Stories
Indonesia berpotensi mengalami kerugian hingga triliunan rupiah dari dugaan kebocoran dan selisih pencatatan ekspor nikel ke China.
28 Juli 2025
Cuaca Hong Kong pertengahan April 2025 cukup terik dan berangin. Kawasan otonom bekas jajahan Inggris itu, laiknya kota global lainnya. Ramai, banyak orang lalu lalang, mobil beraneka merek hilir mudik berseliweran di jalan raya. Jalanan di sana cukup luas, meski tidak sekompleks jalan protokol Kota Jakarta.
Tata kota Hong Kong juga relatif rapi. Trotoar digunakan untuk pejalan kaki. Jarang ada pedagang kaki lima, apalagi tukang parkir dengan peluit menempel di mulut dan tali kain yang melingkar di lehernya. Meskipun harus diakui, Hong Kong belakangan ini juga disorot karena fenomena tuna wisma yang tidur di fasilitas publik imbas sewa properti yang semakin mencekik. Kardus bekas banyak berserakan di tepi jalan. Sebagian ada yang disisipkan di antara celah pembatas jalan.
Satu lagi, pemandangan yang lazim dijumpai di jalanan Hong Kong adalah mobil listrik alias electric vehicle. EV cukup banyak berkeliaran di jalanan Hong Kong. Merek mobil listrik seperti Tesla hingga merek China Mainland seperti BYD, banyak melintas di jalan. Meski demikian, Hong Kong tidak seekstrem Shenzhen, kota kembar di sebelahnya yang melarang kendaraan berbahan bakar fosil melintas di jalan raya, kendaraan konvensional masih dapat ditemui dan jumlahnya cukup banyak.
Kalau merujuk data resmi Departemen Perlindungan Lingkungan Hong Kong, hingga akhir Maret 2025, populasi kendaraan listrik mencapai sekitar 117.000. Jumlah itu mewakili 12,9% dari total kendaraan yang beredar di salah satu kota pusat keuangan Asia tersebut.
Salah satu sudut Kota Hong Kong./Ist
Hong Kong atau China saat ini telah berkembang sebagai salah satu pusat kendaraan listrik global. Industri kendaran listrik di China berkembang pesat seiring dengan melimpahnya bahan baku. China adalah top importir nikel yang merupakan salah satu komponen untuk memproduksi baterai kendaraan listrik, meskipun saat ini mobil listrik juga banyak menggunakan Lithium Ferro Phospate (LFP). LFP diklaim jauh lebih efisien dibanding baterai nikel.
Data Otoritas Kepabeanan China menunjukkan bahwa, pada tahun 2024 ekspor kendaraan listrik dengan kode harmonized system (HS) 87038000 mencapai 1,65 juta unit atau sekitar US$31,9 miliar. Jumlah ekspor kendaraan listrik itu mengalami kenaikan sekitar 16,9% dibandingkan tahun 2023 yang tercatat di angka 1,54 juta unit. Meski demikian, nilai itu secara nominal turun karena tahun 2023 lalu nilai ekspor EV China mencapai US$34,1 miliar.
Sejalan dengan perkembangan pesat industri mobil listrik, China juga telah menyandang status sebagai “Raja Baterai Dunia”. Mereka memproduksi lithium iron battery atau baterai litium yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan produk elektronik seperti laptop, telepon selular hingga electric vehicle (EV) alias kendaraan listrik. Selain itu, China juga tercatat sebagai salah satu produsen stainless steel terbesar di dunia.
Adapun dalam waktu 5 tahun belakangan ini, China cukup agresif menanamkan modal ke negara-negara pemilik sumber cadangan nilkel untuk mendukung supply chain atau rantai pasok industri kendaran listrik, baterai dan industri stainless steel mereka. Indonesia salah satunya. Indonesia adalah salah satu negara yang mengklaim sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Pada tahun 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral alias ESDM, memaparkan bahwa sumber daya nikel Indonesia berupa bijih sebesar 18.550.358.128 ton dengan total cadangan 5,3 miliar ton bijih.
Melimpahnya cadangan nikel Indonesia menjadi incaran banyak negara. Namun, nikel juga menjadi sumber konflik dengan negara-negara Eropa. Apalagi ketika pemerintah Indonesia, pada waktu di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), berambisi untuk menjadi bagian penting dari supply chain nikel global. Dia menghentikan ekspor ore nickel atau bijih nikel dan membuka pintu seluas-luasnya untuk investasi di bidang pemurnian nikel.
Berbeda dengan Eropa yang memilih mengajukan gugatan ke Word Trade Organization (WTO), perusahaan China justru berbondong-bondong masuk sebagai investor untuk pemurnian atau smelter nikel. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi China, termasuk Hong Kong (wilayah otonom China), ke Indonesia mencapai Rp114 trilun pada tahun 2024. Jumlah itu terdiri dari Rp58,8 triliun total investasi dari Hong Kong. Sementara China, di angka Rp55,2 triliun.
Data BKPM secara spesifik juga mengungkap bahwa sebanyak 93,7% atau sekitar Rp55,09 triliun dari total realisasi investasi Hong Kong tersebut terkait dengan hilirisasi nikel. Sedangkan China, realisasi yang terkait hilirisasi nikel tercatat sebesar 83,4% atau Rp44,03 triliun. Artinya, kalau digabungkan realisasi hilirisasi nikel dari aktivitas investasi China dan Hong Kong, tercatat sebesar Rp100,12 triliun.
Masih merujuk data Kementerian Investasi, penanaman modal khususnya di sektor hilirisasi strategis juga terlihat dari data realisasi investasi yang dirilis sejak 2023. Total investasi hilirisasi strategis di seluruh sektor pada 2023 mencapai Rp375,4 triliun, dan naik menjadi Rp407,8 triliun.
Dari ratusan triliun investasi hilirisasi strategis yang masuk, smelter nikel mendominasi dan turut meningkat setiap tahunnya. Pada 2023, investasi smelter nikel yaitu senilai Rp136,6 triliun dan naik ke Rp153,2 triliun pada 2024.
Tidak bisa dipungkiri, investasi nikel di Indonesia memacu gerak ekonomi. Fasilitas permunian telah membuka pusat pertumbuhan ekonomi baru. Wilayah Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, berkembang cukup pesat. Di Sulawesi Tengah, misalnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi di wilayah ini mencapai 2021-2024 mencapai 10,48%. Jauh di atas rata-rata nasional yang mentok di kisaran 5%.
Dalam catatan Bisnis, wilayah Sulteng khususnya di daerah Morowali telah menjadi pusat aktivitas tambang dan permunian nikel di Indonesia. Investasi yang mengucur ke wilayah ini pada tahun 2024 lalu mencapai Rp30,3 triliun. Realisasi investasi hilirisasi di Sulteng terbesar di Indonesia. Sekitar 80,8% atau Rp24,48 triliun merupakan investasi untuk nikel. Begitupula dengan Maluku Utara, ekonomi di wilayah ini sebagian besar digerakan oleh nikel.
Presiden Prabowo Subianto, saat meresmikan pabrik baterai listrik Proyek Dragon di Karawang, mengakui bahwa proyek hilirisasi nikel memacu pertumbuhan ekonomi khususnya di Maluku Utara. “Terima kasih atas semangat Ibu Gubernur, selamat Maluku Utara jadi provinsi yang pertumbuhannya paling tinggi se-Indonesia,” tuturnya kepada Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, yang menghadiri groundbreaking fasilitas pemurnian nikel Proyek Dragon di Halmahera Timur.
Namun demikian, di balik cerita keberhasilan penghiliran nikel, sejumlah aspek masih menjadi catatan. Indonesia, misalnya, sampai saat ini belum berhasil menciptakan mata rantai industri baterai dan kendaraan listrik secara mandiri kendati proyek hilirisasi telah berlangsung selama 5 tahun. Ketergantungan terhadap investasi, teknologi, bahkan pasar ekspor produk turunan nikel ke China juga cukup tinggi. Akibatnya ketika pasar China lesu, industri nikel di Indonesia langsung terkena dampaknya.
Di sisi lain, eksploitasi besar-besaran nikel memicu krisis lingkungan. Kasus tambang di Raja Ampat, Halmahera, hingga berbagai insiden di pemurnian nikel di Morowali Sulawesi Tengah adalah contohnya. Yang terbaru, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan risiko dalam penampungan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) di salah satu kawasan penting industri turunan nikel.
Selain itu, kontras dengan kebijakan pemerintah yang melarang eksportasi bijih nikel, selama beberapa tahun belakangan Indonesia justru menjadi negara importir bijih nikel. Impor bijih nikel terutama berasal dari Filipina selama tahun 2023-Mei 2025, kalau merujuk data BPS, nilainya mencapai US$583,7 juta dengan volume sebesar 13,3 juta ton. Bijih nikel asal negeri jiran itu mengalir ke pusat pemurnian seperti di Weda Bay, Morowali, hingga Kendari.
Proyek ambisius tentang penghiliran industri nikel juga belum banyak menyumbang penerimaan negara. Sekadar catatan pemerintah hanya memungut royalti dari proses penambangan nikel. Sementara itu, aktivitas eksportasi hasil pemurnian nikel entah itu dalam bentuk feronikel, matte nikel, hingga nikel sulfat tidak dipungut bea keluar maupun pajak ekspor.
Persoalan tidak sampai di situ, Bisnis telah memeriksa data eksportasi nikel Indonesia ke China, yang merupakan pasar utama nikel asal Indonesia. Hasilnya, tim Bisnis menemukan selisih eksportasi barang antara jumlah produk turunan nikel yang diekspor Indonesia ke China, baik secara nilai maupun volume, dengan yang tercatat di negeri tirai bambu tersebut. Temuan Bisnis menunjukkan bahwa, selisih nilai maupun volume eksportasi itu terjadi karena adanya dugaan pengalihan ekspor ke tempat lain serta dugaan mengenai adanya upaya untuk menghindari pajak dan kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE).
Selain itu, adapula penjelasan yang menekankan bahwa pemicu selisih tersebut terjadi karena perbedaan klasifikasi barang dan kemungkinan salah pencantuman data di negara tujuan ekspor, China salah satunya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Derasnya investasi China di sektor tambang dan pemurnian nikel sejatinya sejalan dengan target pemerintah Indonesia untuk menjadi bagian dari supply chain baterai dan kendaraan listrik global. Namun belum terbentuknya ekosistem yang terintegrasi, menyebabkan nilai tambah nikel Indonesia dinikmati oleh negara lain.
Bijih nikel memang tidak diekspor. Namun, produk turunan ekspor nikel Indonesia hanya berhenti sampai di produk turunan, misalnya, feronikel dan nikel matte, yang mayoritas diekspor ke China. Indonesia juga belum memiliki kendaraan listrik sendiri meskipun belakangan ini pemurnian di Indonesia juga telah memproduksi nikel sulfat, sebagai komponen penting dalam ekosistem baterai.
Ekosistem yang masih setengah hati itu membuat Indonesia belum memanfaatkan sepenuhnya potensi cadangan nikel yang diklaim terbesar di dunia. Sekadar catatan, pada tahun 2024 lalu misalnya, nilai investasi hilirisasi China, termasuk ke Hong Kong, ke Indonesia mencapai Rp104 triliun. Sementara jumlah ekspor Indonesia salah satu komoditas nikel ke China, feronikel misalnya, tembus di angka US$52,18 miliar. Angka itu setara Rp835 triliun dengan kurs 16.000 per dolar.
Sumber: Kementerian Investasi/BPKM, diolah
Yang menarik di balik capaian tersebut, dokumen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mengungkap kondisi sebaliknya. Eksportasi bijih nikel tetap mengucur deras ke luar negeri, terutama ke China. Jumlahnya pun tak main-main, kalau menurut klaim KPK, sebanyak 5 juta ton. Semua tercatat dalam kode Harmonized System atau HS 26040000.
Kode HS biasanya merujuk kepada klasifikasi barang atau produk yang menjadi komoditas perdagangan baik ekspor maupun impor. HS code dengan nomor 26040000 adalah kode klasifikasi barang untuk jenis komoditas perdagangan bijih nikel dan konsentratnya.
Ilustrasi penambangan bijih nikel
Bisnis pernah mengulas dugaan kebocoran ekspor bijih nikel ke China pada 2023 lalu. Awal mulanya dari dokumen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dokumen itu pernah dibantah oleh pemerintah dengan dalih adanya ketidaksesusaian klasifikasi barang antara China dengan Indonesia. Namun, informasi yang dihimpun Bisnis yang juga dari internal pemerintahan, justru meragukan klaim tentang perbedaan klasifikasi dan pencatatan tersebut, apalagi ekspor bijih nikel dengan kode HS yang sama, pada tahun 2017-2019 tercatat terus mengalami kenaikan. Total eksportasi bijih nikel ke China pada kurun waktu tersebut mencapai US$1,8 miliar (data BPS).
Namun demikian kalau merujuk kepada data General Administrations of Customs of the Republic of China (GACC), jumlah eksportasi bijih nikel ke China justru menunjukkan adanya anomali. Sekadar catatan pada tahun 2019 saja, volume eksportasi bijih nikel ke China mencapai 23,8 juta ton dengan nilai sebesar US$1,8 miliar. Sementara itu kalau merujuk data BPS, volume yang diekspor ke China jauh lebih besar yakni 31,15 juta ton atau ada selisih antara jumlah yang dicatat di Indonesia dengan negara China sebesar 7,7 juta ton.
Menariknya meski volume ekspor lebih besar, secara nominal nilei eksportasi Indonesia ke China justru lebih kecil. Pada tahun 2019, nilai eksportasi bijih nikel ke China yang tercatat di BPS hanya sebesar US$1,05 miliar atau ada selisih lebih dari US$750 juta dibandingkan versi GACC.
Adapun temuan KPK juga menunjukkan bahwa eksportasi bijih nikel ke China terus terjadi kendati pemerintah menutup keran impor pada tahun 2020, meski angkanya berangsur menciut. Semula KPK mengklaim bahwa jutaan ton bijih nikel yang mengalir ke pasar China adalah aktivitas ilegal. Namun adanya pencatatan kode HS oleh otoritas kepabeanan China, menunjukkan bahwa eksportasi maupun importasi komoditas pertambangan masuk ke China secara legal.
Eksportasi ilegal biasanya merujuk kepada dugaan adanya ketidaksesuaian dokumen, termasuk dalam hal ini adalah perbedaan antara data yang dilaporkan kepada otoritas asal dengan yang diterima oleh otoritas tujuan.
Bisnis telah mengecek ulang data-data KPK dengan mengakses secara langsung melalui laman resmi General Administrations of Customs of the Republic of China (GACC). Hasilnya menunjukkan bahwa importasi bijih nikel dari Indonesia terus membanjiri China.
Pada tahun 2020, misalnya, tahun pertama pelarangan ekspor bijih nikel, GACC juatru mencatat China mengimpor bijih nikel Indonesia sebanyak 3,39 juta ton atau senilai US$193,3 juta. Angka importasi bijih nikel turun menjadi 839.161,2 ton senilai US$48,14 juta pada 2021. Jumlah importasi mengalami kenaikan menjadi 1,08 juta atau senilai US$54,63 juta pada tahun 2022.
Sementara itu pada tahun 2023, China mengimpor bijih nikel sebanyak 296.228,5 ton atau senilai kurang lebih US$13,91 juta. Kalau diakumulasikan, total impor bijih nikel 2020 - 2023 tercatat sebanyak 5,61 juta ton senilai US$309,3 juta.
Tahun | China (Kg) | China (US$) | Indonesia (Kg) | Indonesia (US$) |
2020 | 3.393.251.356 | 193.390,186 | ||
2021 | 839.161.249 | 48.147.631 | 36 | 41,5 |
2022 | 1.085.675.336 | 54.646.935 | ||
2023 | 296.228.533 | 13.191.889 | ||
2024 | 80 | 947 |
Sumber: BPS, GACC
Informasi yang dihimpun Bisnis pada 2023 lalu menyebutkan bahwa aliran bijih nikel tersebut mengalir dari perusahaan yang memperoleh Kawasan Berikat (KB) di Sulawesi Tenggara. Selain dari wilayah itu, indikasi importasi ilegal dari Indonesia ke China berasal dari kawasan Maluku Utara. Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, khususnya Halmahera, adalah lokasi penambangan nikel di Indonesia. Ada banyak pemain yang mengais nikel di dua kawasan itu. Salah satunya adalah perusahaan atau investor dari China.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), yang sekarang berubah menjadi Kementerian Investasi, mencatat bahwa penanaman modal China pada periode 2018 hingga kuartal I/2023 menempati peringkat kedua terbesar dengan total capaian US$24,55 miliar. Investasi tersebut tersebar di lima besar wilayah di Indonesia, yaitu Sulawesi Tengah sebesar US$6,88 miliar, Jawa Barat US$5,21 miliar, Maluku Utara US$3,83 miliar, DKI Jakarta US$1,74 miliar, dan Banten US$1,45 miliar.
Adapun investasi China di Indonesia didominasi sektor industri logam dasar senilai US$8,61 miliar, transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi US$6,69 miliar, listrik, gas, dan air US$2,75 miliar, real estat, kawasan industri dan perkantoran US$1,74 miliar, serta industri kimia US$1,95 miliar.
Pemerintah telah mengklarifikasi data terkait alur nikel tersebut. Salah satu indikasi yang muncul adalah perbedaan klasifikasi barang antara China dan Indonesia. Hanya saja, kalu merujuk data dari GACC China, importasi bijih nikel dari Indonesia, sejatinya telah berlangsung lama. Tahun 2019 misalnya, nilainya impor bijih nikel China dari Indonesia mencapai US$1,8 miliar dengan jumlah kuantitas seberat 28,7 juta ton.
Ada dugaan bahwa lolosnya eksportasi bijih nikel itu terjadi karena perbedaan penilaian kadar nikel yang dilakukan oleh surveyor. Isu ini sempat dihembuskan oleh DPR pada tahun 2023 lalu. Saat itu, mereka menyoroti adanya kinerja surveyor yang bermasalah dan berpotensi merugikan negara.
Di sisi lain, temuan Bisnis lainnya juga mengungkapkan bahwa ketika ramai pemberitaan tentang dugaan kebocoran bijih nikel, pemerintah telah mengklarifikasi ke otoritas China. Hasil klarifikasi itu justru mengungkap dugaan kebocoran eksportasi bijih nikel ke China. Pada 2023 lalu, pemerintah telah mengamati sekitar 85 bil of lading (BL). Bil of lading adalah dokumen penting berisi informasi tentang kontrak pengangkutan dan informasi barang. Hasil konfirmasi pemerintah menunjukkan bahwa dari sekitar 70 BL yang diterbitkan, yang tercatat di China hanya sekitar 50 BL. Ada perbedaan data hingga sekitar 20 BL.
Dalam arsip pemberitaan Bisnis (26/7/2023) Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2019-2023, Bahlil Lahadalia menyatakan tidak mengetahui adanya temuan terkait dugaan praktik ekspor 5 juta ore nikel secara ilegal dari Indonesia ke China. “Pemerintah tidak tahu sama sekali, kami sama sekali tidak tahu, jujur, karena kami sudah sepakat melarang ekspor itu sejak Oktober 2019, kemudian legal formalnya dilakukan Januari 2020.”
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pernah menampik adanya praktik ekspor bijih atau ore nikel ilegal ke China sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2022, sebagaimana dilaporkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Plt Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid pada waktu itu mengatakan, terdapat kekeliruan atau perbedaan persepsi dalam memahami kode harmonized system (HS) yang dipahami komisi antikorupsi dan lembaga lainnya terkait dengan dugaan awal penyelundupan bahan mentah yang telah dilarang ekspor sejak Januari 2020 lalu tersebut. “Kami yakin itu salah memahami kode HS, kita enggak akan main-main mengenai ekspor lah,” kata Wafid, dalam catatan Bisnis (17/7/2023).
Adapun, hampir dua tahun berselang, Wakil Menteri ESDM Yuliot P Tanjung tidak menampik soal kemungkinan dugaan penyelundupan di balik temuan mengenai aliran bijih nikel ke China. Meski demikian, pihaknya akan segera mengecek terlebih dahulu, apakah data tersebut sesuai dengan catatan pemerintah atau tidak. “Jadi, kalau ini ya berarti kita larang kalo ore ada yang di Ekspor ya berarti ada yang diselundupkan itu berarti menyalahi aturan. Oleh karena itu kita cek terlebih dahulu.”
Di sisi lain, Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, justru heran dengan jawaban pemerintah. Dian justru mempertanyakan alasan di balik perbedaan klasifikasi bijih nikel di Indonesia dengan China. Dia menekankan jika catatan ekspor Indonesia merupakan komoditas besi, seharusnya di China juga tercatat sebagai besi bukan sebaliknya.
“Itu artinya tanya Bea Cukai. Dia kan sama-sama World Trade Organization (WTO), kok bisa anda mengubah itu?,” kata Dian kepada Bisnis, (13/6/2025). “Saya tanya ke Bea Cukai. Jawaban dari China: ‘according to Chinese relevant regulation, we consider it as nickle.’ Saya sudah tanya ke Bea Cukai. Minta sama China tuh yang mana maksudnya?”
Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Jasa Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto menuturkan bahwa Bea Cukai telah bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya. Khusus soal komoditas nikel, terutama bijih nikel, eksportasinya sudah dilarang oleh pemerintan sejak 2020 lalu.
Nirwala menuturkan bahwa dugaan kebocoran bijih nikel ke China itu terjadi karena perbedaaan klasifikasi barang antara otoritas China dengan Indonesia. Di China, komoditas besi yang mengandung 0,5% nikel, masuk dalam kategori nikel.
Nirwala juga menuturkan bahwa pemerintah telah mengkategorikan nikel sebagai barang yang dikenakan larangan pembatasan alias lartas. Sehingga, untuk proses eksportasinya, selain harus mengantongi perizinan ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), komoditas nikel itu juga harus diuji oleh lembaga surveyor. Artinya, setelah memperoleh izin dan pemeriksaan oleh surveyor, Bea Cukai hanya melakukan pengecekan dokumen dan pencatatan, tanpa melakukan pemeriksaan secara fisik terhadap komoditas nikel yang akan diekspor ke luar negeri. "Jadi kami hanya menjalankan tugas dan fungsi saja," ujarnya.
Ilustrasi kebocoran ekspor nikel Indonesia
Tren investasi China, menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar produk turunan bijih nikel ke China. Setidaknya ada tiga jenis produk turunan nikel yang diekspor ke China, yakni feronikel, nikel matte dan nikel sulfat.
Data kantor kepabeanan China mencatat pada tahun 2024 lalu, negeri panda tersebut mengimpor 8,59 juta ton feronikel dari Indonesia. Nilai impor feronikel itu mencapai US$12,71 miliar. Ada kenaikan secara volume ekspor dibandingkan tahun 2023 yang hanya 7,83 juta ton. Namun secara agregat angkanya mengalami penurunan dari US$14,42 miliar (2023) menjadi US$12,71 miliar.
Penurunan nilai itu dipengaruhi sejumlah hal, salah satunya adalah anjloknya harga komoditas nikel selama tahun 2024 lalu. Feronikel adalah produk turunan dari bijih nikel. Jenis komoditas tambang dengan kode harmonized code atau HS Code 72026000 itu, banyak digunakan sebagai bahan pemadu untuk pembuatan baja tahan karat.
Sementara itu, untuk komoditas nikel matte, data GACC mencatat bahwa selama tahun 2022-2024, nilai impor negeri tirai bambu dari Indonesia tercatat senilai US$7,3 miliar. Bisnis juga mencatat bahwa tren volume importasi nikel matte dari Indonesia terus meningkat secara kuantitas.
Pada tahun 2022, jumlah impor nikel matte China dari Indonesia mencapai 176.532 ton. Jumlah ini naik menjadi 277.650,6 ton pada tahun 2023. Angka importasi nikel matte kembali melonjak menjadi 384.166 ton pada tahun 2024. Total akumulasi jumlah impor nikel matte China dari Indonesia mencapai 838.349,4 ton.
Sumber: BPS, GACC, diolah
Bisnis menemukan adanya selisih antara jumlah importasi feronikel dan matte nikel yang diekspor Indonesia ke China. Khusus untuk feronikel, pada tahun 2020-2024 atau selama 5 tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah ekspor feronikel Indonesia ke China mencapai 29,08 juta ton. Data ekspor-impor BPS itu dikoleksi dari Bea Cukai.
Sementara itu, yang tercatat di otoritas kepabeanan China, hanya sebesar 27,67 juta ton. Artinya ada gap sekitar 1,41 juta ton. Sedangkan secara nominal, gap-nya mencapai US$400,5 juta selama 2020-2024. China mencatatkan nilai impor feronikel yang lebih sedikit dibandingkan yang tercatat di Indonesia.
Berbeda dengan feronikel, importasi China terhadap komoditas nikel matte justru lebih banyak baik secara nominal maupun volume dibandingkan yang tercatat di Indonesia. Bisnis mencatat bahwa total akumulasi importasi nikel matte China dengan kode HS 75011000 mencapai 838.349,4 ton. Sementara yang tercatat di data resmi pemerintah Indonesia yakni BPS, mencapai 559.977 ton dan US$6,69 miliar. Selisih antara data Bea Cukai China dan BPS 2022-2024, mencapai 278.372,2 ton atau secara nominal sebesar US$666,9 juta atau sekitar Rp10,67 triliun (kurs 16.000 per dolar) hanya dalam waktu 3 tahun terakhir.
Artinya, jika nilai Rp10,67 triliun itu dihitung sebagai penghasilan perusahaan, dan dikaitkan dengan tarif pajak badan di Indonesia sebesar 20%, maka total potensi penerimaan PPh badan yang hilang dari eksportasi nikel matte sebesar Rp2 triliun.
Informasi yang dihimpun Bisnis menunjukkan bahwa, terjadinya gap antara jumlah ekspor dan impor produk turunan nikel itu terjadi dalam beberapa kondisi. Pertama, kemungkinan adanya perbedaan pencatatan antara otoritas di Indonesia dengan otoritas kepabeanan China.
Namun demikian, sejumlah dokumen yang diperiksa Bisnis, memastikan bahwa kategorisasi untuk feronikel dan nikel matte antara China dan Indonesia sama. Feronikel di dalam catatan kepabeanan di Indonesia maupun China termasuk dalam kategorisasi barang dengan kode HS 72026000. Sementara itu, nickel matte baik di Indonesia tercatat dalam kode HS 75011000.
Kedua, kemungkinan adanya abuse dalam proses eksportasi. Ada dugaan adanya kebocoran di tengah jalan dalam proses ekspor dari Indonesia ke China. Kondisi ini riskan, jika terjadi transaksi afiliasi yang melibatkan entitas sepengendalian atau grup perusahaan di negara lain. Ketiga, kemungkinan penghindaran pajak dan mengakali laporan devisa hasil ekspor yang diwajibkan oleh pemerintah mulai Maret 2025. Indikasi pelanggaran dalam kasus ini, biasanya terjadi ketika nilai ekspor yang dicatat negara asal lebih sedikit dibandingkan dengan nilai impor yang berada di negara tujuan.
Khusus yang ketiga, anomali ekspor itu terjadi di komoditas nikel matte. Nikel matte adalah jenis nikel yang biasanya digunakan untuk memproduksi nikel sulfat. Nikel sulfat adalah komponen penting untuk produk baterai. Nikel sulfat mulai diekspor di Indonesia pada tahun 2023. Jumlah kuantitas nikel sulfat yang diimpor China dari Indonesia mencapai 60.440 ton atau senilai US$224,5 juta pada tahun 2023. Sementara pada tahun 2024 naik cukup signnifikan menjadi 179.700 ton atau senilai US$616 juta. Transaksi impor itu dicatat oleh Bea Cukai China.
Sama seperti komoditas feronikel dan nikel matte, terjadi selisih antara nilai ekspor nikel sulfat, dengan kode HS 28332400, di data versi BPS dengan yang tercatat di Bea Cukai China. BPS tahun 2023, mencatat nilai maupun volume ekspor yang lebih tinggi dibandingkan di China. Versi BPS, ekspor nikel sulfat pada tahun 2023 mencapai US$234,3 juta dengan volume sebesar US$66.440 atau terjadi selisih sebesar 6.000 ton.
Namun pada tahun 2024, selisih antara data ekspor Indonesia dan impor nikel sulfat China terjadi perubahan. Tahun lalu, nilai ekspor yang tercatat di BPS hanya sebesar US$527,5 juta dengan volume ekspor sebesar 173.700 ton. Kalau dibandingkan dengan data impor China yang tercatat senilai US$616 juta dengan volume 179.700 ton. Terjadi selisih sebesar US$88,5 juta atau senilai Rp1,37 triliun kurs Rp15.500 rupiah per dolar AS. Sementara selisih volume ekspornya sebesar 6.000 ton.
Wakil Menteri ESDM tidak membantah maupun membenarkan temuan Bisnis tersebut. Hanya saja, dia memastikan jika ditemukan pelanggaran, pihaknya akan menindak setiap eksportir yang terbukti melakukan praktik lancung dalam eksportasi nikel. “Kalau ternyata perusahaannya nakal ya bisa saja kita berikan sanksi termasuk penghentian kegiatan sementara. Ujung ujungnya, ini bisa juga kita cabut izin usahanya.”
Pemerintahan dari era Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto, telah berkomitmen untuk memberika seabrek insentif bagi investasi di sektor hilirisasi nikel. Pemerintah, misalnya, tidak mengenakan pajak terhadap ekspor produk turunan nikel. Kalau merujuk ke Indonesian National Trade Repository (INTR), feronikel, mikel matte, dan nikel sulfat sama sekali tidak dikenakan pajak maupun bea keluar alias 0% pungutan.
Selain pungutan ekspor, perusahaan-perusahaan nikel juga memproleh fasilitas pengurangan maupun libur pajak (tax holiday) maksimal selama 20 tahun. Tax holiday adalah fasilitas perpajakan yang memberikan pembebasan atau pengurangan pajak dari sektor-sektor tertentu. Tak tanggung-tanggung fasilitas pengurangan maupun libur pajak penghasilan atau PPh badan kepada industri pioner termasuk nikel bisa mencapai 100%.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan PPh Badan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peratuan BKPM No.7/2020. Beleid yang terakir secara eksplisit menyebut bahwa industri logam dasar yang menghasilkan logam nikel dan bijih nikel baik yang menggunakan metode pyrometallurgy maupun hydrometallurgy dalam cakupan penerima insentif.
Padahal kalau melihat kinerja ekspor produk turunan nikel setiap tahun mengalami kenaikan. Mayoritas lari ke China. Pada tahun 2024, misalnya, jumlah ekspor feronikel ke China (versi GACC) mencapai 8,9 juta ton. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya tercatat sebesar 7,8 juta ton. Tren serupa juga terjadi di komoditas nikel matte dari 277.650 ton (2023) menjadi 384.166 ton (2024).
Namun demikian, dengan kinerja ekspor yang cukup signifikan, komoditas nikel hanya dikenakan royalti dan kewajiban untuk menempatkan serta melaporkan devisa hasil ekspor (DHE) ke Bank Indonesia (BI).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa setoran pendapatan negara bukan pajak alias PNBP pada 2020-2024 lalu, penerimaan dari batubara menyumbang sekitar 75% - 85% dari Rp452,34 triliun sampai Rp482,5 triliun dari total PNBB sub sektor minerba senilai Rp603,13 triliun. Artinya, sisa dari PNBP sub sektor minerba di kisaran Rp150,79 triliun – Rp120,63 triliun, berasal dari penerimaan minerba lainnya yakni nikel, tembaga, perak dan emas.
Sumber: Kemenkeu
Sebagai perbandingan berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi APBN per Mei 2025 lalu, PNBP sektor minerba tercatat sebesar Rp38,8 triliun. Penyumbang terbesarnya adalah batu bara senilai Rp27,7 triliun, nikel sebesar Rp5,8 triliun. Kontribusi nikel hanya berada di peringkat kedua dalam PNBP di sektor minerba. “Sejauh ini kontribusi royalti nikel sebesar Rp5,8 triliun atau 15% dari total PNBP royalti minerba atau kedua terbesar setelah royalti batubara,” ujar Direktur PNBP SDA Kementerian Keuangan, Wawan Sunarjo.
Pemerintah sejauh ini juga belum berencana untuk menerapkan pajak ekspor terhadap produk turunan nikel meski tidak memperoleh hasil optimal dari proses hilirisasi. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menolak untuk mengomentari soal kemungkinan adanya pelanggaran perpajakan dalam proses eksportasi produk turunan nikel.
Sedangkan Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menuturkan bahwa sejauh ini pemerintah belum berencana untuk menerapkan pajak ekspor terhadap komoditas nikel. Dia juga mengaku belum tahu tentang adanya gap atau selisih dalam proses eksportasi nikel ke China. “ Enggak tahu saya, [soal pajak], kita mengikuti sektornya.”
Bisnis juga telah menghubungi pihak Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk mengonfirmasi masalah gap data ekspor tersebut. Upaya konfirmasi disampaikan ke Sekjen sekaligus Plt. Deputi Investasi Hilirisasi Strategis, Heldy Satrya Putera serta Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Perkasa Roeslani.Selain itu Bisnis juga berupaya untuk mengontak GACC dan telah mengirimkan draf pertanyaan melalui surat elektronik ke Kedutaan Besar China di Jakarta. Namun, tidak ada respons yang diberikan sampai dengan berita ini dimuat.
Sementara itu, anggota Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widjajatno, mengemukakan bahwa ada berbagai macam kondisi yang memicu terjadi selisih pelaporan antara China dan Indonesia. Dia menyebut secara spesifik mengenai metodologi penghitungan yang berbeda, waktu pelaporan yang berbeda, perdagangan tidak resmi, waktu pelaporan yang berbeda, hingga keterbatasan data.
Adapun soal dugaan kebocoran ekspor bijih nikel ke China, Djoko menekankan tentang kemungkinan adanya perjanjian yang sudah ada, kebijakan transisi, penyelundupan hingga kebijkan impor China yang berbeda dengan Indonesia. Meski demikian, Djoko tetap menekankan perlunya pemerintah untuk terus mendorong ekosistem industri yang lebih komprehensif, termasuk membangun tata kelola ESG yang kuat.
Selain itu Djoko, juga mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi ekspor. Menurut analisisnya yang dibagikan kepada Bisnis, saat ini kelemahan industri nikel Indonesia adalah ketergantungan tinggi terhadap modal dan teknologi asing khususnya China serta lemahnya keterlibatan industri lokal hingga dampak lingkungan dari HPAL atau Hight Pressure Acid Leach (HPAL) dan limbah smelter.
“Tanpa langkah korektif dan kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka menengah yang terintegrasi, Indonesia berisiko sekadar menjadi lokasi smelter dan tambang, tanpa kendali atas teknologi, distribusi dan nilai ekonomi jangka panjang.”
Bisnis telah menghubungi Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung terkait persoalan ini. Wawancara dengan Wamen ESDM dilakukan melalui sambungan telepon oleh wartawan Bisnis Indonesia, Anshary Madya Sukma. Yuliot tidak menjawab secara spesifik apakah kementeriannya mengetahui ada atau tidaknya kemungkinan kebocoran dalam eksportasi nikel ke China. Namun demikian, dia memastikan bahwa Kementerian ESDM akan mengecek kemungkinan perbedaan data antara yang dilaporkan di Indonesia dengan China.
Kami menemukan adanya data selisih ekspor versi BPS dengan otoritas China, bisa dijelaskan bagaimana tanggapan Kementerian ESDM terkait hal ini?
Jadi kita lagi cek itu izin ekspor kita yang ini berapa ton. Kemudian nilainya berapa. Jadi pencatatan itu kan sesuai dengan izin ekspor yang kita berikan. Karena datanya dari tahun 2000 berapa tadi? Datanya dari beberapa tahun yang lalu ini kan sampai dengan 2024. Jadi ini kita cek dulu. Bisa saja ini yang dilaporkan, ke kita ini harga jualnya, dilaporkan di China lebih tinggi dengan yang dilaporkan kita.
Ini walaupun, tonase yang sama, harga berbeda. Justru, pencatatannya jadi berbeda. Apalagi kalau volumenya itu, ternyata lebih besar, volumenya yang dilaporkan di sana dengan volumenya yang dilaporkan di sini. Ya berarti ini kan ada persoalan, ini pelaku usahanya menyalahi aturan. Ya ini kita harus cek kembali. Saya lagi cek dengan Dirjen Minerba. Kenapa itu ada perbedaan angka. Ini berdasarkan pencatatan BPS China sama BPS kita.
Ya kemudian kita juga harus duduk bersama dengan BPS. Jadi jangan sampai ini ada, perbedaan data justru ini kan ada kewajiban. Ada kewajiban royalti. Ada kewajiban untuk bea keluar ekspor ya ini harus kita luruskan. Kalau itu nanti ada selisih. Ini harus dibayarkan kembali. Untuk selisih kurang.
Berarti, kalau seperti itu, apakah emang HS Code di sini sama di China itu jenisnya beda? Atau gimana Pak? Kan seharusnya sama semua ya Pak?
Seharusnya HS Code itu kan berlaku internasional. HS Code yang digunakan di Indonesia, itu juga digunakan di China. Sepanjang HS Code itu sama, ya seharusnya ini volume sama harga itu yang dilaporkan itu tidak ada perbedaan. Jadi kita harus cek dulu.
Berarti untuk potensi persoalan itu dimana berarti ya Pak?
Nah itu yang saya sampaikan tadi. Potensi persoalannya, ini apakah itu barang-barang. Jadi, yang diekspor dari Indonesia itu sesuai dengan HS Code itu volumenya sama gak?
Itu ada perbedaan juga volumenya Ya justru itu yang perlu kita cek, jadi ini persetujuan ekspor kita berapa. Kan itu masing masing perusahaan perusahaan memiliki RKAD, yang kemudian kalau ini didalam proses pengolahan, ini kan mereka juga melaporkan untuk diolah dalam negeri untuk di ekspor berapa.
Kemudian, kalau ada perbedaan di Ekspor, ini kita cocokan lagi. Kalau memang ada kekurangan, itu nanti yang mereka melaporkan karena ada kewajiban di inikan, ada kewajiban pembayaran di bea keluar ya berarti kekurangan itu harus mereka bayarkan. Ya, nanti ini angka angkanya kita lagi kejar, kita lagi cocokan kita akan duduk dengan BPS, kita duduk dengan Kemendag, kita cek data yang ada di Dirjen Minerba.
Jadi, kesalahannya ini berarti bisa terkait pelaporan ini?
Iya, berkemungkinan dari pelaporan.
Terkait dengan adanya impor ore nikel (dari China), di Indonesia sudah dilarang tapi masih ada data impor di GACC hingga 2024?
Kalau impor ore nikel, kalau kebutuhan dalam negeri tidak cukup ini kan impor kita enggak batasi.
Maksud kami impor ore nikel Bea Cukai China itu ternyata masih ada sampai 2024. Bagaimana?
Iya, itu dari tahun 2020. Itu kita larang, jadi seperti yang saya sampaikan, kita lagi cek dengan perdagangan, bea cukai, sama ini ... Pelarangan permasalahannya ada dimana? Kita harus periksa data terlebih dahulu. Jadi, kalau ini ya berarti kita larang kalo ore ada yang diekspor ya berarti ada yang diselundupkan itu berarti menyalahi aturan. Oleh karena itu kita cek terlebih dahulu.
Kalau untuk tindak lanjutnya seperti apa terkait ada gap atrau ketidaksesuaian antara data Indonesia dan China ini?
Jadi kita akan mencocokan data terlebih dulu, kan ada data BPS, kemudian ada data persetujuan ekspor dari perdagangan, kemudian ada data izin ekspor dari ESDM. Jadi tiga data ini harus dicocokan terlebih dahulu. Jadi bisa kita lihat per perusahaan yang melakukan ekspor.
Kalau akhirnya ditemukan pelanggaran bagaimana?
Jadi, kalau ada pelanggaran. Yang pertama kalau ada kekurangan, ini kewajiban kewajiban mereka harus bayar. Kalau ternyata perusahaannya nakal ya bisa saja kita berikan sanksi termasuk penghentian kegiatan sementara. Ujung ujungnya, ini bisa juga kita cabut izin usahanya.
Prabowo, Soekarno, dan Mimpi Alih Teknologi Nuklir Rusia