Stories
Kamboja masih menjadi surga bagi oknum yang menjalankan bisnis haram melalui daring. Tidak sedikit para pekerja migran yang terjerat dalam perangkap.
25 Juni 2024
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha mengungkapkan setidaknya ada 3.703 warga negara Indonesia yang terjerat dalam industri online scam di luar negeri sejak 2020 hingga Maret 2024.
Dari jumlah tersebut, Kamboja menjadi markas utamanya. Menurut catatan Kemlu, ada 1.914 WNI yang terjerat industri online scam di Kamboja, lalu 1.302 di Myanmar, 680 di Filipina, 364 di Thailand, 305 di Laos, 68 di Malaysia, dan 36 di Vietnam.
Dari 3.000 lebih WNI yang jadi korban, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan 40% di antaranya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mereka ditipu, dieksploitasi, hingga terima kekerasan fisik maupun verbal.
“Angka ini terus meningkat tajam setiap tahunnya," kata Retno dalam acara Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award (HWPA) 2023 di Jakarta, Jumat (26/4/2024).
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengategorikan industri online scam ini sebagai modus baru kejahatan perdagangan orang. TPPO modus ini baru tercatat muncul empat tahun lalu.
Awalnya, korban ditawari bekerja di luar negeri sebagai administrator (admin) atau pelayanan pelanggan (customer service)—tentu dengan gaji besar. Namun—usai sampai ke negara tujuan, korban malah ditugasi cari pelanggan yang bisa ditipu dalam investasi bodong.
Masalahnya, tidak mudah bagi korban untuk melarikan diri karena visa dan paspor ditahan. Mereka juga terus-terusan diancam dan disiksa. Belum lagi tempat tinggal dan kerja mereka dijaga ketat oleh orang bersenjata.
SBMI menjadi salah satu pihak yang kerap menerima aduan dugaan TPPO industri online scam. Total, SBMI menangani 279 kasus dari 2020 hingga 2023. Dari jumlah tersebut, 41 kasus mandek atau masih diproses oleh kepolisian.
Ratusan kasus tersebut dinyatakan sebagai TPPO berdasarkan kategorisasi UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Dalam UU tersebut, TPPO harus memenuhi tiga unsur yaitu proses ada perekrutan, penampungan, pengiriman, cara (ada kekerasan, pemaksaan, penculikan, penyekapan, penipuan, dll), dan eksploitasi (kerja paksa/perbudakan, seksual, dan organ tubuh).
Dari kasus yang ditangani SBMI dan sudah inkrah di pengadilan, semua pelaku yang divonis sebatas pemain lapangan.
Padahal—menurut analisis SBMI, kasus TPPO industri online scam ini pasti melibatkan jaringan karena operandinya sudah lintas negara. Namun, aparat penegak hukum seakan tak berminat dalami kasus ini.
SBMI tak heran dengan sikap aparat penegak hukum seakan kurang serius perdalam kasus TPPO online scam. Menurut SBMI, aparat sudah salah perspektif melihat kasus: TPPO industri online scam dianggap sekadar permasalahan pengiriman buruh migran perseorangan.
Akibatnya, korban berada di posisi yang seakan juga punya salah. Sejalan, yang divonis cuma para perekrut—bahkan hukuman yang diterima terkesan tak setimpal.
Menurut Sekretaris Jenderal SBMI Juwarih, jika kepolisian serius maka dugaan TPPO industri online scam bisa dikembangkan menjadi kejahatan keuangan atau perbankan. Apalagi, transaksi yang di dalamnya tak sedikit.
“Enggak mungkin tidak ada orang elitenya, pasti ada. Pasti dia terlibat,” ujarnya kepada Bisnis, awal Mei 2024.
Hak restitusi korban juga hampir tak pernah diterima. Polanya selalu sama, meski pengadilan sudah menghukum terdakwa membayar restitusi, namun yang bersangkutan lebih memilih menggantinya dengan pidana kurungan tambahan.
Biaya restitusi biasanya berkisar di angka puluhan juta rupiah. Masalahnya, satu terdakwa kerap harus membayar restitusi ke banyak korban. Alhasil, terdakwa yang sekadar pemain lapangan tak sanggup bayar.
Akhirnya, ungkap Juwarih, banyak korban dugaan TPPO yang tak mau laporkan kasusnya ke pihak kepolisian. Mereka sadar tak ada gunanya lapor ke polisi, yang ada hanya habiskan waktu dan tenaga: toh yang dihukum cuma para perekrut, hak restitusi pun tak dapat.
“Tidak ada upaya ini [mengembalikan hak-hak para korban] dari pemerintah, terutama APH [aparat penegak hukum] untuk memperjuangkan itu,” ujar Juwarih.
Padahal, UU PTPPO sudah memberikan perhatian yang besar kepada penderitaan korban dengan mewajibkan pemenuhan hak restitusi, rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan, hingga reintegrasi oleh negara.
Ketua DPC SBMI Batam Muhammad Nasir menambahkan, yang menjadi korban TPPO \ online scam kerap individu yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
Oleh sebab itu, pencegahan dari hulu juga harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam catatan SBMI, korban TPPO industri online scam paling banyak berasal dari Sumatera Utara (59), Kepulauan Riau (43), Jawa Barat (36), DKI Jakarta (31), dan Kalimantan Barat (27)—sementara provinsi lain angkanya belasan ke bawah.
Nasir berpendapat, pemerintah harus serius memperbaiki perekonomian di daerah-daerah rawan. Bagaimanapun, lanjutnya, persoalan utama yaitu akses lapangan kerja yang layak yang masih terbatas.
“Kalau pemerintah kita bisa memberikan solusi ekonomi kepada rakyat, saya rasa hal-hal seperti itu bisa dikurangi,” kata Nasir kepada Bisnis baru-baru ini.
Beberapa tahun terakhir, notabenenya pemerintah sudah memberi perhatian khusus ke kasus TPPO. Bahkan, Kapolri membentuk Satuan Tugas Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) pada medio 2023.
Satgas TPPO berada di bawah koordinasi Bareskrim Polri. Bisnis sudah coba hubungi Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Pura untuk meminta respons terkait penanganan TPPO industri online scam yang dianggap kurang serius.
Namun, tak ada respons hingga berita ini diterbitkan. Bisnis juga sudah hubungi Karo Penmas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo, yang sudah meminta daftar pertanyaan tertulis.
Brigjen Trunoyudo menyatakan akan meneruskan permohonan ke Brigjen Djuhandhani. Meski demikian, Bisnis tetap tak menerima jawaban.
Dari catatan yang bisa diakses publik, perkembangan terbaru dari Satgas TPPO datang enam bulan yang lalu. Pada pertengahan November 2023, Satgas TPPO menyatakan sudah menetapkan 1.066 tersangka perdagangan orang. Setelahnya—tak perkembangan lagi.
Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Polisi Krishna Murti mengungkap bahwa maraknya kasus judi online bermula dari pandemi Covid-19.
Menurutnya, selama pandemi Covid-19 yang membuat jutaan orang meninggal dunia, para bandar judi online internasional mulai melebarkan sayapnya ke negara lain.
"Sejak pandemi, perjudian itu limited of movemend yang biasanya di wilayah Mekong [antara Laos dan Myanmar] itu ada SEZ [special economic zone] yang telah mengizinkan operator judi membuka one stop entertaiment dengan fasilitas dari pemerintahan," tuturnya.
Krishna mengklaim bahwa Indonesia juga telah menggandeng polisi negara lain agar bersama-sama memberantas judi online di negara masing-masing.
Menurutnya, hal itu dilakukan karena judi online belakangan ini sudah semakin meresahkan masyarakat dan berdampak negatif.
"Banyak WNI juga yang menjadi korban karena dipekerjakan sebagai operator. Padahal dia tidak mengetahui apa yang dikerjakannya," katanya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi meminta seluruh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Layanan Gerbang Akses Internet (Network Access Point/NAP) untuk memutus akses internet yang diduga digunakan untuk judi online ke Kamboja dan Filipina.
"Semua upaya kita lakukan untuk pemberantasan judi online," ucap Budi Arie dilansir dari Antara, Minggu (23/6/2024).
Instruksi tersebut tertuang dalam surat Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia kepada Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Layanan Gerbang Akses Internet (NAP), dengan nomor surat B-1678/M.KOMINFO/PI.02.02/06/2024 tertanggal 21 Juni 2024.
Dalam surat tersebut, Budi Arie, yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Satgas Pencegahan Pemberantasan Perjudian Daring, meminta tindakan pemutusan akses harus dilakukan dalam waktu paling lambat 3x24 jam sejak surat itu ditandatangani.
"Melakukan pemutusan akses jalur komunikasi internet yang diduga digunakan untuk judi online terutama dari dan ke Kamboja dan Davao Filipina dalam waktu paling lambat 3 x 24 jam [hari kerja] sejak surat ini ditandatangani," bunyi surat tersebut.
Adapun, jangka waktu pemutusan akses akan dievaluasi untuk segera dipulihkan apabila situasi telah kondusif. NAP juga diminta untuk melaporkan langkah-langkah pemutusan dan hasil pelaksanaannya untuk evaluasi dan tindak lanjut.
Permintaan tersebut merujuk pada ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan hasil rapat Satgas Pemberantasan Perjudian Daring yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto pada 19 Juni 2024.
Permasalahan tak sampai situ, SBMI melihat Kemlu maupun KBRI kerap kurang serius tanggapan aduan adanya dugaan TPPO industri online scam.
Juwarih mengatakan, pemerintah berdalih korban kirim aduan hanya untuk dapat tiket pulang kampung gratis ke Indonesia. Alasannya: sejumlah korban yang sudah dipulangkan ke Tanah Air malah kembali lagi ke negara tempat dirinya dikerjakan di industri online scam.
Juwarih mengakui, ada saja korban yang seperti itu namun hanya kasus khusus. Dia menceritakan, SBMI pernah menangani kasus di Kamboja yang melibatkan sekitar 100 WNI. Mereka akhirnya dideportasi ke Indonesia, namun ada satu atau dua korban yang kembali ke Kamboja.
Masalahnya, satu-dua korban itu bermasalah lagi. Mereka kembali meminta bantuan KBRI untuk dipulangkan ke Indonesia.
“’Oh, ini jangan-jangan semua ingin dipulangkan hanya untuk mendapat tiket gratis saja.’ Akhirnya kan pemerintah mikirnya seperti itu. Terus persepsi pemerintah dipukul rata, [sehingga] semua kalau online scam ya slow response [lambat ditangani],” jelas Juwarih.
Dia merasa, pemerintah tak adil jika anggap semua korban TPPO industri online scam sebagai penipu.
Kendati demikian, Duta Besar RI untuk Kamboja Santo Darmosumarto membantah segala tuduhan yang menyebutkan KBRI Phnom Penh lamban tangani aduan dugaan WNI jadi korban TPPO industri online scam.
“KBRI Phnom Penh selalu berusaha tanggapi aduan dengan sebaik-baiknya,” katanya kepada Bisnis, awal Mei 2024.
Dia mengaku, KBRI akan langsung berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait di Kamboja maupun Indonesia apabila terima laporan dugaan TPPO—terutama instansi penegak hukum.
Di samping itu, Santo tidak menampik apabila KBRI Phnom Penh alami sejumlah kesulitan untuk respons aduan. Dia mencontohkan, pihaknya kerap kesulitan mengamankan korban apabila lokasinya jauh dari Phnom Penh.
Pun, Santo menekankan tidak semua WNI yang bekerja di industri online scam menjadi korban TPPO. Terduga korban TPPO harus diverifikasi terlebih dahulu sesuai kriteria yang ditetapkan dalam UU PTPPO.
Meski demikian, Santo merasa masih perlu ada upaya serius dari setiap pihak terkait untuk tangani kasus TPPO industri online scam yang semakin masif belakangan ini.
Di Indonesia, dia meminta pihak-pihak berkepentingan untuk lebih banyak sebarkan informasi ihwal kasus online scam. Sementara di tingkat ASEAN—yang merupakan pusat industri haram ini, online scam harus jadi perhatian khusus dengan penguatan kerja sama bilateral dan regional.
Namun, Santo merasa tidak ada kerugian negara dari kasus TPPO industri online scam ini—yang ada hanya kerugian individu. Oleh sebab itu, pihaknya tak lakukan perhitungan jumlah kerugian tersebut.
“Logikanya bukan kerugian negara, karena yang tertipu individu pribadi. Kerugian masing-masing individu ini baru bisa diketahui saat mereka melaporkannya ke polisi di Tanah Air,” ujarnya
Tak lupa, dia meminta setiap masyarakat Indonesia berhati-hati ketika terima lowongan kerja ke luar negeri dengan persyaratan minim namun imbalan tinggi.
“Jika itu terlalu bagus untuk jadi kenyataan maka itu memang terlalu bagus untuk jadi kenyataan,” tutup Santo.
Terpasung Bisnis Haram di Tanah Kemakmuran (1)