bisnis-logo

Stories

'Robohnya' Lembaga Eijkman Kami

Dampak peleburan Eijkman Institute for Molecular Biology atau Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tak hanya menjadi sorotan masyarakat, tetapi menimbulkan kesedihan di kalangan peneliti. Lantas, bagaimana nasib keberlangsungan riset di Indonesia?

10 Januari 2022

A+
A-

Sudah satu setengah tahun belakangan Zara, bukan nama sebenarnya, bekerja sebagai peneliti di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman.

Mimpinya menjadi peneliti terbuka lebar saat dia menginjakkan kaki di gedung dengan arsitektur belanda yang terletak di kawasan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat.

LBM Eijkman memang jadi salah satu tempat favorit mahasiswa Biologi di Indonesia untuk meniti karier. Beragam penelitian di bidang kedokteran terus diteliti, mulai dari vaksin hingga sel punca.

“Waktu itu saya pikir [peleburan LBM Eijkman ke BRIN masih kabar burung, belum tentu benar,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Selasa (4/1/2022).

Namun, mimpi Zara untuk berkarier sebagai peneliti pupus ketika LBM Eijkman dipaksa untuk bergabung ke BRIN.  

Dia mengaku sedih dan kecewa atas keputusan tersebut. Bukan sekadar statusnya sebagai pekerja hilang, penelitian yang tengah dia lakukan pun tidak dapat dilanjutkan.

Keputusan pemerintah melebur LBM Eijkman ke BRIN membuat Zara harus menerima kenyataan untuk berhenti bekerja sementara waktu. Meski demikian, semua pengalaman yang dia rasakan saat bekerja di LBM Eijkman tidak membuatnya patah semangat.

“Saat ini belum terpikirkan mau lanjut kemana, belum menemukan wadah yang tepat,” ujarnya.

Sebenarnya, peleburan LBM Eijkman sudah terjadi di September 2021. Saat itu pun nama LBME berubah menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman (PRBME).

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyampaikan bahwa terintegrasinya LBM Eijkman ke dalam BRIN akan memperkuat kompetensi periset biologi molekuler di Indonesia.

Perubahan status LBM Eijkman menjadi PRBM Eijkman ditandai dengan serah terima simbolis manajemen dari Kepala LBM Eijkman periode 2014 – 2021, Amin Soebandrio kepada Plt. PRBM Eijkman, Wien Kusharyoto.

“Masuknya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman kepada BRIN yang menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman maka kompetensi para periset biologi molekuler akan semakin meningkat. Apalagi selama ini LBM Eijkman sudah memiliki budaya riset yang tinggi,” ujar Handoko mengutip brin.go.id, Minggu (2/1/2022).

Dia membenarkan bahwa pegawai honorer Eijkman langsung diberhentikan dan tidak memperoleh pesangon usai peleburan tersebut.

Mengacu pada regulasi, dia mengatakan honorer di lembaga pemerintah selalu berbasis kontrak tahunan, dan wajib diberhentikan pada akhir tahun anggaran. Menurutnya, pemberian pesangon justru melanggar hukum

“Kalau ada pesangon itu melanggar hukum. Di kontrak yang mereka TT [Tandatangani] pasti tertera hal tersebut. Kalaupun ingin memberi, kami tentu tidak bisa memberikan hal semacam itu,” jelasnya.

Dengan peleburan ini, kata Handoko, status para periset di LBM Eijkman dapat diangkat menjadi peneliti dengan mendapatkan segala hak finansialnya.

“Perlu dipahami bahwa LBM Eijkman selama ini bukan lembaga resmi pemerintah, dan berstatus unit proyek di Kemenristek. Kondisi inilah yang menyebabkan selama ini para PNS Periset di LBM Eijkman tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh, dan berstatus seperti tenaga administrasi," imbuhnya.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko/Antara 

Sejarah Eijkman

Lembaga penelitian ini dibentuk untuk melakukan penelitian dasar dalam biologi molekuler medis serta bioteknologi dan diklaim menjadi tempat lahir Ilmu Vitamin dan Kedokteran Tropis.

LBM Eijkman secara resmi berdiri sejak Juli 1992 dan mulai beroperasi pada April 1993. Peresmian dilakukan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1995.

Mengutip situs resmi Eijkman, lembaga tersebut merupakan sebuah yayasan yang di gunakan sebagai Laboratorium Penelitian untuk Patologi dan Bakteriologi. Nama Eijkman yang tersemat pada lembaga tersebut diambil dari nama ilmuwan asal Belanda sekaligus pemenang hadiah Nobel pada 1929 atas karya temuan hebatnya, yakni Christiaan Eijkman.

Christian Eijkman adalah seorang direktur pertama dari Lembaga Eijkman yang berhasil mendapatkan temuan hebat dari penelitiannya yaitu hubungan antara kekurangan vitamin B1 dan penyakit beri-beri yang menjadi dasar konsep vitamin modern. Melalui hasil karyanya, Laboratorium penelitian itu lalu ditunjuk sebagai Laboratorium Medis Pusat di Indonesia. Dalam peringatan 50 tahun pendirian menjadi Eijkman Institute atau lembaga Eijkman. 

Herawati Sudoyo, Deputi Riset Fundamental LBM Eijkman mengungkapkan latar belakang berdirinya lembaga Eijkman. Di era 90-an, kata dia, kondisi riset dasar atau basic research di Indonesia sangat lemah. Hal tersebut disadari oleh Menristek kala itu, BJ Habibie.

“Membuat suatu pesawat terbang beda dengan kedokteran, beda dengan obat-obatan atau vaksin. Waktunya lama dan butuh banyak sekali biologi molekul. Di situ kita [Eijkman] masuk,” ujar Prof Hera dalam diskusi yang diunggah oleh akun Youtube Gita Wirjawan. 

Indonesia, kata dia, membutuhkan lembaga penelitian fundamental yang tugasnya mendukung bioteknologi kedokteran. Lantas, mengapa dipilih nama Eijkman bukan Sardjito atau Cipto Mangunkusumo?

Herawati mengatakan pemerintah menggunakan gedung Eijkman sebagai cikal bakal Lembaga Biologi Molekuler di Indonesia. Menurutnya, gedung tersebut memang dibangun oleh pemerintah Belanda untuk lembaga penelitian.

Dia menuturkan pada periode 1945 lembaga Eijkman diambil alih oleh Jepang. Saat itu, peneliti Belanda gak ada sehingga gedung tersebut dipakai oleh RSCM sebagai laboratorium bakteriologi.

Menristek BJ Habibie, lanjutnya, merasa Indonesia harus punya lembaga. Akhirnya, pemerintah menghidupkan kembali gedung tersebut sebagai lembaga penelitian. Herawati mengungkapkan alasan pihaknya menggunakn nama Eijkman.

“Kenapa kita menggunakan nama penjajah [Belanda].  Jawabannya gampang sekali, ‘sciene has no border’ science itu universal,” ungkap Prof Herawati.

Lima Opsi Peneliti

Mantan Kepala LBM Eijkman periode 2014-2021 Amin Soebandrio mengungkapkan dampak peleburan LBM Eijkman ke BRIN, khususnya bagi para peneliti.

“Kejelasan status itu memang lebih baik, artinya [nasib peneliti] lebih jelas. Walaupun levelnya menjadi turun sedikit,” ujar Amin ketika dihubungi Bisnis, Selasa (04/01/2022).

BRIN telah menyedorkan beberapa dan opsi tersebut telah disampaikan melalui forum-forum resmi yang dihadiri periset Eijkman. Pertama, PNS periset dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat sebagai peneliti. Kedua, honorer periset usia di atas 40 tahun dan S3 dapat mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021. Ketiga, honorer periset yang usia kurang dari 40 tahun dan S3 dapat mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021.

Keempat, honorer periset non-S3 dapat melanjutkan studi dengan skema by-research dan research assistantship (RA). Sebagian ada yang melanjutkan sebagai operator laboratorium di Cibinong, Jawa Barat bagi yang tidak tertarik melanjutkan studi. Kelima, honorer non-periset diambil alih RSCM sekaligus mengikuti rencana pengalihan Gedung LBM Eijkman ke RSCM sesuai permintaan Kemenkes yang memang memiliki aset tersebut sejak awal.

Terkait hal itu, Amin mengatakan peneliti yang diberhentikan mau tak mau memang harus mencari tempat baru untuk melanjutka pekerjaan. Meski demikian, dia tak menampik bahwa banyak peneliti muda yang sudah menjadikan LBM Eijkman sebagai rumah sendiri.

“Jika peneliti tidak di terima [lolos seleksi] atau lima opsi itu tidak sesuai, tentu peneliti yang bersangkutan harus mencari ‘rumah baru’,” ungkap Amin.

Selain itu, Amin mengatakan LBM Eijkman sebenarnya sudah berusaha mencarikan solusi lain untuk para peneliti yang tidak bisa mengikuti lima opsi di atas.

Menurutnya, para peneliti ditawarkan pekerjaan untuk mengisi posisi di berbagai laboratorium swasta, rumah sakit, dan perusahaan lain. Amin juga memberikan pesan kepada para mantan peneliti LBM Eijkman.

“Saya sarankan untuk tidak berhenti bekerja, tetap berkarya, intinya, dimanapun mereka bekerja dan berkarya harus tetap memberikan yang terbaik," ucapnya.

Sementara itu, Zara berharap bisa mengikuti opsi melanjutkan studi dengan program Master by Research dan mengikuti Research Assistantship.

Dia mengatakan program tersebut diberikan dengan pembebasan uang kuliah tunggal (UKT), namun harus melakukan pembiayaan sendiri untuk penelitiannya. Menurutnya, penelitian bukan semata-mata menerbitkan jurnal atau paper. Dia ingin penelitian yang dihasilkan dapat berguna dan dibagikan ke masyarakat luas.

“Penelitian harus berguna bagi masyarakat supaya masyarakat paham ada penyakit yang sejatinya timbul secara genetik atau molekuler. Saya harap apa yang saya pelajari di Eijkman ini bisa saya teruskan di pekerjaan baru nanti,” tutup Zara.

Mantan Kepala LBM Eijkman periode 2014-2021 Amin Soebandrio/Antara 

Vaksin Merah Putih

Prof Amin mengatakan proses pengembangan vaskin Merah Putih sedikit terhambat usai Eijkman dilebur ke BRIN. 

“Vaksin Merah Putih tetap jalan, walau agak terhambat,” ucap Amin kepada Bisnis, Rabu (5/1/2021).

Selain pengembangan vaksin Merah Putih, dia menilai perubahan status Eijkman juga berdampak pada pendeteksian Covid-19 dan melakukan pengurutan genome (whole genome sequencing), di tengah potensi naiknya kasus akibat varian Omicron di Indonesia.

Saat ini lembaga yang telah beroperasi selama 33 tahun itu tidak lagi bisa berkontribusi karena sebagian alat deteksi telah dialihkan ke laboratorium milik BRIN di Cibinong, Jawa Barat.

"Kalau kemudian kebutuhannya meningkat seperti bulan-bulan sebelumnya [upaya deteksi] akan terganggu karena Eijkman adalah salah satu kontributor terbesar, sebelumnya malah paling besar," kata Amin.

Melibat besarnya dampak peleburan Eijkman ke BRIN, Narasi Institute bersama sejumlah akademisi yang tergabung dalam Aliansi Anak Bangsa Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam petisi yang diunggah di laman Change.org, Aliansi Anak Bangsa Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa menyayangkan keputusan Jokowi tersebut karena dapat menimbulkan persoalan yang dinilai menghambat masa depan penelitian di Indonesia.

“Urusan peleburan lembaga tersebut ternyata terbentur dengan aturan birokratisasi peneliti yang berujung pada tidak terekrutnya para peneliti terbaik di lembaga tersebut. Padahal mereka adalah peneliti teruji yang berpendidikan S3, S2 dan S1,” tulis Aliansi Anak Bangsa Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa dalam petisi yang dikutip Senin (10/1/2022).

Dalam petisi yang sudah ditandatangani oleh 6.060 dari target 5.000 orang per Senin (10/1/2022) jam 10.50 WIB ini, Aliansi Anak Bangsa Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa meminta Jokowi untuk mengembalikan lembaga yang dileburkan tersebut ke asal kelembagaannya dan menjadikan BRIN hanya sebagai koordinator riset di Indonesia.

Meskipun demikian, para peneliti sepakat dengan gagasan Presiden untuk membenahi, meningkatkan efektivitas, dan efisiensi lembaga-lembaga penelitian kita demi mendukung pembangunan nasional untuk mencapai visi Indonesia Emas.

“Sekiranya Bapak Presiden berkenan, kami dengan senang hati menyampaikan pemikiran dan ide-ide kami mengenai berbagai permasalahan sangat mendasar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga riset kita dan memerlukan reformasi yang hanya bisa terlaksana bila didukung oleh kehendak politik (political will) Bapak Presiden,” kata Aliansi Anak Bangsa Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa.

Peneliti beraktivitas di ruang riset vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/8/2020). Vaksin COVID-19 buatan Indonesia yang diberi nama vaksin Merah Putih tersebut ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2021. ANTARA FOTO - Dhemas Reviyanto

Penulis : Annasa Rizki Kamalina, Akbar Evandio
Editor : Feni Freycinetia Fitriani
Previous

KUR dan Menjaga Asa Usaha 'Wong Cilik'

back-to-top
To top