bisnis-logo

People

Prajogo Pangestu, Kasus Taspen hingga Privilege Keluarga Cendana

Kebangkitan bisnis Prajogo Pangestu tak terlepas dari aliran dana pensiun PT Taspen (Persero) yang dikucurkan untuk memperbaiki kinerja Barito Pasific.

27 November 2023

A+
A-

Entah mimpi apa Prajogo Pangestu waktu itu, dari sopir angkot bisa menjadi salah orang paling tajir di republik ini. 

Hidupnya yang dulu pas-pasan, kini berbalik menjadi serba ada. Mimpinya yang setinggi langit, menghantarkannya menjadi kenyataan pada saat ini.

Kata pas-pasan tidak berlebihan untuk menggambarkan kehidupan Prajogo kecil. Bahkan, pria kelahiran Bengkayang itu hanya bermodal bangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Untuk menyambung hidup sehari-sehari, Prajogo memilih untuk menjadi sopir angkot. Pengalaman sebagai sopir angkot menjadi modal utama mengarungi hidup. Mental baja membuat dirinya sukses seperti saat ini.

Semula, hari-hari berjalan biasa. Hingga akhirnya bertemu dengan seorang pengusaha kayu pada 1960.

Pertemuannya dengan pengusaha kayu asal Malaysia, Bong Sun On atau Burhan Uray membuat dia benar-benar banting setir. Prajogo meninggalkan aktifitas di balik kemudi untuk menggeluti bisnis kayu.

Dia mulai meniti karier di PT Djanjanti Group milik Sun On. Puncaknya, dia mendapatkan promosi untuk menjadi general manager di pabrik Plywood Nusantara.

Prajogo yang telah lama ikut bekerja dengan orang lain, memilih untuk memulai usahanya sendiri. Dia membeli sebuah perusahaan bernama CV Pacific Lumber Coy.

Bermodalkan utank dari bank, Prajogo mulai membesarkan perusahaan itu hingga akhirnya dapat melantai di bursa.

Prajogo juga dikenal dekat dengan Keluarga Cendana yang disebut-sebut menjadi bibit besarnya perusahaan Barito Pasific.

Awal Mula Dekat dengan Cendana

Ibu Kota pada era 1990 dibuat gempar, Bank Duta yang diketahui dimiliki secara mayoritas oleh presiden yang berkuasa kala itu, Soeharto mengalami kerugian.

Mengutip buku Keluarga Indonesia dalam Politik karya Saya Sasaki Shinraishi, Bank Duta --yang dulunya bernama Bank Envoy-- bermula hanya dari sebuah bank kecil. 

Dimulai hanya dengan 14 karyawan, Bank Duta mengalami perkembangan yang sangat baik. 

Bank Duta terus berkembang dari yang hanya berukuran kecil hingga menjadi bank swasta nasional peringkat ketiga pada 1984. Perkembangan Bank Duta terjadi pada era 1978 hingga 1985.

Namun, perkembangan pesat yang dialami Bank Duta sebetulnya bukan karena kinerjanya yang benar-benar baik, melainkan karena adanya sokongan dana murah dari sejumlah perusahaan milik negara.

Kala itu, Bank Duta disokong oleh dana murah yang berasal dari Bulog dan koperasi yang ada dibawah naungan Departemen Koperasi melalui tangan Presiden Komisaris Bank Duta, Bustanil Arifin. Dengan demikian, keuntungan Bank Duta saat itu tidak mencerminkan dari sehatnya bisnis yang dijalankan.

Adapun, bisnis yang terkait dengan aliran dana Bulog di Bank Duta untuk menjalankan yang sifatnya nondana seperti Letter of Credit (LC) dan Bank Guarantees yang memiliki kontribusi besar terhadap keuntungan.

Kucuran dana mudah dan murah ternyata membuat Bank Duta terlena dengan operasional yang sehat. Buktinya, sebuah survei yang dilakukan Lobue Associates --perusahaan konsultan asing-- pada 1989 menunjukkan bahwa Bank Duta kelebihan 300 orang pegawai.

Selama aliran dana muda dari Bulog dan Koperasi terus mengucur, operasional Bank Duta dapat berjalan dengan aman. Di sisi lain, saat aliran dana Bulog tak lagi mengalir, profitabilitas Bank Duta kacau balau.

Aliran dana Bulog mulai seret saat Bustanil Arifin tak lagi memegang jabatan di Bulog. 

Kondisi itu membuat Wakil Direktur Pelaksana Dicky Iskandar Dinata mencari sumber pemasukan baru. Dia berspekulasi dengan mata uang asing.

Alih-alih mendatang sumber keuntungan baru, Bank Duta justru terperosok ke jurang kerugian. Penyebabnya, penerapan hukum yang sangat buruk, kerakusan, dan sistem penyelesaian ketinggalan zaman, membuat investor asing menarik dananya yang berimbas pada tergelincirnya pasar.

Dicky terus melakukan upayanya, dengan harapan dapat mengembalikan kerugian. Dalam praktiknya, Dicky berusaha menutupi kerugian tersebut dengan mengutak-atik neraca keuangan.

Sistem pengawasan yang lemah di tubuh Bank Duta membuat aksi Dicky yang menimbulkan kerugian mencapai US$419 juta telah terendus.

Kabar Bank Duta rugi sampai ke Keluarga Cendana. Imbasnya, Busnatil Arifin dan Dicky Iskandar Dinata dipecat dari jabatannya.

Soeharto yang memiliki 70% saham di Bank Duta melalui tiga yayasan yakni Yayasan Dharmais, Dakab, dan Supersemar, mencari cara untuk menambal kerugian tersebut.

Untuk menutup kerugian tersebut, Soeharto merangkul dua pengusaha Tionghoa . Sebagai gantinya, Soeharto disebut menghadiahi proyek pemerintah berskala besar.

Pengusaha tersebut adalah Liem Sioe Liong dari kelompok Salim, dan Prajogo Pangestu. Liem dan Prajogo Pangestu masing-masing menyetor US$200 juta dan US$220 juta ke yayasan yang memiliki Bank Duta.

Tidak ada penjelasan pasti terkait dengan terpilihnya dua konglomerat tersebut oleh pemerintahan Soeharto. Yang jelas, bantuan tersebut membuat catatan keuangan Bank Duta pada kuartal III/1990 tidak mengalami kerugian.

Kendati demikian, dalam laporan tersebut terdapat catatan kaki, bahwa Bank Duta telah menerima pinjaman US$419,6 juta dari pemegang saham mayoritas.

Aliran Dana Pensiun Taspen ke Barito

Hubungan Prajogo Pangestu dengan Keluarga Cendana kembali berlanjut dengan masuknya PT Taspen (Persero) ke Barito Pacific.

Kisah aliran dana pensiun ke perusahaan miliknya itu menimbulkan banyak kontroversi. Keputusan yang dibuat jelang perombakan kabinet pada 1993 disebut sangat kontroversial.

Mengutip buku Serial Investigasi Skandal Taspen dan Keringan Pegawai Negeri yang diterbitkan Pusat Data dan Anilisa Tempo disebutkan, praktik bagi-bagi dana pensiun itu dilakukan seiring dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan 227 sampai dengan 231 oleh Menteri Keuangan J. B. Sumarlin.

Surat tersebut dinilai kontroversial mengingat di tengah masa demisioner, Sumarlin justru mengeluarkan keputusan penting.

Di samping itu, Taspen, sebagai perusahaan pengelola dana pensiun, dinilai telah salah dalam menjalankan operasionalnya. Pasalnya, perusahaan dana pensiun tidak seharusnya dikucurkan ke investasi yang berisiko tinggi.

Lebih lanjut,untuk investasi portolio, perusahaan pengelola dana pensiun hanya diperbolehkan menggunakan 5% dari ekuitas.

Di balik kuasa Sumarlin, aturan itu diterobos. Melalui surat tersebut dia memberi restu kepada Taspen yang dipimpin oleh Ida Bagus Sar, sebagai Direktur Utama saat itu untuk bekerja sama dan melakukan penyertaan di 17 perusahaan swasta nasional yang belum melantai di bursa efek.

Perusahaan milik Prajogo Pangestu, PT Barito Pacific Timber salah satu perusahaan yang kecipratan.

Barito Pacific menanggok Rp375 miliar dari total Rp1,3 triliun dana Taspen yang dikucurkan ke 17 perusahaan. Bukannya kebetulan, Barito Pacific kala itu tengah mengalami kendala dalam mencari investor untuk memperbaiki kinerjanya.

Karpet merah didapatkan Prajogo Pangestu atas aliran dana Taspen itu. Konglomerat itu disebut dapat dengan mulus mendapatkan persetujuan Sumarlin untuk mendaptkan kucuran dana.

Saham Barito Pacific disebut dihargai senilai Rp3.000 per lembar. Perolehan dana segar disinyalir membuat kinerja perseroan menjadi membaik.

Namun, ketika posisi Menteri Keuangan berganti ke Mar'ie Muhammad, keran dana pensiun dari Taspen ke Barito Pacific langsung ditutup. Sebuah tim dibentuk untuk memperjelas posisi penyertaan modal.

Pergantian kabinet menimbulkan gejolak baru bagi masa depan Barito Pacific yang berencana melepas sahamnya ke pasar modal. Pemerintah berencana menarik kembali penyertaan dana Taspen di Barito Pacific.

Kendati demikian, Barito Pacific yang tengah bersiap melantai di bursa menyatakan tidak keberatan jika dana PT Taspen tersebut ditarik, seperti disampaikan oleh manajemen perseroan dalam berita berjudul Barito Pacific Siap jika Taspen Tarik Penyertaan Dananya, yang menjadi headline Bisnis Indonesia edisi Jumat 16 Juli 1993.

"Jika memang itu kehendak manajemen Taspen, kami bersedia," kata Presiden Komisaris PT Barito Pasific Timber (BPT) di Gedung DPR kala itu.

Namun, saat ditanya mengenai darimana perseroan akan mencari dana penggantinya bila PT Taspen menarik investasinya yang sekitar Rp375 miliar, Prajogo tak mau menjelaskan. “Untuk hal itu saya no comment.” 
Prajogo juga tak menjelaskan apakah penarikan investasi PT Taspen itu bakal berimbas pada rencana perseroan untuk melantai di bursa. 

“Terlalu dini menyatakan perusahaan akan membatalkan go public jika Taspen menarik dana,” katanya saat itu.

Pernyataan Prajogo itu berkaitan dengan SK Menkeu yang dikeluarkan oleh Mari’e Muhammad lewat SK No. S-702/MK01/1993 pada 14 Juli 1993 yang berisi enam butir pokok pelaksanaan, yaitu pertama kaji ulang semua penyertaan dana Taspen ke 17 perusahaan dan kedua bila dalam pelaksanaan transaksi penempatannya ada yang tidak sehat, maka diadakan perundingan lagi dengan mitra perusahaan yang menerima penempatan dana.

Butir ketiga disebutkan bila di kemudian hari penyertaan itu kemungkinan menimbulkan masalah hukum bagi PT Taspen, maka lembaga itu diminta supaya mengikutsertakan konsultan hukum yang independen.

Selanjutnya, butir keempat berbunyi Dirut PT Taspen harus berkonsultasi dengan Tim Pengarah di Departemen Keuangan (Depkeu/sekaran Kemenkeu) dalam menjalankan tugas yang diberikan Menkeu. Adapun, Tim Pengarah terdiri dari Sekjen Menkeu, Dirjen Anggaran, Dirjen Pembinaan BUMN, dan Dirjen Lembaga Keuangan. 

Adapun, butir kelima menyebutkan  jika diangap perlu, PT Taspen boleh berkonsultasi dengan menggunakan jasa pihak ketiga, seperti konsultan hukum atau perusahaan penilai dan keenam sekurang-kurangnya, satu bulan sekali, Dirut PT Taspen melaporkan kegiatannya kepada Tim Pengarah.

Prajogo Pangestu menyampaikan bahwa pihaknya tidak ikut campur soal urusan PT Taspen (Persero) dengan Departemen Keuangan  tentang penempatan dana secara private placement senilai Rp350 miliar di PT Barito Pacific Timber.

“Itu [pengelolaan investasi PT Taspen] adalah masalah internal di sana, termasuk soal PT Taspen dengan Menkeu. Mengenai hal itu yang jelas Taspen yang minta persetujuan ke Menkeu. Urusan Barito hanya dengan PT Taspen,” katanya dalam percakapan khusus dengan Bisnis di kantornya, kala itu.

Presdir Barito Pacific Timber Joso Abdullah Gotama juga mengamini bahwa pengalokasian dana Taspen di perusahaannya didasarkan atas pertimbangan bisnis murni tanpa campur tangan pihak lain. 

“Negosiasinya saja cukup ketat, tetapi akhirnya Taspen setuju karena memang menguntungkan. Jadi alokasi  dana Taspen ke Barito Group adalah benar. Kami akan muat itu dalam prospektus,” tandasnya.

Pada akhirnya, Barito Pacific memperoleh pernyataan efektif pada 11 Agustus 1993 untuk melaksanakan penawaran umum perdana saham atau intial public offering (IPO) sebanyak 85 juta lembar saham dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp7.200,- per saham. 

Berkat santunan dana Taspen itu, mimpi Prajogo Pangestu untuk membawa Barito Pacific melantai di bursa efek terwujud. Barito Pacific resmi dicatatkan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 1 Oktober 1993.

Kekayaan Selangit Prajogo Pangestu

Setelah sukses membawa Barito Pacific ke lantai bursa, Prajogo terus melebarkan sayapnya. Bisnis terus diperluas dengan sejumlah diversifikasi.

Pada awal berdiri pada 4 April 1979, Barito Pacific merupakan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dan perkayuan. Perseroan termasuk salah satu pelopor pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menerapkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Perseroan melakukan diversifikasi usaha usai terjadi krisis moneter Asia 1998 yang membuat iklim sektor industri perkayuan tidak menentu. Kala itu, BRPT menghentikan produksi plywood dan masuk ke berbagai industri sumber daya lain.

Salah satu bentuk diversifikasi yang dilakukan perseroan adalah dengan mencaplok kepemilikan saham mayoritas di PT Chandra Asri yang merupakan produsen olefin di Indonesia. 

Selanjutnya, BRPT juga mengakuisisi perusahaan polypropylene PT Tri Polyta Indonesia Tbk. pada 2008.

Langkah Bisnis Prajogo Pangestu terus berkembang, PT Chandra Asri dan PT Tri Polyta Indonesia kemudian di-merger menjadi PT Chandra Asri Petroochemical Tbk. pada 2011 yang menjadikan perseroan sebagai produsen petrokimia terbesar dan terintegrasi di Indonesia.

Selain di bidang petrokimia, Barito juga melebarkan sayapnya ke proyek-proyek panas bumi (geothermal) dan lainnya seperti pembangkit listrik lewat PT Indo Raya Tenaga yang bekerjasama dengan PT Indonesia Power dan energi terbarukan lewat Star Energy Group Holdings Pte. Ltd.

Terbukti, upaya diversifikasi dari bisnis perkayuan itu membuahkan hasil yang manis. 

Prajogo Pangestu memantapkan statusnya sebagai konglomerat terkaya di Indonesia setelah berhasil menyalip sejumlah nama sultan yang sebelumnya memiliki harta di atasnya.

Berdasarkan daftar orang terkaya di dunia versi Forbes per 21 November 2023, Prajogo Pangestu menempati peringkat ke-27 dengan total nilai kekayaan US$44,5 miliar. 

Harta kekayaannya telah menyalip konglomerat besar seperti Low Tuck Kwong dengan kekayaan US$27,5 miliar, dan pemilik grup Djarum yakni Rudi Hartono dan Michael Hartono yang memiliki kekayaan masing-masing US$24,6 miliar dan US$23,6 miliar.

Kekayaan yang dimiliki Prajogo Pangestu bahkan menyalip harta yang dimiliki oleh pemilik Alibaba, Jack Ma.

Melesatnya kekayaan Prajogo Pangestu tidak terlepas dari moncernya kinerja sejumlah saham perusahaan yang dimilikinya seperti PT Barito Pasific Tbk., PT Barito Renewables Energy Tbk., PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk., dan PT Candra Asri Petrochemical Tbk. 

Menilik kinerja saham perusahaan yang dimiliki Prajo Pangestu, hampir seluruhnya mencatat kinerja yang sangat moncer.

Mengutip dari Bloomberg pada Selasa (21/11/2023), kinerja saham Barito Pasific sepanjang tahun berjalan telah meningkat 37,75% dan terparkir pada harga Rp1.040 per saham. Di sisi lain, jika ditarik dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kinerja saham berkode BRPT itu telah melejit 177,02%.

Kinerja positif juga dicatatkan oleh Chandra Asri Petrochemical yang mencatatkan pertumbuhan 12,45% sepanjang tahun ini. Emiten berkode saham TPIA itu juga tercatat pertumbuhan yang agresif dalam kurun waktu 5 tahun terkahir dengan pertumbuhan 136,88%.

Perusahaan Prajogo Pangestu lainnya yakni Petrindo Jaya Kreasi tercatat pertumbuhan kinerja saham yang fantastis. Dalam 6 bulan terakhir, saham dengan kode CUAN itu meroket 719,88%.

Sementara itu, perusahaan miliknya yang baru melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) awal bulan lalu, Barito Renewables Energy (BREN) telah tumbuh 66,45% dalam waktu 30 hari.

Perusahaan-perusahaan yang dimiliki dan terafilisasi Prajo Pangestu itu bahkan tercatat telah masuk dalam 10 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI.

Pada perdagangan Jumat (24/11/2023), BREN tercatat menempati perusahaan dengan kapitalisasi pasar nomor dua dengan jumlah Rp813 triliun, dan Chandra Asri Petrochemical dengan kapitalisasi pasar terbesar urutan 8 dengan jumlah Rp248 triliun.

Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Muhammad Ridwan
Previous

Mengupas Sengkarut Tata Niaga Bawang Putih

back-to-top
To top