleh laba pada akhir tahun kedua, atau pada akhir tahun keenam untuk sektor khusus.

Euforia investor terlihat dari emiten yang bersinggungan dengan GoTo, seperti ARTO, MLPL, dan MPPA. Ada beberapa kalangan yang menilai terlalu dini euforia diberikan terhadap aksi korporasi ini.

Perusahaan terkait harus membuktikan kinerjanya. Hal ini tentu patut menjadi perhatian. Bila berkaca dari raksasa perusahaan media sosial Facebook saat melantai di bursa Nasdaq, New York, euforia sangat tinggi.

Pada hari pertama melantai di Nasdaq, 18 Mei 2021, saham Facebook ditutup di level US$38,23 per lembar saham. Namun, pada hari berikutnya terus turun, hingga mencapai titik terendah US$18,058 per lembar pada 31 Agustus 2012.

Saham Facebook baru mencapai level yang sama saat IPO pada 18 Mei 2013. Investor institusi dan ritel Facebook sempat kelimpungan dengan antiklimaks penurunan harga saham tersebut. Namun, bila bersabar, jerih payah investor tersebut bisa dinikmati saat ini.

Pasalnya, setelah sembilan tahun melantai di bursa, saham Facebook telah melonjak tujuh kali lipat di level US$300 per lembar. Apakah kisah berbeda akan terjadi pada GoTo? Dan seberapa jauh efek bola salju GoTo ini terjadi, seperti semboyannya Go Far, Go Together.

Penulis : Hendri T. Asworo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Jejak Korporasi Dunia, dari VOC hingga Apple. Siapa Juaranya?

Next

Jasa Keuangan, Tetap Kokoh Diterpa Badai Pandemi

back-to-top
To top