Stories
Kamboja masih menjadi surga bagi oknum yang menjalankan bisnis haram melalui daring. Tidak sedikit para pekerja migran yang terjerat dalam perangkap.
25 Juni 2024
Cerita bermula dari sebuah pulau di lepas pantai timur Sumatra. Pulau itu sedikit lebih besar dari Singapura.
Pulau Lingga, wilayah yang masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau nyatanya tidak memberikan harapan yang lebih besar dari negeri seberang.
Begitu setidaknya yang diceritakan Hardiwal Manik. Pada usianya yang telah menginjak 36 tahun, tidak banyak pilihan pekerjaan untuk menyambung nadi kehidupan di pulau tersebut. Bertani atau jadi nelayan.
Kondisi itu yang mendorong para penduduk untuk mengadu nasib keluar Pulau Lingga. Termasuk juga Hardi.
Pada usianya yang sudah tidak lagi muda, tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa dia ambil. Pertemuannya dengan seorang teman menumbuhan asa untuk bisa mengais rezeki di negeri orang.
Pada pertemuan itu, Hardi diberi sebuah nomor penyalur tenaga kerja. Mencoba sedikit peruntungan, tanpa pikir panjang Hardi menghubungi nomor tersebut.
Hardi senang bukan kepalang, pesan singkat yang dikirimkan berbalas. Harapannya untuk mendapat kerja kian menggebu. Terlebih, tak ada persyaratan khusus yang diminta. Batasan umur pun tak jadi soal.
Dia dijanjikan gaji tak kurang dari Rp12 juta per bulan. Tak sampai situ, jika bersedia terbang ke Kamboja maka akan ada uang muka senilai US$300—US$100 untuk pribadi dan US$200 untuk keluarganya yang ditinggal di Pulau Lingga.
Di Kamboja, tempat tinggal dan jatah makan empat kali sehari juga akan disediakan. Perekrut juga urus semua kebutuhan berangkat Kamboja: mulai dari tiket pesawat, paspor, hingga visa. “Kita tinggal bawak badan aja,” kata Hardi.
Hardi tentu tak menolak dengan tawaran menggiurkan tersebut. Dia setuju bekerja sebagai costumer call service (CS) di sebuah perusahaan bernama Hongli Group.
Hardi akhirnya menemui perekrut di Batam, yang juga orang Indonesia. Segala keperluan menuju Kamboja diserahkan.
Hardi sempat diberi instruksi khusus agar bisa melewati pemeriksaan Imigrasi Bandar Udara Internasional Hang Nadim. Meski demikian—sampai Imigrasi, tidak ada pemeriksaan berarti: Hardi melenggang ke Kamboja tanpa hambatan.
Pengalaman tak jauh beda dialami Mari (26). Pada Februari 2021, Mari mendapat tawaran kerja ke Kamboja. Bedanya, saat itu Mari sudah bekerja sebagai admin di salah satu perusahaan ekspedisi logistik di Kota Batam, Kepulauan Riau. Namun, pandemi Covid-19 buat penghasilannya berkurang.
Seorang tetangga memberi tahu Mari bahwa sedang ada lowongan kerja di Kamboja. Yang buat Mari percaya, keponakan tetangganya ini juga akan berangkat ke negara lokasi Angkor Wat itu.
Mari pun hubungi kontak perekrut yang diberi tetangganya. Dari wawancara singkat via panggilan video, perekrut menawari Mari bekerja sebagai CS untuk sebuah toko daring dengan gaji pokok US$800 (sekitar Rp12,8 juta).
Jumlah tersebut jauh dari gajinya sebagai admin di perusahaan ekspedisi logistik. Akibatnya, Mari terima tawaran kerja di Kamboja.
“Kita udah khilaf dengan gaji yang besar begitu kan, ya udah saya mutusin resign [berhenti dari pekerjaan lama],” katanya.
Semua tetek bengek persyaratan dan akomodasi menuju Kamboja disiapkan perekrut. Mari terlebih dahulu diarahkan ke Jakarta. Sampai Ibu Kota, dia bertemu tak kurang dari 20 orang lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tujuannya sama, Kamboja.
Dari pembicaraan antar sesama, diketahui perekrut mereka bukan cuma satu orang. Yang pasti, semua perekrut itu merupakan warga Indonesia.
Sebelum terbang ke Kamboja, mereka diberi arahan untuk lewati Imigrasi Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka juga dibekali sejumlah uang pegangan agar tak dicurigai Imigrasi.
Di Imigrasi, Mari mengaku tak banyak diinspeksi. Seolah sekadar basa-basi, hanya ada satu pertanyaan “mau ngapain di Kamboja?” Tentu, Mari menjawab sesuai naskah arahan perekrut. Mari dan kawan-kawan lolos ke Kamboja tanpa permasalahan.
Nasib lebih mujur didapati Regita Cahayani Artha Girsang (22). Sama dengan Mari dan Hardi, Regita juga menerima tawaran kerja di Kamboja. Bedanya, Regita berhasil diselamatkan sehari sebelum berangkat.
Saat itu 2020, Regita baru lulus SMA. Dia punya sepupu yang sudah bekerja di Kamboja. Regita disarankan ikut ke Kamboja oleh orang tua sepupunya.
Orang tua Regita menyetujui saran tersebut: mereka percaya saudara sendiri tak akan menjerumuskan.
Regita ditawari gaji pokok Rp5 jutaan per bulan, namun dengan bonus yang totalnya bisa mencapai Rp20 juta. Kerjanya hanya duduk di depan komputer sebagai administrator. Tempat tinggal juga disediakan.
Akhir Agustus 2020—setelah kasus pandemi Covid-19 mulai turun, Regita yang tinggal di Batam diarahkan terbang ke Jakarta. Arahan datang langsung dari Kamboja, tanpa perantara perekrut dari Indonesia.
Di Jakarta, dia bertemu tujuh warga Indonesia lain yang juga akan berangkat ke Kamboja. Di antara mereka, ditunjuk satu pemimpin sebagai perpanjangan tangan dari Kamboja.
Mereka pun diarahkan untuk urus visa dan paspor masing-masing. Setelah lengkap—seperti Hardi dan Mari, Regita dan kawan-kawan diberi instruksi agar bisa lewati Imigrasi.
Sebagai bekal, masing-masing diberi tiga ponsel pintar dan uang pegangan agar tidak dicurigai oleh Imigrasi. Semua persiapan sudah lengkap, sehari lagi mereka berangkat ke Kamboja.
Untungnya, Regita menyempatkan waktu untuk mnghubungi kakaknya yang tinggal di Jakarta. Kakak Regita, yang baru tahu adiknya akan berangkat ke Kamboja, kaget bukan main: dia langsung tahu Regita akan jadi korban perdagangan orang.
“Kebetulan abangku ini kan yang di Jakarta, Bakamla [petugas Badan Keamanan Laut],” kata Regita.
Tak memakan waktu lalu, kakak Regita segera mengontak Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Keberangkatan Regita pun dibatalkan—meski sempat terima ancaman dari Kamboja.
Sementara itu, ketujuh temannya tetap pergi sesuai jadwal. Kendati demikian, mereka dicegat ketika sedang transit di Bandar Udara Internasional Kualanamu, Medan.
Menurut Regita, Bareskrim Polri turun tangan dalam pencegatan itu. Mereka pun dikembalikan ke Jakarta.
Tak seberuntung Regita, Hardi dan Mari terlanjur menginjakkan kaki di tanah Kamboja. Awalnya, Hardi takjub ketika sampai di depan kantor sekaligus tempat tinggalnya.
Sebuah apartemen 21 lantai bernama Sun Residence di tengah Kota Phnom Penh. Apartemen itu terlihat penuh sesak dengan kesibukan: ada ribuan orang yang kerja dan tinggal di dalamnya.
Dari jumlah tersebut, WNI hanya berjumlah 18 orang—lainnya berasal dari Kamboja, China, Banglades, India, hingga Pakistan.
Di dalam gedung pencakar langit itu, seorang pria perawakan oriental menemui Hardi dan rombongan. Pria itu bos Hardi. Dengan bahasa mandarin, dia beri instruksi kepada Hardi CS.
Esoknya, Hardi langsung menuju ruang kerja yang luasnya setara lapangan futsal. Ruangan itu diisi oleh 64 pekerja dan empat orang pengawas—seperti bos besar, keempatnya juga berasal dari China. Setiap masuk kerja, gawai pribadi Hardi dkk dipungut oleh para pengawas.
Di masing-masing meja kerja, Hardi dan rekan dibekali tiga gawai dan satu komputer. Mereka dipisahkan oleh sekat-sekat layaknya di warung internet.
Hardi sadar telah ditipu ketika sadar tugasnya tidak sesuai perjanjian awal. Dia disuruh cari korban investasi bodong cryptocurrency alias mata uang kripto di media sosial dan aplikasi kencan.
Hardi diberikan akses ke 10 akun medsos dan aplikasi kencan, yang semuanya memakai profil perempuan. Di akun-akun tersebut, sudah berisi foto-foto perempuan yang sedang bergaya di mobil bermerek hingga rumah mewah.
Foto-foto itu bukan asal comot dari internet: bosnya Hardi memang memperkerjakan setidaknya empat model perempuan. Untuk bangun kepercayaan target operasi, sesekali korban mereka bisa lakukan panggilan video dengan model tersebut. Kendati demikian, Hardi yang akan tetap meladeni percakapan sehari-hari dengan korban.
Per harinya, Hardi ditargetkan dapat tiga korban—setidaknya mereka tunjukkan ketertarikan ketika diajak mengobrol. Hardi diberi waktu lima hari untuk lakukan pendekatan personal dengan korban.
Menurut pengalamannya, korban selalu penasaran dengan gaya hidup mewah yang dipamerkan di berbagai foto akun medsos/aplikasi kencan yang digunakan Hardi. Sampai situ, barulah Hardi kenalkan situs investasi kripto bodong yang dijajakan bosnya.
“Namanya laki-laki kan pasti nanya, ‘Kamu masih muda kok sekaya ini? Apa usaha kamu?’ Terus di situlah kita racuni pikiran dia itu, ‘Saya ikut pertukaran uang digital [kripto] karena bunganya itu cukup gede,” jelas Hardi.
Jika korban percaya maka dia tak akan segan kucurkan uang untuk beli mata uang kripto itu. Bos Hardi tak sungkan memberikan bunga besar di investasi pertama dan kedua korban.
Dengan begitu, korban akan berinvestasi lebih besar lagi. Sampai investasi ketiga, akun korban diblokir. Korban tak bisa lagi tarik uangnya.
Hardi mengungkapkan, investasi terbesar yang pernah masuk dari satu korban berjumlah Rp21 miliar.
Sekitar dua pekan pertama, Hardi dkk diarahkan untuk cari korban di pasar Eropa. Namun, setelah untung besar, bos Hardi memilih ganti pasar, targetnya kini orang Indonesia.
Masalahnya, kata Hardi, orang Indonesia lebih sulit ditipu. Kalau pun berhasil dibujuk, jumlah investasi kecil hanya sekitar Rp2 juta atau Rp3 juta.
Bos Hardi tak puas. Saat itulah Hardi CS mulai menerima sejumlah siksaan fisik. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Bunyi nyaring sabetan gesper kulit kerap terdengar di ruang kerja, tendangan para pengawas juga kerap mendarat ke badan Hardi dkk, jika tangan dan kaki pengawas sedang malas gerak maka Hardi dkk dipaksa push-up. Sikasaan terburuk, mereka pernah disetrum listrik.
Hardi dan para pekerja lainnya tak punya pilihan lain. Kabur dari apartemen, yang dikelilingi oleh tembok setinggi 10 meter dan dua jalur keluar-masuk juga dijaga ketat oleh sekuriti dan polisi yang pegang senjata api, bukan menjadi solusi.
Derita para pekerja tidak sebatas siksaa. Mereka pun tak diberi waktu istirahat. Awalnya, Hardi dijanjikan 12 jam kerja per hari, jangan berharap libur diakhir pekan. Kenyataannya, mereka kerja 18-20 jam per hari karena kesulitan capai target.
Hardi, yang merupakan seorang Muslim, terpaksa harus memakan makanan dari olahan daging babi. Tak ada pilihan lain, sumber makanan lain tak ada dan tak bisa dicari.
42 hari di Kamboja telah dilalui Hardi. Selama itu, dirinya dan sejawatnya tak diperbolehkan melangkahkah kaki keluar dari pagar apartemen.
Dia hanya terima gaji dari hasil kerja 12 hari pertama—angkanya pun jauh dari yang dijanjikan. Setelahnya—usai pergantian bulan dan target operasi, Hardi sama sekali tak dapat upah apa-apa.
“Kalau saya disetrum enggak pernah, [tapi] ditendang, dipukuli, makanan sehari-hari kami itu. Selama 28 hari itu macam neraka-lah,” ucapnya.
Kenyataan pahit serupa juga dialami Mari. Setelah mendarat di Kamboja, Mari bersama rombongan diarahkan ke kawasan Chrey Thum—tepatnya di dekat perbatasan antara Kamboja dengan Vietnam.
Mereka dikumpulkan di sebuah kompleks bernama Kingsa. Pelosok, itu kesan pertama yang didapatkan Mari. Sepanjang mata memandang, tak lagi ada gedung kecuali di Kingsa.
Di kompleks itu, Mari bertemu dengan rombongan WNI lain yang sudah terlebih dahulu sampai. Total, ada sekitar 70 WNI yang bekerja di sana. Sisanya, ada belasan warga negara Vietnam dan China.
Di dalam kompleks ada dua gedung tingkat lima yang menjadi kantor Mari dkk, di belakang gedung ada kantin, berjalan terus ada minimarket, spa, pusat olahraga, dan mes. Singkatnya, semua kebutuhan ada di dalam kompleks.
Oleh karenanya, mereka tak diperbolehkan keluar dari kompleks. Pun, Mari dan pekerja lainnya tak punya nyali, toh gerbang keluar-masuk kompleks dijaga oleh tentara dan preman.
Di Kingsa, mereka diberi instruksi langsung oleh dua orang bos besar. Dari perawakan dan bahasa yang digunakan, Mari meyakini mereka warga negara China.
Saat itu, Mari baru sadar telah ditipu, bukannya bekerja sebagai CS toko daring, dia malah disuruh cari korban untuk investasi bodong.
Mari dan korban lainnya memang bebas memakai gawai di luar jam kerja, namun dengan satu syarat: tak boleh ada percakapan tentang pekerjaan hingga dokumentasi foto/video tentang tempat mereka bekerja.
Mereka beroperasi di sebuah ruang kerja yang berisi lima meja panjang. Di masing-masing meja, duduk berbaris 12-15 orang. Per orangnya, dibekali 12 gawai. Di setiap gawai, berisi dua aplikasi WA yang profilnya berbeda-beda.
Di dalam satu WA, setidaknya ada delapan grup. Di setiap grup, dimasukkan sejumlah target yang semuanya orang Indonesia. Di grup itu, juga ada 23 nomor WA yang dimiliki Mari dari gawai berbeda.
Di dalam grup, Mari akan bercakap-cakap dengan diri sendiri alias nomor 23 nomor WA-nya yang lain. Mari sudah dibekali naskah percakapan: dia akan membahas soal keuntungan investasi bodong di situs miliki bosnya.
Harapannya, target tertarik dengan isi percakapan. Akhirnya, dia ikut bertanya sampaikan akhirnya diarahkan untuk berinvestasi.
Selama di Kamboja, Mari ditugaskan cari korban yang mau bakar uang di dua situs investasi bodong: Magnipay dan NAP.
Menurutnya, tak sulit mencari korban untuk berinvestasi di Magnipay. Korban diiming-imingi bunga melimpah apabila menanam dana di Magnipay. Jumlah minimal deposito juga cenderung rendah yaitu Rp500.000.
Dalam enam pekan, Mari bersama timnya meraup Rp3 miliar. Jumlah itu berasal hanya dari satu tim. Di satu lantai, ada lima tim. Gedung itu memiliki lima lantai.
Usai 1,5 bulan beroperasi, Magnipay ditutup. Semua korban tak bisa menarik lagi dana investasi mereka.
“Yang kasihan itu, yang jadi korban banyak ibu-ibu, kadang juga tukang ojol,” ungkap Mari.
Selesai di Magnipay, mereka beralih ke situs NAP. Bedanya, NAP menawarkan investasi mata uang kripto.
Mari mengaku kesusahan menawarkan produk kripto kepada orang Indonesia: masih belum banyak yang mengerti. Sejawat Mari juga rasakan hal serupa. Apalagi, minimal depo dinaikkan menjadi Rp1,5 juta.
Alhasil, target minimal dua korban per hari sulit tercapai. Padahal, ketika masih di Magnipay, tak kurang empat korban per hari.
Akibatnya, gaji Mari dkk dipotong untuk penuhi target pembelian di NAP. Otomatis—karena sulitnya cari korban, gaji mereka hampir tak tersisa untuk beli kripto bodong milik bosnya itu.
Seorang rekan Mari tak terima dengan kebijakan tersebut, dia berontak. Hasilnya, dia disekap di kamar mes tanpa jatah makan atau minum. Tak lama setelahnya, empat rekan Mari lainnya mengalami nasib serupa.
Kekerasan verbal pun mulai mengikuti, mereka dibentak hingga terima ancaman setrum apabila tak penuhi target. Nyali Mari ciut. Intensi untuk berontak seakan hilang.
Di tengah jalan Mari dipaksa menandatangani kontrak kerja berdurasi dua tahun. Sebelumnya, kontrak serupa tak ada.
Di samping itu, yang buat Mari makin tak kerasan adalah kehidupan di luar jam kerja. Setiap awal bulan—sehabis gajian, bos Mari membawa sejumlah pekerja seks komersial ke kompleks.
Menurut Mari, para pekerja laki-laki—yang mayoritas masih di bawah 20 tahun—habiskan upah bulanannya untuk perempuan dan alkohol yang dijual bebas di minimarket. Pun, pekerja perempuan dan laki-laki bebas tidur sekamar.
“Aku bukan orang baik, tapi aku ngerasa di situ kayak ‘Wah gila sih, gila, enggak benar’,” ujar Mari.
Sadar nasib mereka tak akan lebih baik, Hardi dan Mari mencoba cari bantuan.
Hardi beruntung, seorang rekannya punya satu gawai seludupan yang berhasil disembunyikan di bawah kasur. Lewat gawai tersebut, rekannya menghubungi keluarga yang berada di Amerika Serikat.
Singkat cerita, lembaga hak asasi International Justice Mission (IJM) turun tangan. Akhirnya, Sun Residance digerebek aparat setempat. Namun, yang dikumpulkan hanya pekerja dari Indonesia.
Mereka diberi pilihan menetap atau kembali ke Indonesia. Hasilnya sembilan orang memilih dideportasi, sembilan orang sisanya tetap di Kamboja.
Hardi salah satu yang memilih pulang ke Indonesia. Bersama delapan rekannya, Hardi diarahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh. Tiga hari setelahnya, KBRI pulangkan Hardi dipulangkan ke Indonesia. Kasus Hardi diproses hukum.
Pada akhir Februari 2023, Pengadilan Negeri (PN) Batam memvonis perekrut Hardi yaitu Julie Evilyn sebagai tersangka TPPO dalam Putusan No. 623/Pid.Sus/2022/PN Btm.
Tersangka dalam kasus Hardi dipidana penjara selama 4 tahun dengan denda Rp200 juta yang bisa diganti dengan tambahan pidana kurungan 2 bulan. Dia juga diwajibkan bayar restitusi kepada sembilan korban.
Meski demikian, Hardi masih tak, merasakan keadilan. Tak sepeser pun restitusi yang diterimanya. Menurut Hardi, terdakwa tak sanggup bayar restitusi sehingga diganti dengan pidana kurungan tambahan.
Yang lebih membuat Hardi kesal kasusnya mandeg tak dikembangkan. Pihak kepolisian hanya menahan satu orang tersangka pada kasus itu, yang notabene cuma pemain lapangan—bukan otak penggerak TPPO.
“Enggak adil juga menurut saya kalau yang ditangkap cuma agensi, perekrut. Kenapa enggak yang berseragam di situ? Padahal banyak yang terlibat," kata Hardi.
Kegeraman Hardi juga bergema di dalam diri Mari.
Usai diancam, dibentak, hingga disekap, seorang rekan Mari memberanikan diri kirim aduan ke KBRI Phnom Penh. Namun, hari demi hari berganti, KBRI tak kunjung merespons aduan itu.
Harapan ke KBRI pupus, mereka mengadu ke SBMI yang justru jauh lebih sigap. Menurut Mari, SBMI langsung berkoordinasi dengan KBRI Phnom Penh dan lembaga terkait.
Setelahnya, barulah KBRI turun tangan. Mari dan pekerja lainnya dikumpulkan dalam satu raungan. Suara bos besar meninggi, mereka dibentak karena libatkan KBRI.
Amarah dari bos besar membuat sekitar 70 WNI diusir dari Kingsa. Para pekerja tersebut terlantar di perbatasan antara Kamboja dengan Vietnam.
Tak punya tujuan yang jelas, mereka coba hubungi KBRI. Sekali lagi, tak ada respons cepat.
Akhirnya, mereka coba cari perhatian di Twitter. Mari dan pekerja lainnya membuat video, mencuit, dan menautkan akun para pejabat terkait. Ternyata, cuitan mereka viral.
Namun, bantuan tetap tak datang. Mereka beranikan diri temui para tentara penjaga perbatasan. Mari malah kembali diarahkan kembali ke Kingsa, dengan alasan pandemi sehingga tak boleh ada keramaian di luar ruangan.
Pada akhirnya, KBRI datang menjemput para WNI itu dan dibawa ke kantor KBRI di Phnom Penh. Namun, seorang pejabat di KBRI malah memarahi mereka karena kasus tersebut diviralkan di media sosial.
“Katanya, ‘di Kamboja itu bukan hal yang aneh, bahkan sampai ada yang dibunuh, dipotong jarinya, ya memang begitu kondisinya, tapi kan tidak mudah untuk evakuasi kalian itu, sebenarnya enggak perlu diviralkan'. Enggak masuk akal sih,” kenangnya.
KBRI kemudian memberi mereka opsi untuk dideportasi atau tetap di Kamboja. Menurut Mari, ada sekitar 50 orang yang memilih pulang ke Indonesia. Setelah hampir 6 bulan di Kamboja, Mari akhirnya pulang ke Tanah Air. Kasusnya diproses hukum.
Pada medio Februari 2022, dalam Putusan No. 2076/Pid.Sus/2021/PN Tng, PN Tangerang memvonis perekrut Mari yaitu Ivan Valianto sebagai tersangka tindak pidana penempatan pekerja migran yang tidak seusai UU.
Tersangka dipidana penjara selama satu tahun dan denda Rp100 juta yang bisa diganti dengan tambahan pidana kurungan satu bulan.
Dia tak diwajibkan membayar restitusi ke korban karena didakwa atas pelanggaran UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia—bukan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sama seperti kasus Hardi, perkara Mari juga selesai divonis satu pemain lapangan. Ibarat permainan catur, kepolisian seakan sibuk 'memakan' para pion tanpa mengincar ratu.
Regita lebih parah lagi: kasusnya tak sampai pengadilan. Menurutnya, pihak kepolisian hanya pernah adakan satu kali konferensi pers. Setelahnya, tak ada kelanjutan.
“Itulah yang saya agak sedikit ini ya, mengecewakan juga. Seperti kasusnya ya udah habis gitu, seperti tidak ada perkembangan dan lain segala macam itu enggak ada,” ucap Regita.
Tapera Untuk Kepentingan Siapa?
Belenggu Bisnis Haram di Tanah Kemakmuran (Part 2)