bisnis-logo

People

Setelah 7 Tahun Jokowi 'Bertahta'

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) genap berumur tujuh tahun pada 20 Oktober 2021. Hal ini menjadikan Jokowi sebagai kepala negara berlatar belakang sipil paling lama menjabat pasca reformasi. Jokowi mewarisi stabilitas politik, hukum, keamanan dan ekonomi dari rezim sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

23 Oktober 2021

A+
A-

Selama tujuh tahun pemerintahannya, Jokowi nyaris tak menghadapi ancaman disintegrasi, kerusuhan politik, dan kekosongan kas negara, seperti para pendahulunya.

Dengan bekal tersebut, Jokowi sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan kualitas demokrasi, penegakan hukum hingga ekonomi. Tentu, asumsi tersebut tidak memperhitungkan kondisi force majeure seperti pandemi Covid-19.

Sayangnya, modal stabilitas tersebut tak mampu dioptimalkan Jokowi dengan para konco-nya untuk membawa Indonesia lepas landas. Indonesia masih stagnan baik dari sisi politik, hukum, dan ekonomi.

Dari sisi ekonomi, misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia nyaris melandai kalau tidak mau dikatakan turun. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tujuh tahun terakhir hanya dikisaran 5 persen. Bahkan di bawahnya.

Kinerja ekonomi itu bukan hanya rendah, tetapi jauh dari ekspektasi pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen. Dengan kinerja ekonomi itu, Indonesia berpeluang besar terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah alias middle income trap.

Setali tiga uang, nasib bidang politik juga mengalami kemunduran. Stabilitas politik kerap terguncang lantaran gesekan antar faksi. Fenomena politik identitas makin kuat. Akibatnya kegaduhan kerap terjadi akibat perbedaan preferensi politik di masyarakat.

Ada analisa yang menyebutkan bahwa rentannya guncangan politik terjadi karena posisi Jokowi yang bukan pemilik partai. Jokowi adalah sosok pemimpin sipil yang diusung oleh partai-partai pendukung. Sehingga, untuk menjaga keseimbangan kekauasaan, dia harus mengakomodir kepentingan partai pendukungnya.

Makanya pada periode kedua pemerintahannya, fenomena 'balas budi' politik semakin tampak secara kasat mata. Praktik bagi-bagi kekuasaan kemudian memunculkan dugaan keterlibatan tangan-tangan 'oligarki'.

Imbasnya, kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi semakin tergerus. Indeks demokrasi Indonesia menurun. Konon, angkanya terendah dalam beberapa 14 tahun terakhir. Penurunan indeks demokrasi ini menjadi alarm bagi pemerintahan Jokowi yang dipilih secara demokratis.

Catatan 'hitam' pemerintahan Jokowi itu semakin kompleks jika melihat kinerja penegakan hukum, khususnya korupsi.

Pemberantasan korupsi semakin amburadul. Indeks persepsi korupsi stagnan. Peringkat Indonesia bahkan terus turun. Hal ini menandakan bahwa indikator-indikator dalam pemberantasan korupsi rontok akibat tumpulnya institusi penegak hukum.

Meski demikian, dalam kasus korupsi Jiwasraya maupun Asabri, pemerintahan Jokowi harus diapresiasi. Dua kasus ini merupakan skandal korupsi besar di sektor keuangan, barangkali setelah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang pernah terungkap.

Namun, dua kasus tersebut tak bisa menjadi tolok ukur untuk menyimpulkan apakah pemerintahan Joko Widodo berhasil atau tidak dalam memberantas praktik korupsi. Sebab, tikus-tikus berdasi masih saja berkeliaran. Praktik jual beli pengaruh juga terus berlangsung.

Catatan lain yang perlu menjadi perhatian selama pemerintahan Jokowi adalah penanganan pandemi Corona. Semua negara memang baru pertama kali menghadapi pandemi yang berlangsung lebih dari setahun belakangan.

Khusus Indonesia, duit ratusan triliun telah digelontorkan. Namun hasilnya tidak sesuai rencana. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan telah mewanti-wanti adanya potensi fraud dalam pengelolaan anggaran, barang dan program terkait pandemi Covid-19.

Bisnis+ edisi kali ini akan mengulas berbagai capaian dan kelemahan pemerintahan Jokowi yang terlah berlangsung selama 7 tahun. Tentunya ulasan ini didasarkan pada data-data statistik yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah lainnya.

SUSAH PAYAH BERANTAS RASUAH

Kasus korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang genap berusia 7 tahun pada 20 Oktober mendatang.

Malah yang terjadi belakangan ini, kinerja pemberantasan korupsi cenderung stagnan kalau tidak mau dikatakan menurun. Ontran-ontran alih status pegawai KPK, amandemen UU KPK, dan berulangnya kasus rasuah menjadi penyebab utama mundurnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.

Tansparansi Internasional Indonesia (TII) mencatat Indeks Presepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 yakni 37 yang menjadikan Indonesia di peringkat ke-102 dalam penangangan korupsi.

Peringkat tersebut menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni di level 86 dengan indeks 40. Posisi Indonesia sebelumnya direbut oleh Timor Leste yang berada di peringkat 86 dengan indeks 40.

Dengan skor 40 pada 2019, perekonomian dan investasi berkembang secara menjanjikan. Namun di lain pihak kebebasan masyarakat sipil dan lembaga pengawasan dilemahkan secara sistematis.

Ketua Dewan Pengurus Transparency International (TII) Delia Ferreira Rubio, sebagaimana dilansir dalam keterangan resminya, mengatakan saat Covid-19, Indonesia bukan hanya sekadar krisis kesehatan dan ekonomi. Namun, juga krisis korupsi dan demokrasi.

Kemandirian dan efektivitas komisi antikorupsi Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK), telah mengalami kemunduran.

KPK dipandang sebagai simbol kemajuan dan modernisasi dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi kehilangan independensinya setelah terjadi perubahan undang-undang pada akhir 2019.

Secara paradoks, agenda Presiden Widodo mengutamakan investasi dan ekonomi telah mengabaikan masalah korupsi yang menjadi pusat perhatian. Indonesia berisiko membuat investor takut dan memperlambat kemajuan ekonomi.

Sejumlah temuan dan kajian Transparency International menyatakan bahwa korupsi yang merusak pelayanan publik juga berpotensi sepanjang penanganan Covid-19 dalam sektor kesehatan.

Negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi terbukti sangat gagap dalam menangani pandemi. Sedangkan negara yang relatif bersih dari korupsi juga harus menghadapi situasi resesi ekonomi dan kemungkinan pembatasan sejumlah partisipasi publik dalam ruang demokrasi.

Sekadar informasi, IPK 2020 bersumber pada 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik di 180 negara dan teritori. Penilaian IPK didasarkan pada skor. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Turunnya skor CPI Indonesia pada 2020 membuktikan bahwa sejumlah kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas hanya akan memicu terjadinya korupsi.

Sementara itu, Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMCR) dalam survei terkait dengan evaluasi publik nasional 2 tahun kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, mengonfirmasi adanya kemunduran persepsi terkait dengan pemberantasan korupsi.

Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas mengatakan warga yang menilai kondisi pemberantasan korupsi baik atau sangat baik sekitar 24,9 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan yang menilai buruk atau sangat buruk, yakni sebesar 48,2 persen.

Sementara yang menilai kondisi pemberantasan korupsi sedang saja sebanyak 23,2 persen. Masih ada 3,8 persen yang tidak menjawab atau tidak tahu. Dalam 2 tahun terakhir persepsi atas korupsi cenderung memburuk.

“Dari April 2019 ke September 2021, yang menilai korupsi di negara kita semakin banyak jumlahnya naik dari 47,6 persen menjadi 49,1 persen, sebaliknya yang menilai korupsi semakin sedikit menurun dari 24,5 persen menjadi 17,1 persen,” kata Sirojudin, Selasa (19/10/2021).

Di sisi lain, hasil survei SMRC juga menunjukkan masyarakat menilai koruptor atau pelaku korupsi menjamur. Sirojudin menjelaskan bahwa 17,1 persen warga yang menganggap korupsi sekarang semakin sedikit.

Menariknya, yang menilai korupsi semakin banyak sebesar 49,1 persen, sedangkan yang menilai tidak ada perubahan sebanyak 27,8 persen, dan yang mengatakan tidak tahu 6 persen.

Angka 49,1 persen sangat mengejutkan dan tergolong tinggi. Angka ini juga mengindikasikan bahwa komitmen pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemeritahan Jokowi patut dipertahankan.  Apalagi angka ini jelas mengalami kenaikan dibandingkan dengan survei pada 2019 silam.

“Dalam dua tahun terakhir, penilaian positif warga atas kondisi korupsi di Indonesia menurun dibanding pada 2019 dari 24,5 persen pada April 2019 menjadi 17,1 persen pada september 2021. Sementara yang menilai korupsi semakin banyak naik dari 47,6 persen menjadi 49,1 persen,” jelasnya.

PENURUNAN KUALITAS DEMOKRASI

Indeks Demokrasi Indonesia cenderung menurun selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang genap berusia 7 tahun pada 20 Oktober lalu.

Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Laporan Indeks Demokrasi 2020, posisi Indonesia di bawah Timor Leste.

Skor itu merepresentasikan bahwa indeks demokrasi Indonesia terburuk selama kurun 14 tahun terakhir. Adapun, laporan itu adalah sebuah indeks yang disusun oleh EIU sejak 2006 dengan tujuan mengukur keadaan demokrasi di 167 negara di dunia.

Ada lima indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara, antara lain proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.

Berdasarkan skor atas indikator-indikator tadi, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara yang disurvei ke dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.

Dari indikator-indikator tadi, Indonesia mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, skor 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah, skor 6,11 untuk partisipasi politik, skor 4,38 untuk budaya politik, dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.

Jumlah skor yang diperoleh Indonesia pada 2020 ternyata merupakan perolehan terendah dalam 14 tahun terakhir.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) mencatat Indeks Demokrasi Indonesia pada indikator kebebasan berpendapat mendapat angka yang tinggi jika dibandingkan antara 2015 dan 2020. Ini mencakup yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau masyarakat.

Berdasarkan data yang dikutip Bisnis dari situs BPS, ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat pada 2015 ada di 86,76 dari poin tertinggi 100. Adapun pada 2020 mencapai 86,76.

Lalu, ancaman kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat pada 2015 berada pada skor 85,85, sedangkan 2020 angkanya 86,95.

Ini berbanding terbalik dengan ancaman kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat. Pada 2015 berada indeks tersebut berada skor 65,32, pada 2020 angkanya 58,82.

Hal tersebut juga sama dengan ancaman kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat tahun 2015 berada pada skor 46,69. Adapun 2020 angkanya 42,28.

Sementara itu, indeks demokrasi menurut aspek dan provinsi, pada 2015 untuk kebebasan sipil 80,3. Hak-hak politik 70,63 dan lembaga demokrasi 66,87 dari skor tertinggi 100.

Dibandingkan pada 5 tahun kemudian, untuk kebebasan sipil 79,4. Hak-hak politik 67,85 dan lembaga demokrasi 75,66 dari skor tertinggi 100.

Artinya jika melihat angka-angka dan kajian tersebut, pembangunan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya berjalan baik. Ancaman kebebasan sipil masih terus terjadi.

Politisi Gerindra Fadli Zon bahkan menyebut indeks demokrasi Indonesia terendah selama 14 tahun terakhir.“Dengan skor yang rendah itu, kita masih dikategorikan sebagai negara dengan ‘demokrasi cacat’,” tukas Fadli Zon.

Di sisi lain, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti sikap reaktif yang ditunjukan oleh pejabat publik dalam menyikapi kritik yang disampaikan oleh masyarakat.

Aksi penangkapan dan somasi sering terjadi. Mereka khawatir somasi terhadap warga yang mengajukan kritik menjadi opsi yang cenderung dipilih para pejabat pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

“Kami mencatat, dalam beberapa bulan terakhir saja, setidaknya terdapat dua somasi yang dilayangkan oleh pejabat publik,” kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar.

BESAR PASAK DARIPADA TIANG

Pemerintahan Joko Widodo memang menitikberatkan upaya memperluas basis ekonomi. Investasi dibuka lebar. Proyek infrastruktur digenjot habis-habisan dari Sabang dan Merauke.

Menariknya, dalam proses pembangunan tersebut, kemampuan kas negara sebenarnya tidak cukup untuk mendukung pembangunan dalam skala besar-besaran. Belanja pemerintah kemudian membengkak, utang melambung, akibatnya stabilitas anggaran limbung.

Goyahnya keseimbangan fiskal terefleksi melalui peningkatan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang didukung oleh penurunan rasio pajak atau tax ratio.

Berdasarkan catatan Bisnis, rasio utang terhadap PDB terus menunjukkan tren peningkatan sejak 2012, yang kala itu hanya 24 persen terhadap PDB. Sementara itu, rasio pajak atau tax ratio belum mampu beranjak.

Pada tahun ini, rasio utang terhadap PDB berpotensi mencapai 44,37 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan target pemerintah yang ditetapkan di angka 41 persen terhadap PDB.

Tingkat utang itu juga lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu yang tercatat 39,35 persen terhadap PDB. Peningkatan ini sejalan dengan terus menanjaknya outstanding utang negara.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 pemerintah menarik banyak utang baru karena kinerja penerimaan yang tersendat.

Potensi membengkaknya rasio utang hingga mencapai 44,37 persen terhadap PDB itu dihitung dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini berada di batas bawah, yakni 3,7 persen, sehingga menghasilkan PDB harga berlaku senilai Rp16.005,2 triliun.

Di sisi lain, outstanding utang pemerintah pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp7.101,6 triliun. Angka ini berasal dari total outstanding utang pada tahun lalu ditambah dengan outlook pembiayaan pada tahun ini.

Peningkatan utang pemerintah bukan perkara yang cukup krusial untuk diperdebatkan. Sebab, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan negara, terlepas dari manapun sumbernya.

Akan tetapi, hal itu menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan kinerja penerimaan negara, terutama dari sektor pajak, dengan maksimal. Daya pungut otoritas pajak masih cukup lemah. Berdasarkan penghitungan Bisnis, rasio pajak pada 2021 hanya 7,99 persen.

Bahkan jika menilik data ke belakang, ada tren yang cukup mengkhawatirkan. Tren rasio pajak terus menurun. Akibatnya, upaya pemenuhan kebutuhan anggaran sebagian didapatkan dari pembiayaan alias utang.

Lonjakan rasio utang dan anjloknya rasio pajak tentu akan membawa mara bahaya.  Keseimbangan fiskal pemerintah terguncang. Upaya pemulihannya juga membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kalau tidak? Warisan utang semakin tinggi menjulang dan impian pemerataan pembangunan akan hilang.

KEPERCAYAAN PUBLIK TERGERUS

Beberapa lembaga survei dalam sebulan terakhir mencatat kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma'ruf Amin dianggap baik. Namun ada juga yang menyebut kepercayaan publik terhadap Jokowi mulai menurun.

Survei terbaru adalah hasil sigi Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMRC) yang menyebut publik puas dengan kinerja 2 tahun Jokowi-Ma'ruf Amin, meski ada catatan.

Pada hasil survei yang dirilis SMCR hari ini, publik menilai penegakan hukum hingga pemberantasan korupsi memburuk. Meski begitu, mereka puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin selama dua tahun ini.

Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas mengatakan bahwa sebanyak 68,5 persen responden sangat atau cukup puas dengan kerja Presiden Jokowi. Yang kurang atau tidak puas 29,5 persen dan 2 persen yang menjawab tidak tahu atau tidak memberikan jawaban.

Approval rating atau tingkat kepuasan publik ini relatif stabil sejak 2019. Pada survei April 2019, tercatat ada 71,4 persen warga yang menyatakan puas atas kinerja presiden. Angka ini menjadi 68,8 persen pada survei Oktober 2020 dan sekarang 68,5 persen,” katanya saat pemaparan melalui konferensi pers virtual.

Sirojudin menjelaskan bahwa kepuasan ini terjaga terutama karena mayoritas publik menilai positif kinerja pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19. Ini terlihat dari hasil survei 64,6 persen warga merasa sangat atau cukup puas dengan kerja pemerintah pusat menangani Covid-19.

Sementara yang kurang atau tidak puas sebanyak 32 persen, dan masih ada yang menjawab tidak tahu sebesar 3,4 persen.

Penilaian positif ini cenderung menguat dalam satu tahun terakhir. Pada survei Oktober 2020, ada 60,7 persen yang menyatakan puas atau sangat puas pada kinerja pemerintah menangani Covid-19. Angka ini naik menjadi 64,6 persen pada survei September 2021.

“Dari yang merasa sangat atau cukup puas dengan kerja pemerintah pusat menangani Covid-19, ada 48 persen yang beralasan bahwa walaupun Covid-19 masih mengancam, pemerintah sudah bekerja keras untuk mengendalikan wabah ini. Selanjutnya ada 32,3 persen yang menilai bahwa sejauh ini Covid-19 cukup terkendali meskipun masih banyak,” jelasnya.

Meski kinerja Jokowi baik, penanganan hukum dan pemberantasan korupsi dianggap memburuk.

Juru Bicara (Jubir) Presiden RI, Fadjroel Rachman merepons survei dari SMRC. Dia menilai bahwa selama dua tahun terakhir pemerintah dihadapi tantangan yang berat, yaitu Covid-19. Namun, seluruh elemen tetap bahu-membahu mendukung upaya pemerintah.

“Terima kasih atas dukungan dan ketangguhan seluruh komponen masyarakat yang tumbuh dan bangkit bersama dalam dua tahun yang cukup sulit karena pandemi Covid-19,” kata Fadjroel saat dikonfirmasi, Selasa (19/10/2021).

Fadjroel menjelaskan bahwa tentu kinerja Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin tidak sempurna. Hal tersebut, terutama penegakan hukum, bakal menjadi catatan dan bahan evaluasi.

“Beberapa kekurangan menjadi catatan yang harus terus diperbaiki,” ujarnya.

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Palagan Terakhir Purnawirawan Baju Loreng

back-to-top
To top