bisnis-logo

Stories

Prabowo, Soekarno, dan Mimpi Alih Teknologi Nuklir Rusia

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memupuk kembali ambisi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir yang telah lama menjadi mimpi Presiden Soekarno.

09 Juli 2025

A+
A-

Langit terlihat cerah. Bulir-bulir awan menghiasi pulau yang berada di seberang Kota Pevek. Dua perempuan paruh baya terlihat sedang bermain di tepi pantai. Angin kencang disertai dinginnya suhu udara diacuhkan.

Salah satu perempuan yang memakai jaket putih terlihat turun ke air. Sesaat kemudian tangannya menyapu ombak. Meraup air, diusapkan ke wajahnya. Berulang dia lakukan hingga reaksi badan dan wajahnya bergidik. Kedinginan.

Tidak jauh dari lokasi perempuan itu ada pembangkit listrik tenaga nuklir terapung (floating nuclear power plant/FNPP) Akademik Lomonosov. Jaraknya sekitar 200-300 meter. Tidak ada rasa takut akan adanya radiasi dari pembangkit. Dia hanya melemparkan senyum dari kejauhan.

Bisnis Indonesia bersama dengan sejumlah media dari Asia dan Afrika diundang oleh Rosatom, perusahaan listrik negara Rusia, untuk melihat langsung FNPP Akademik Lomonosov serta kehidupan warga yang ada di Pevek.

Pevek adalah kota terpencil di tepi pantai yang berada di kawasan Laut Siberia Timur, Rusia. Berada di lingkar Arktik, kutub utara, membuat musim dingin berada di titik beku -40 derajat celcius. Bahkan, tidak ada matahari sepanjang 6-9 bulan (polar night).

Pada musim panas seperti saat ini, suhu terhanggat antara 12-15 derajat celcius. Sepekan berada di Pevek suhu terendah adalah 0 derajat celcius. Kompensasinya tidak ada malam (polar day). Hal itu terjadi sepanjang 3 bulan, dari Juni-Agustus.

Dulu kala, Pevek adalah lokasi kerja paksa atau disebut gulag. Pada era 1940-an, pemerintah Uni Soviet mendatangan para tahanan untuk menambang uranium. Pada era itu perlombaan nuklir sedang gencar-gencarnya. 

Pasca Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki 1945, Uni Soviet merasa posisinya terancam. Upaya mendatangkan uranium (U-235) dari Jerman Timur tidak cukup, akhirnya meminta para tahanan menambang di berbagai daerah.

Bangunan-bangunan tua dari kayu dan semen yang hancur menyisakan nuansa gulag itu masih ada. Pasca Uni Soviet bubar, 1991, kota Pevek banyak ditinggalkan penghuninya. Atap dan dinding-dinding terlihat lapuk dimakan cuaca.

“Dulu penghuninya mencapai 15.000 orang, sekarang sekitar 5.000 orang. Bangunan-bangunan yang hancur itu akan direstorasi,” kata Valeria Schvets-Shust, Kepala Museum Chaunskiy Original di Pevek.

Denyut kehidupan Kota Pevek kembali berdetak sejak kehadiran FNPP Akademik Lomonosov. Tidak hanya memberikan listrik dan pemanas ruangan, peluang lapangan kerja pun kembali dibuka. Mulai dari pertambangan emas, batu bara, produk minyak bumi, batu pecah dan lainnya.

“Pertambangan akan banyak dibuka, makanya kami akan memperluas pelabuhan jadi kapasitas 1,5 juta ton dari saat ini 500.000 ton,” kata Valery Lysenko, Deputy Technical Director for Operation of the Pevek Seaport.

Fasilitas sosial dan olahraga pun dibangun. Tampak sejumlah mainan anak-anak dan tempat nongkrong tersebar di sudut-sudut flat atau rumah susun. Gedung sekolahan tersedia hingga sekolah menengah atas.

“Kalau ingin melanjutkan sampai perguruan tinggi harus keluar dari Pevek. Tapi di sini kami mengajarkan atom class sejak dini meski dari tingkat dasar,” kata Igor Mikhailovich Petrenya, Deputy director of the Center of Education.

Atom class adalah kelas regular dan ekstrakurikuler untuk mata pelajaran Fisika, Matematika hingga Informatika yang diajarkan sejak dini. Di Pevek, program ini dimulai sejak 2021. Rosatom menginisiasi sejak 2011 yang sudah beroperasi di 80 sekolah di 28 wilayah Rusia.

Adapun, fasilitas kesehatan hingga hiburan pun ada di Pevek. Bioskop dan panggung hiburan terlihat ramai di akhir pekan. Kebetulan ada huge day, semacam pesta seni perpisahan sekolah, pada penghujung Juni lalu.

Dengar Pendapat Warga Pevek

Sore itu, puluhan warga Kota Pevek hadir di bioskop. Acaranya semacam ramah-tamah dengan warga sekitar. Mereka bersemangat untuk memberikan testimoni mengenai kehidupan di kota yang bertuliskan asli Певе́к itu.

Constantino Inanto, pekerja di FNPP, mengaku betah tinggal di Pevek. Dengan segala keterbatasan di kota itu, keakraban dan keramahan warga sekitar membuat suasana menjadi lebih hidup. Anton Martynov yang juga pekerja di FNPP, berharap jaringan internet dan infrastruktur lebih bagus lagi. 

Internet di kota ini sangat terbatas. Di tempat publik hingga hotel hanya ada wifi ‘Rosatom’. Kalau ada internet dari operator lokal, Megafon atau MTS Russia, hanya sebatas ‘E’, sehingga tidak stabil.

Anna Pavlova dan Lena Markova, warga kelahiran Pevek, berharap ada perguruan tinggi di kota tersebut. Namun, Lena mengaku bila ada kesempatan lain, dirinya ingin mengadu nasib di daerah lain karena keterbatasan pendidikan.

”Saya pergi 2019, berharap tidak kembali ke Pevek tapi kembali lagi pada 2021, semua sudah berubah [pembangunan kota], tapi kalau ada kesempatan saya ingin keluar,” ujarnya.

Sementara itu, Marina Babkina berharap anak dan cucunya tinggal di kota ini karena memberikan ketenangan. Begitu juga sepasang keluarga muda Anastasia Shamambayeva dan Nikolay Shamambayev rela melepaskan ingar bingar kota St Petersburg hijrah ke Pevek.

Bisnis pun berkesempatan berkunjung ke tempat tinggal warga asli pribumi, suku Chukchi. Suku Chukchi adalah bangsa Arktik kuno yang tinggal di Siberia Timur Laut, Rusia, hingga dekat Selat Bering, Alaska. Namun, sebagian besar tinggal di semenanjung Chukchi atau Chukotka.

Jarak Yeranga, rumah adat suku Chukchi, sekitar 7 kilometer dari FNPP Akademik Lomonosov. Mata pencariaannya mengembala reindeer atau rusa kutub yang dibiarkan berkembang biak liar di belantara Siberia. 

“Saya membuat Yeranga di sini sejak 2008, tidak masalah dengan adanya FNPP karena tidak menganggu mata pencarian saya,” kata Zoya Sopka, perempuan tetua adat yang berusia 70 tahun.

Pembangkit tenaga nuklir di Rusia sudah tidak lagi menjadi isu sosial, karena rekam sejak puluhan tahun. Selain itu, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir menggunakan pendekatan komunitas, sehingga tidak terkesan ekslusif atau menyeramkan bagi masyarakat.

Syaiful Bakhri, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengaku faktor edukasi menjadi kunci dalam pengembangan pembangkit tenaga nuklir di Indonesia.

“Isu di masyarakat tidak bisa dihindarkan, bahkan oleh negara yang sudah punya PLTN. Yang terpenting bagaimana memberi edukasi pada masyarakat pentingnya PLTN, bagaimana PLTN bisa mensejahterakan masyarakat dan merangkul partisipasi masyarakat sebesar-besarnya,” katanya dalam pesan tertulis kepada Bisnis.

Ambisi Nuklir Prabowo Mengejar Mimpi Soekarno

Kunjungan Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto ke St Petersburg, Rusia, pada pengujung bulan lalu membawa angin segar bagi industri nuklir di Indonesia. Sejauh ini, rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) masih berupa angan-angan.

Kerja sama pengembangan PLTN menjadi salah satu kesepakatan dalam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, Rusia, Kamis (19/6).

Terlebih lagi, sebelum Prabowo bertolak ke Rusia, pemerintah telah mengetok palu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN periode 2025-2034. Dalam kerangka tersebut, RI merencanakan untuk membangun nuklir sampai dengan 500 megawatt (MW). Pembangkit tersebut akan dipasang di Sumatra dan Kalimantan dengan komposisi masing-masing 250 MW. Pemerintah memilih opsi memasang pembangkit nuklir skala kecil (small modular ractor/SMR).

Pemerintah langsung tancap gas akan melakukan uji kelayakan lokasi dan beleid lainnya untuk menunjak pembangkit itu. “Kalau nuklir kita feasibility study dulu untuk yang small modular reactor,” kata Airlangga disela-sela pertemuan di Rusia, Sabtu (21/6).  

Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan kesiapan untuk memperluas kerja sama dengan Indonesia di berbagai bidang, mulai dari teknologi nuklir, luar angkasa, hingga kecerdasan buatan. 

“Kami terbuka untuk kerja sama dengan mitra Indonesia di bidang nuklir. Kami juga berkeinginan untuk merealisasikan proyek nuklir di bidang damai, termasuk bidang kesehatan, pertanian, dan pelatihan staf,” ujarnya dalam forum itu. 

Dalam RUPTL, pasokan listrik dari pembangkit nuklir ditargetkan masuk ke dalam jaringan PLN pada 2032-2033. Adik Prabowo sekaligus Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan, Hashim Djojohadikusumo, menyampaikan ambisi besar untuk membangun PLTN kapasitas 10 gigawatt (GW) hingga 2040. 

Menurutnya, kontrak pengembangan akan mulai diberikan dalam 5 tahun ke depan karena pembangunan memerlukan waktu panjang. 

Pada 2040, Indonesia menargetkan tambahan kapasitas listrik sebesar 103 GW, yang terdiri atas 75 GW tenaga surya, angin, panas bumi dan biomassa; 10 GW dari tenaga nuklir; dan 18 GW dari gas. 

Kapasitas listrik terpasang Indonesia saat ini sekitar 90 GW dan lebih dari setengahnya berasal dari batu bara. Energi terbarukan baru menyumbang kurang dari 15 GW dari kapasitas tersebut, dan Indonesia belum memiliki PLTN. 

Berlomba dengan Negeri Jiran

Sepekan usai Prabowo mengadakan pertemuan dengan Putin, Malaysia pun menyusul ke Moskow. Pada 27 Juni 2025, Fadillah Yusof, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Transisi Energi dan Transformasi Air Malaysia bertemu dengan Alexey Likhachev, Dirjen Rosatom.

Kedua pihak membahas peluang kemitraan di bidang energi nuklir dan mengidentifikasi langkah khusus untuk mengembangkan kerja sama antara kedua negara. Fokus utama adalah penggunaan teknologi PLTN Rosatom.

Selama kunjungan mereka ke Rusia, delegasi Malaysia disuguhi teknologi mutakhir Rosatom di PLTN Leningrad. Mereka juga mengunjungi Museum Atom tempat mereka belajar perkembangan sejarah industri nuklir Rusia.

Berdasarkan data Rosatom, Rusia saat ini memiliki kapasitas tenaga nuklir sebesar 30,58 GWe (30.576 MW). Kapasitas ini didistribusikan ke 38 unit daya di 11 lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir.

Menurut Enerdata, pembangkit nuklir Rusia berkontribusi sekitar 11% dari total kapasitas listrik terpasang 248,2 GW pada 1 Januari 2024. Kendati berkontribusi 11%, kapasitas terpasang PLTN Rusia merupakan tertinggi di dunia. 

Kapasitas pembangkit listrik termal (gas, batu bara dan minyak) tercatat mendominasi dengan porsi 163,7 GW. Untuk energi gas jumlahnya mencapai 50,2 GW dan pembangkit tenaga angin 2,5 GW.

Selain Malaysia, Myanmar lebih progresif dalam membangun pembangkit tenaga nuklir. Pada 4 Maret 2025, Myanmar meneken prinsip-prinsip kerja sama dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis daratan (small nuclear power plant/SNPP) di Myanmar.

Perjanjian itu mengikat kerja sama pembangunan proyek SNPP 110 MW oleh Rosatom, dengan kemungkinan perluasan hingga 330 MW. Sejumlah negara berkembang lainnya yang sudah bekerja sama dengan Rosatom adalah Bangladesh dan Ghana. 

Ghana bersama Turki tertarik untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir terapung (FNPP). Pembangkit FNPP dinilai paling cocok untuk daerah rawan gempa dan kepulauan.

Keinginan Indonesia untuk mengembangkan nuklir sebenarnya sudah ada sejak Presiden RI-1 Soekarno. Kala itu, Sukarno ingin Indonesia menguasai teknologi nuklir. Apalagi era 1940-an hingga 1950-an merupakan perlombaan teknologi nuklir sedang panas-panasnya.

Soekarno kemudian menginisiasi lahirnya Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang sebelumnya bernama Lembaga Tenaga Atom. Namun, setelah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, pengembangan teknologi nuklir masih jalan di tempat.

Indonesia baru sebatas memiliki reaktor untuk riset di Serpong, Bandung dan Yogyakarta. Reaktor serbaguna yang yang ada di Batan, Serpong, diresmikan Presiden ke-2 RI Soekarto pada 1987 itu sudah berusia hampir 40 tahun. 

Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional Syaiful Bakhri menyampaikan saat ini Indonesia sudah sangat siap untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir.

“Sudah melalui banyak kajian, untuk memenuhi proyeksi jangka menengah dan panjang [kebutuhan listrik]. Apalagi Sumatra dan Kalimantan diproyeksi banyak meningkat kebutuhan listriknya karena pertumbuhan industri dengan proyeksi di Sumatra 15,1 GW dan Kalimantan 5,8 GW,” katanya.

Dengan melihat kapasitas terpasang dan infrastruktur kelistrikan yang dimiliki saat ini, sudah tidak ada jalan lagi untuk berhenti pengembangan energi nuklir. Tinggal ambisi nuklir Prabowo itu apakah mampu mengejar mimpi Soekarno 8 dekade lalu?

Menimbang Pembangkit Nuklir yang Ideal untuk RI

Kini pembangkit listrik tenaga nuklir  tidak hanya didominasi negara maju. Sejumlah negara berkembang tengah berlomba-lomba mengadopsi teknologi pembangkit yang dinilai ramah lingkungan dan lebih efisien daripada pembangkit listrik berbasis fosil.

Reaktor nuklir dinilai andal dalam menghasilkan listrik. Mampu beroperasi selama 24 jam hingga puluhan tahun. Rekor lisensi terlama dipegang oleh Turkey Point di Florida, yakni 80 tahun, terhitung sejak 2019.

PLTN dinilai efisien dan ramah lingkungan karena membutuhkan bahan bakar sedikit. PLTN menggunakan bahan bakar uranium yang dipadatkan, satu pelet seukuran gula batu setara dengan satu ton batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Berdasarkan perhitungan world-nuclear.org, satu reaktor PLTN yang membutuhkan 27 ton bahan bakar uranium, setara dengan PLTU yang mengonsumsi 2,5 juta ton batu bara per tahun.

Seperti pembangkit listrik lainnya, PLTN menghasilkan limbah. Namun, tidak seperti pembangkit lain, tenaga listrik tenaga nuklir menghasilkan sedikit limbah. Dengan ukuran pembangkit di atas, limbah yang dihasilkan setara 5 gram radioaktif atau seberat selembar kertas.

Bahkan, dengan teknologi saat ini, limbah radioaktif dapat diolah kembali menjadi bahan bakar PLTN. Banyak negara telah menggunakan bahan bakar daur ulang selama beberapa dekade untuk mengisi sebagian bahan bakar reaktor mereka.

Biaya pembangunan PLTN tidak murah. Namun, biaya produksi listrik yang dihasilkan jauh lebih murah daripada pembangkit berbahan bakar fosil. Terlebih lagi, produsen pembangkit listrik tenaga nuklir berlomba-lomba membuat reaktor yang lebih efisien.

Pascagempa dahsyat 9,0 skala richter yang memicu tsunami dan menyebabkan kehancuran tiga reaktor di Fukushima Daiichi, perlombaan membuat pembangkit PLTN raksasa mereda.

Peristiwa kelam pada 2011 itu membuat produsen PLTN beralih pada pembangkit skala kecil (small-scale nuclear power plants/SNPP), baik yang berbasis di daratan maupun pembangkit nuklir terapung.

Pembangkit nuklir skala kecil ini dapat dipesan dari pabrik dan tinggal merakit di lokasinya (small modular reactors/SMR). Kapasitas pembangkit skala kecil seperti ini maksimal 300 MW. Kapasitas ini diklaim mampu menghidupi listrik hingga ratusan ribu rumah.

Raksasa pembangkit listrik tenaga nuklir Rusia, Rosatom, menjadi satu-satunya perusahaan di dunia yang mampu membuat FNPP dengan nama Akademik Lomonosov. Pembangkit kapastitas 70 MW ini sudah 6 tahun beroperasi di Pevek, Siberia Timur, Rusia.

Rosatom mengklaim pembangkit dengan menggunakan reaktor seri RITM ini memiliki tingkat keamanan dan keselamatan sangat tinggi. Pasalnya, reaktor serupa telah dipasang di kapal pemecah es yang sudah beroperasi puluhan tahun di Laut Arktik.

Bahkan, sistem pengamanan FNPP ini dianalisis dengan dijatuhkan helikopter Kamov-32 dari ketinggan 50 meter, unit reaktor tetap dapat digunakan.

“Tidak ada konsekuensi radiasi bagi personel, penduduk, dan lingkungan,” tulis Rosatom.

Seperti diketahui, Kamov-32 adalah helikopter raksasa yang memiliki berat kotor hingga 12.000 kg. Helikopter besutan Rusia ini mampu membawa 4.000 kg dan 16 personel. BNPB pernah menyewa heli ini untuk pemadam kebakaran dari udara.

Biaya Pembangunan PLTN

Sayangnya, biaya pembangunan PLTN masih gelap. Tiap-tiap negara tidak sama. Anna Belokoneva, Rosatom Representative in Indonesia, menjawab diplomatis mengenai biaya pembangunan FNPP jika di Indonesia.

“Model bisnis proyek FPU [floating nuclear powerplant] didasarkan pada pasokan listrik sesuai dengan PPA [power purchase agreement]. Mengingat pembangunan FPU merupakan proyek padat modal, pendanaan berbasis pinjaman di Indonesia sedang dipertimbangkan,” ujarnya.

Menurutnya, pembangunan FNPP memiliki keunggulan yang dimiliki PLTN besar, seperti kemampuan produksi, daya listrik stabil dan harga yang dapat diprediksi. Bahkan, waktu kontruksi dan komisioning yang jauh lebih singkat.

“Masa konstruksi pembangkit listrik terapung sejak penandatanganan kontrak PPA hingga pengoperasian dan komisioning FPU adalah 5 tahun untuk pembangkit listrik terapung pertama, dan 4,5 tahun untuk pembangkit listrik seri berikutnya,” ujarnya.

Dia menambahkan, dengan teknologi reaktor terbaru, RITM-200, pengisian bahan bakar dapat dilakukan tiap 7-10 tahun sekali.  

“Semua kegiatan seperti konstruksi FPU, perawatan, perbaikan, dan penggantian bahan bakar nuklir bekas dilakukan di Rusia.”

Syaiful Bakhri, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional, menyampaikan bahwa pembangkit listrik terapung maupun SMR berbasis di daratan semua cocok di Indonesia. 

“PLTN terapung cocok untuk daerah terpencil, pulau pulau dengan minim infrastruktur, kebutuhan yang sangat mendesak, prasyarat wilayah pantai laut yang sesuai dengan syarat  hidrodinamika, geoteknik dan vulkanologi, demografi, meteorologi, kejadian eksternal akibat ulah manusia dan juga dispersi radioaktif di udara dan air,” jelasnya.

Menurutnya, land based SMR juga tidak kalah fleksible FNPP. Bahkan, lebih siap dari sisi regulasi. Selain harus memenuhi syarat tapak, sambungnya, cocok untuk daerah yang membutuhkan listrik (offtaker) dengan proyeksi jangka pendek sampai jangka panjang, baik dari sisi industri  maupun penduduk. 

Adapun, dia berpendapat biaya pembangunan PLTN tergantung dengan skema pembiayaan, lokasi, dan eskalasi konstruksi.

“Sejauh ini perkiraan harga untuk PLTN skala besar berkisar US$4000-US$6000 per kilowatt, dan LCOE 4-8 cent per kilowatt,” ujarnya.

Dia mencontohkan, di Eni Emirat Arab 4 unit reaktor dengan kapasitas 5,48 GW berkisar US$24,4 miliar, Pakistan kapasitas 2,2 GW US$9,5 miliar, Banglades kapasitas 2,16 GW US$12,6 miliar. 

“Sampai saat ini belum ada data resmi berapa biaya konstruksi dan LCOE SMR, kebanyakan masih fase konstruksi, misal China menggunakan ACP100 dan Rusia RITM200 dan satu fase komersial dari HTR-PM China,” ujarnya.

Penulis : Hendri T. Asworo
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Previous

Karpet Merah Swasta dalam Target Ambisius Pembangkit EBT di RUPTL

back-to-top
To top