Stories
Rencana menyediakan hunian dalam Program Tapera tidak mendapat respons positif. Alih-alih menjadi solusi, malah gelombang penolakan yang didapat.
10 Juni 2024
"Tidak setuju, karena kasian dari uang kecil kumpulkan tidak akan cukup untuk cicil rumah dengan harga Rp200 juta," ujar Widaningsih, seorang Pegawai Negeri Sipil.
"Agak tidak setuju, soalnya masih belum clear. Tunggu arahan dan petunjuk dulu dari atasan," ujar Andre yang juga seorang PNS.
"Tidak setuju. Alasannya karena hanya cari-cari cara dapet duit untuk orang-orang di atas, memungut uang dari pekerja yang katanya legal," ujar seorang PNS, Darmono.
"Kayaknya lebih ke tidak setuju, karena banyak yang bilang katanya nanti kalau kita resign dari perusahannya, bakal cair model kayak BPJS Ketenagakerjaan. Menurutku, dari BPJS saja udah cukup. Menurutku pribadi, kinerjanya sama," ujar Rahma, seorang pekerja swasta.
"Jelas tidak setuju. Pertama, dari sosialisasi pemerintah kepada masyarakat masih kurang," ujar Andra seorang pegawai swasta.
"Tidak setuju, karena tidak masuk akal saja, kurang jelas saja untuk spesifikasinya," ujar Dinar pegawai swasta di Jakarta.
Setidaknya 6 dari 10 narasumber yang ditemui secara acak menyatakan tidak setuju terhadap rencana pemerintah untuk memungut iuran yang akan dijadikan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Penolakan tersebut tidak hanya datang dari pekerjaan swasta, tetapi juga diutarakan oleh para pegawa negeri sipil (PNS) yang bekerja di pemerintahan.
Program Tapera yang dicanangkan pemerintah untuk mulai berjalan pada 2027 menuai perdebatan pada masyarakat.
Presiden Joko Widodo alias Jokowi mewajibkan semua karyawan untuk membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal itu termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Tapera.
Melalui aturan tersebut, karyawan swasta akan segera senasib dengan para PNS dan ASN, TNI, Polri, serta pegawai BUMN dan BUMD, lantaran gaji bulanan mereka bakal dipotong untuk iuran simpanan Tapera.
Melansir dari PP Nomor 21 Tahun 2024, besaran iuran simpanan Tapera ialah 3% dari gaji/upah dengan pembagian pemberi kerja 0,5% dan pekerja 2,5%. Adapun besaran iuran simpanan bagi pekerja mandiri sepenuhnya ditanggung sendiri, yakni 3%.
Di tengah ramainya penolakan Program Tapera, pemerintah buka suara untuk memberi penjelasan kepada masyarakat. Menurut pemerintah, banyak masyarakat yang salah kaprah terkait dengan program tersebut.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menilai reaksi penolakan masyarakat pada program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disebabkan kurangnya pemahaman tentang manfaatnya.
“Ini masalahnya banyak yang belum tahu sesungguhnya, memang karena Perpresnya baru turun, sehingga banyak yang bertanya,” ujarnya kepada wartawan.
Padahal, kata Moeldoko, Tapera merupakan turunan dari program Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) yang diperluas sehingga tak hanya menyasar Aparatur Sipil Negara (ASN) saja tetapi juga pekerja swasta dan pekerja mandiri.
Menurutnya, apabila telah melalui sosialisasi yang masif, maka masyarakat diyakininya akan memahami bahwa banyak manfaat yang akan diberikan dari program yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) itu.
“Ini bukan iuran, ini tabungan sehingga nanti ada namanya pemupukan. Nah jadi kayak pohon gitu padi dipupuk jadi anaknya banyak nanti akan ada anaknya ini. Dari apa yang disambungkan di kemudian hari, kalau mau diambil setelah pensiun selesai itu bisa dicairkan, ada bunganya. Apa yang rugi? nggak ada yang rugi,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Moeldoko meyakini bahwa program yang akan memangkas gaji pekerja itu tak akan ditunda meskipun masih menuai pro kontra di lapangan oleh banyak pihak.
“Kesimpulan saya bahwa Tapera ini tidak akan ditunda, wong memang belum dijalankan. Sejak ada perubahan Bapertarum ke Tapera, ada kekosongan dari 2020 ke 2024 tidak ada sama sekali iuran, karena memang Tapera belum berjalan,” pungkas Moeldoko.
Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menjelaskan urgensi implementasi program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi para pekerja swasta.
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho menjelaskan program iuran Tapera penting diimplementasikan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.
Sementara itu, kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah sangat terbatas. Oleh karena itu, dia menyatakan implementasi Tapera dinilai menjadi salah satu jalan yang mampu mengentaskan ketimpangan tersebut.
Di samping itu, kewajiban iuran Tapera bagi non-ASN nantinya hanya akan dibebankan bagi tenaga kerja yang memiliki pendapatan di atas upah minimum provinsi ataupun regional.
Skema tersebut diterapkan dengan mengusung azas gotong royong. Nantinya, pekerja yang tak membutuhkan rumah, iuran tabungannya akan dialihkan untuk subsidi KPR bagi yang belum memiliki rumah.
Adapun, Pudyo menegaskan, pekerja yang tak memerlukan rumah dipastikan dapat menarik kembali saldo iuran yang telah dibebankan pada saat pensiun atau saat telah tidak menjadi peserta Tapera.
"Kalau mengandalkan pemerintah saja tidak akan selesai. Maka, perlu grand design yang melibatkan masyarakat bersama-sama dan konsepnya bukan iuran tapi menabung," pungkas Pudyo.
Alih-alih memadamkan gejolak penolak di masyarakat, penjelasan pemerintah justru kian mendatangkan pro dan kontra.
Mendapati respons masyarakat tersebut, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sekaligus Ketua Komite BP Tapera, Basuki Hadimuljono mengaku menyesali kemarahan yang terjadi atas rencana pelaksanaan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Dengan kemarahan ini [terhadap program Tapera] saya pikir saya menyesal betul," kata Basuki saat ditemui di Kompleks DPR RI, Kamis (6/6/2024).
Basuki mengaku telah melakukan pembicaraan dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk dapat menunda implementasi Tapera.
"Apalagi kalau [ada usulan], misalnya DPR, Ketua MPR, itu diundur. Menurut saya, saya sudah kontak dengan Bu Menteri, kita akan ikut," kata Basuki saat ditemui di Kompleks DPR RI, Kamis (6/6/2024).
Basuki menyatakan pemerintah juga tidak akan tergesa-gesa mengimplementasikan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) apabila memang dinilai belum siap.
"Menurut saya pribadi kalau memang belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa," ujarnya.
Asosiasi Pengusaha Indonsia (Apindo) menilai penerapan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) seharusnya tidak bersifat wajib, melainkan sukarela.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, mengatakan kalangan pengusaha akan meminta pemerintah untuk mengkaji ulang Peraturan Pemerintah No.21/2024.
"Kita tolak itu adalah pembebanan iuran kepada kami, secara paksa, wajib, bukan sukarela. kalau ini dibuat dengan konsep sukarela, kami tidak ada masalah, jadi kita bukan menolak UU dan PP-nya," kata Shinta kepada wartawan di Kantor Apindo, Jumat (31/5/2024).
Shinta menerangkan, penerapan iuran Tapera sangat memberatkan bagi swasta. Apalagi, skema penyaluran dana Tapera nantinya disebut tidak jelas pemanfaatannya untuk membiayai perumahan rakyat.
Di samping itu, dia tak menampik bahwa konsep penyediaan perumahan rakyat yang dicanangkan pemerintah cukup bagus. Namun, dia menyayangkan beban yang ditambahkan sementara masih ada program Jamsostek yang masih dapat dioptimalkan.
"Pembebanan iuran itu sebaiknya tidak dijalankan untuk swasta dan kalaupun mau tetap dijalankan Tapera ya silakan, tapi kalau mau ya sukarela, tidak wajib karena kan tabungan. ASN, PNS, TNI itu juga boleh silakan," ujarnya.
Di lain pihak, kalangan buruh meminta agar kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dikaji ulang dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Hal tersebut disampaikan Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam aksi demo di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
“Nanti sajalah pemerintah yang baru yang mikirin. Pemerintah yang baru yang akan memikirkan perumahan rakyat karena itu perintah konstitusi,” kata Said saat ditemui awak media, Kamis (6/6/2024).
Said menuturkan, buruh akan melanjutkan aksi demo yang lebih luas dan lebih besar jika pemerintah tidak segera mencabut kebijakan program Tapera.
“Bila mana ini tidak dicabut, maka akan dilakukan aksi yang lebih meluas di seluruh Indonesia dan melibatkan komponen masyarakat yang lebih luas,” kata kata Said.
Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap bahwa iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera bukan hanya memberatkan masyarakat di tengah pelemahan ekonomi.
Namun kebijakan tersebut juga berpotensi menyebabkan penurunan produk domestin bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menyampaikan bahwa kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun, yang menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.
“Perhitungan menggunakan model input-output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha,” kata Huda dalam keterangan resminya, dikutip Senin (3/5/2024).
Huda juga mencermati dampak selama kebijakan Tapera berjalan, masalah backlog perumahan juga belum dapat diatasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan.
“Adapun alasan backlog sempat alami penurunan lebih disebabkan oleh perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya,” ungkapnya Huda.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan tersebut juga dapat berpotensi menyebabkan hilangnya 466.830 pekerjaan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan.
“Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain,” kata Bhima.
Ekonom asal Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi menilai perluasan program iuran Tapera hingga menyasar pegawai swasta dinilai hanya akal-akalan pemerintah untuk mendapatkan dana murah jangka panjang.
Pasalnya, jika dasar dari penerapan program iuran Tapera adalah untuk memberikan masyarakat rumah, skema tersebut tidaklah tepat.
“Bukan solusi, tapi akal-akalan pemerintah saja untuk dapat dana murah jangka panjang,” ungkapnya.
Pada dasarnya, setiap aturan yang dibuat sejatinya mengikuti dengan kebutuhan dan dinamika yang ada pada masyarakat.
Sebagai mana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28 H Ayat 1, setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun, jika lahirnya program Tapera merupakan salah satu bentuk kehadiran negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi kenapa tidak mendapatkan animo yang positif. Lantas, untuk siapa aturan tersebut?
Bom Waktu UKT dan Masa Depan Sarjana Cicilan