bisnis-logo

Stories

Tomy Winata dan Angan Habibie yang Terganjal Relokasi (Part 2)

Presiden ke-3 RI B.J. Habibie memiliki angan Batam, Rempang dan Galang (Barelang) menyaingi Singapura. Taipan Tomy Winata bergegas mewujudkan ide itu.

25 September 2023

A+
A-

Selat Malaka menjadi lintasan perdagangan tersibuk di dunia sejak zaman baheula. Bahkan, jalur itu terpadat kedua setelah Selat Dover, Inggris.

Berbekal lalu lalang perdagangan internasional itu, Pulau Batam dan sekitarnya memiliki nilai strategis. Letaknya hanya 20 kilometer dari Singapura, sehingga Batam menjadi penyangga negara kota itu.

Batam menjadi aksesibilitas ke negara-negara lain di dunia. Tak heran jika pemerintah memiliki angan untuk menjadikan pulau yang memiliki luas setara 67 persen dari Singapura itu menjadi poros pertumbuhan ekonomi baru.

Pembangunan Pulau Batam setidaknya telah dimulai sejak pemerintahan Orde Baru, Presiden ke-2 RI. Jenderal Bintang Lima itu memiliki ambisi untuk menjadikan Batam sebagai pusat industri.

Pulau Batam berstatus sebagai satu desa dalam lingkup kecamatan Pulau Buluh, Belakang Padang, pada 1965. Pada saat itu, Pulau Batam hanya satu tempat yang tidak dilirik. Dengan kondisi yang tidak lebih seperti pulau hinterland di Kepulauan Riau, jauh dari fasilitas, sarana, prasarana, dan infrastruktur seperti sekarang.

“Batam itu punya nilai strategis yang sangat besar. Kalau kita tidak memanfaatkan dan mendahulukannya, sama saja kita tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita,” kata Soeharto, kala itu.

Untuk pertama kalinya, Pulau Batam dikembangkan menjadi Basis Logistik Pertamina. Ibnu Sutowo, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina dan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi, babat alas di Batam.

Namun, angan Soeharto untuk mengembangkan Pulau Batam tidak puas sampai di situ. Akhirnya, B. J. Habibie ditunjuk sebagai Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang kini bernama Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Pada era Habibie ini dirintis pulau-pulau lain yang potensial untuk dikembangkan, dan membuat Batam lebih maju dari negara tetangga.

Oleh sebab  itu, Habibie mencetus konsep Barelang (Batam Rempang Galang) yang dihubungkan dengan enam jembatan Barelang agar luasnya menjadi 715 km2 atau 13 persen lebih besar dari Singapura. Batam pun diharapkan berdikari, dan dapat bersaing dengan Singapura.

“Batam akan mengekspor high technology, menjual produk yang bernilai tinggi untuk membantu mendapatkan devisa. Batam bukan untuk dirinya, tetapi untuk bangsa. Tidak mungkin kita buka Pulau Batam untuk sembarang penduduk mereka membuka lahan, menebang pohon, dan hanya menanam sayur. Pulau Batam bukan untuk kebun sayur,” ucap Habibie.

Pengembangan Pulau Rempang

Habibie melanjutkan pengembangan konsep Balerang, sebanyak 6 jembatan dibangun untuk menghubungkan ketiga pulau. Dengan adanya jembatan, ketiga pulau itu menjadi kian strategis.

Untuk melayani arus penumpang dan barang melalaui udara, direncanakan pembangunan bandara di Batam yang meliputi kargo dan penumpang. Otorita Batam secara bertahap mulai membangun Bandara Hang Nadim hingga 1996.

Sejumlah kawasan industri besar mulai dibangun di Batam. Singapura telah menanamkan modal dengan investasi yang cukup besar. Dengan lahirnya Batamindo di Muka Kuning dan diisi oleh pabrik perusahaan Sumitomo, Thomson, Philips, Western Digital, Sony, dan Toshiba. 

Pengembangan industri ini juga membuka peluang lapangan kerja, merangsang arus investasi, mendorong peningkatan ekspor dan munculnya kawasan serupa di Batam, seperti PT Kabil Industrial Estate, PT Kara Primanusa, PT Seafront Industrial City, PT Spinindo Mitradaya, dll.

Namun, pengembangan konsep Barelang masih terpusat hanya di Batam, sedangkan Rempang dan Galang masih belum terjamah.

Pada 2004, untuk pertama kalinya investasi di Pulau Rempang dimulai. Tomy Winata melalui anak usahanya, PT Makmur Elok Graha, yang merintis investasi itu.

Taba Iskandar, Ketua DPRD Kepulauan Riau kala itu menjelaskan, semua dimulai dari surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004, yang dia teken saat menjabat sebagai Ketua DPRD Batam. Isi surat tersebut menyetujui investasi PT MEG, dan mendapat rekomendasi dari 6 fraksi di DPRD Batam.

DPRD Batam memberikan respons positif kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang ingin mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.

Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam. Wali Kota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. 

Adapun, Ismeth Abdullah penjabat Gubernur Kepulauan Riau turut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai IV Kantor Pemkot Batam. Kerja sama juga mencakup studi pengembangan Pulau Rempang.

"Saat itu, memang dilakukan kerja sama antara BP, pemkot dan PT MEG. DPRD Batam hanya memberi rekomendasi saja, dengan landasan peraturan daerah (perda) KWTE. Jadi semua kegiatan hiburan malam dipindahkan ke Rempang, tapi ke Rempang Laut yang pulaunya terpisah dari daratnya," paparnya lagi.

Status lahan Pulau Rempang saat itu juga masih belum Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama BP Batam maupun Pemkot Batam. 

Saat itu, masih status quo, jadi masih tanah negara dengan hutan lindung dan lainnya, ungkapnya. Setelah itu, karena tidak ada infrastruktur di Rempang, Pemkot Batam memberikan lokasi sementara di Marina Batam selama 5 tahun untuk pengembangan KWTE. 

Namun, setelah itu Kapolri saat itu, Sutanto beranggapan bahwa kawasan wisata tersebut akan dibuat tempat judi. 

"Maka batal Perda KWTE dan perjanjian kerja sama tersebut selesai, dan tidak ada lanjutan hingga sampai proyek Eco-City ini," paparnya. 

PT MEG masuk melalui pemerintah pusat, dan kembali mendapat hak mengelola Pulau Rempang. Namun dengan konsep yang berbeda. Proyek Eco-City Rempang lebih mengutamakan investasi industri yang didukung oleh pariwisata. 

"Perbedaan lainnya KWTE itu program lokal, sedangkan proyek Eco-City ini Program Strategis Nasional [PSN]," jelasnya.

Perusahaan miliki Tomy Winata itu diketahui mengucurkan investasi untuk sewa Pulau Rempang dengan nilai Rp26.000 per meter untuk jangka waktu selama 30 tahun.

Keputusan itu telah tercantum dalam perjanjian kerja sama yang diteken antara Makmur Elok Graha dengan BP Batam pada 2004.

“Nilai sewa tanah [PT MEG] dalam perjanjian itu sekitar Rp26.000 per meter, dengan masa konsensi selama 30 tahun,” ujarnya Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait.

Dalam perjanjian itu, setelah masa kerja sama selama 30 tahun habis, dapat diperpanjang 30 tahun lagi untuk periode kedua. Kemudian, apabila periode kerja sama kedua habis, dapat diperpanjang selama 20 tahun.

Dalam setiap masa perpanjangan habis, ungkapnya, syarat kerja sama atau nilai sewa dapat dievaluasi sesuai dengan kesepakatan. Namun, sambungnya, pembayaran sewa baru akan dilakukan ketika tanah di Pulau Rempang itu mulai digunakan.

Ariastuty tidak menyebutkan, apakah pembayaran sewa pertama tersebut terhitung dimulainya masa kontrak selama 30 tahun. Dia menyampaikan bahwa total nilai sewa oleh perusahaan Tomy Winata mencapai Rp1,2 triliun. 

“Total nilainya Rp1,2 triliun. Itu yang kami pakai kembali untuk relokasi masyarakat, membuatkan rumah hingga fasilitas umum lainnya,” terangnya.

18 tahun berlalu, proyek yang lama terbengkalai itu akhirnya kembali dilanjutkan. April 2023, secara resmi pemerintah pusat meluncurkan program terkait dengan pengembangan Pulau Rempang.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meluncurkan Program Pengembangan Kawasan Rempang KPBPB Batam Provinsi Kepulauan Riau. Program itu ditujukan menjadi awal pengembangan Kawasan Rempang sebagai kawasan yang berdaya saing tinggi dalam pengembangan industri, pariwisata, dan jasa, dengan memberikan berbagai fasilitas dan insentif baik fiskal maupun non fiskal. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlang Hartarto mengatakan Kawasan Rempang tentunya diharapkan dapat menjadi tujuan investasi, terutama investor asing, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dan regional.

Tak tanggung-tanggung, nilai investasi di Pulau Rempang ditaksir mencapai Rp381 triliun hingga 2080 dengan proyeksi penyerapan tenaga kerja mencapai 306.000.

"Dengan kemajuan ini adalah hal yang sudah kita nanti dan sudah berjalan 18 tahun, tentu ini merupakan proses yang panjang," jelasnya.

Investor China di Pulau Rempang

Kemajuan proses investasi di Pulau Rempang berjalan cukup cepat. Hanya berselang 4 hari setelah peluncuran program pengembangan, salah satu investor asal China menyambangi kantor BP Batam.

Pada 16 April 2023, perusahaan produsen kaca, Xinyi Glass Holdings Limited menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Batam, khususnya di Pulau Rempang.

CEO Xinyi Glass Holdings Limited, Tung Ching Sai mengatakan dirinya berharap dengan gencarnya pembangunan yang dilakukan pemerintah dapat menjadikan Batam sebagai pilihan yang tepat untuk berinvestasi.

“Batam sangat maju dan berkembang di Indonesia, banyak perusahaan China tertarik terhadap Batam, Saya sendiri sedang mempelajari iklim investasi di Batam dan memang sangat menarik serta menjanjikan bagi dunia investasi,” ujar Tung.

Pertemuan Xinyi Glass dengan BP Batam pada 16 April 2023/BP Batam.​​​​​​

Kepala BP Batam, Muhammad Rudi yang menerima kunjungan itu, menyambut baik ketertarikan Xinyi Glass untuk berinvestasi di Batam khususnya di pulau Rempang.

Bukan tanpa alasan, menurut Muhammad Rudi ketertarikan itu tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur yang masif dan berkelanjutan yang tengah dilakukan pihaknya.

Selain itu, ia menuturkan akselerasi pengembangan dan komitmen pemerintah pusat terhadap pulau Rempang sebagai The New Engine of Indonesian’s Economic Growth berkonsep “Green and Sustainable City juga menjadi daya tarik bagi investor tersebut untuk menjajaki peluang investasi.

“Tentu ketertarikan ini menjadi angin segar bagi pertumbuhan nilai investasi dan ekonomi Batam kedepan,” kata Rudi.

Xinyi Grup, perusahaan yang didirikan sejak 1988 yang berkantor pusat di Hongkong.

Sementara itu, untuk jejak ekspansinya di Indonesia, Xinyi tercatat telah memulai operasinya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE. Xinyi membeli lahan pada kawasan tersebut dari PT BKMS.

Dalam kerja sama yang dibangun pada tahun lalu itu, Xinyi juga menandatangani perjanjian kerja sama dengan BKMS untuk menyediakan berbagai utilitas termasuk listrik, air, gas alam, pengolahan limbah, fasilitas telekomunikasi, internet, serta infrastruktur dan fasilitas lainnya untuk mendukung pembangunan dan pengoperasian fasilitas produksi kaca KEK JIIPE. 

Selain itu, Xinyi telah menandatangani MOU dengan PT Berlian Manyar Sejahtera (BMS) yang mengoperasikan fasilitas pelabuhan laut dalam di KEK JIIPE untuk fasilitas pelabuhan dan terminal berkualitas tinggi yang dibutuhkan oleh fasilitas produksi kaca Xinyi.

Simak tulisan pertama : Asa yang Hilang di Pulau Rempang
 

Penulis : Rifki Setiawan Lubis, Hendri T. Asworo, Muhammad Ridwan
Editor : Muhammad Ridwan & Hendri T. Asworo
Previous

Asa yang Hilang di Pulau Rempang (Part 1)

back-to-top
To top