bisnis-logo

Stories

Pil Pahit Pabrikan Otomotif

Tahun lalu merupakan periode pilu bagi industri manufaktur, tak terkecuali otomotif. Pandemi Covid-19 membuat permintaan terhadap kendaraan bermotor terjun bebas seiring melemahnya daya beli masyarakat. Pagebluk ‘sukses’ membuat porak-poranda sektor ini hingga ke rantai pasokan.

20 April 2021

A+
A-

Banyak yang memperkirakan akan butuh waktu lama bagi pabrik untuk bisa pulih. Pada saat segala upaya dilakukan untuk menjaga roda pabrik berputar, masyarakat masih akan fokus mengenai isu kesehatan dan finansial hingga beberapa waktu ke depan, sehingga memperlambat pemulihan ekonomi secara global.

Bicara dampak virus corona terhadap pabrik otomotif, Indonesia merasakan infeksi yang cukup parah. Sepanjang 2020, produksi kendaraan bermotor roda empat atau lebih anjlok 46,5 persen secara tahunan, menjadi 690.176 unit. Artinya utilitas pabrik di Tanah Air sangat rendah, atau menjadi 28,8 persen dari total kapasitas sekitar 2,4 juta unit per tahun.

Hal itu merupakan buah dari merosotnya penjualan ritel dan juga pengapalan mobil ke negara lain, baik secara utuh, terurai lengkap, maupun komponen. Mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo), pada tahun lalu, pengiriman mobil ke konsumen anjlok 44,7 persen secara tahunan, sedangkan ekspor turun 22,9 persen.

Seluruh merek otomotif yang mengisi pasar Indonesia, baik yang memiliki pabrik maupun tidak, mengalami krisis penjualan. Beberapa di antaranya bahkan mengalami penurunan lebih dalam dibandingkan dengan kondisi pasar.

Pada awal pandemi, sejumlah produsen otomotif di Indonesia sempat menghentikan produksi mobil. Berdasarkan data Gaikindo, pada Mei 2020, pabrikan yang mengambil kebijakan tersebut adalah Daihatsu, BMW, Mitsubishi, dan Wuling.

Kendati demikian, Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi mengatakan bahwa sepanjang tahun lalu tidak ada penutupan fasilitas produksi otomotif dan juga pengurangan karyawan.

Namun, dia memberikan ultimatum. "Jika berlarut-larut maka kemungkinan besar kami harus melakukan pengurangan karyawan ataupun juga mungkin menutup sebagian produksi, karena pasarnya yang begitu kecil,” ujar Nangoi saat diwawancarai Bisnis.

Pemerintah pun kemudian luluh dengan merilis insentif fiskal berupa relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Efeknya, sejumlah mobil yang memenuhi syarat mendapatkan potongan harga mulai dari belasan hingga puluhan juta rupiah.

Relaksasi PPnBM ini cukup berbuah manis karena terjadi lonjakan permintaan. Akan tetapi pabrikan belum bisa tersenyum lepas. Mereka masih harus bergulat dengan pemulihan rantai pasokan, dan mengoptimalkan utilisasi pabrik di tengah pembatasan mobilitas yang masih berlaku.

Kompak Terpuruk

Indonesia jelas tidak sendiri. Seluruh produsen otomotif di dunia menghadapi masalah serupa.

Mengutip best-selling-cars, sepanjang 2020, penjualan mobil di pasar-pasar terbesar, secara total, mengalami kontraksi sebesar 15 persen tahunan. Penjualan mobil di Jepang, AS, dan India turun dengan persentase dua digit, sedangkan pasar mobil baru di Eropa dan Brasil mengalami kontraksi hingga seperempatnya.

Menurut analis IHS Markit, Mike Wall, kondisi tahun lalu jauh lebih buruk dibandingkan dengan resesi global 2008-2009. Kala itu kontraksi penjualan otomotif hanya sekitar 8 persen.

Meskipun juga mengalami kontraksi, China dan Rusia bisa dibilang mencatat kinerja terbaik. Penjualan mobil di kedua negara, secara berurutan, turun 6 persen dan 9 persen secara tahunan.

Kendati demikian, dua raksasa otomotif itu menutup 2020 dengan posisi laba. Meskipun pendapatan turun drastis, tetapi laba yang dicetak kedua perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan para analis.

VW menyatakan bahwa laba operasi, tidak termasuk biaya terkait dengan skandal emisi diesel, mencapai 10 miliar euro (Rp175 triliun) atau turun hampir separuhnya secara tahunan.

Sementara itu, mengutip Kyodonews, Toyota pada bulan lalu memperkirakan menutup tahun fiskal 2020 dengan keuntungan US$18 miliar atau Rp263,1 triliun. Sebagai informasi tahun fiskal pabrikan Jepang dimulai pada April dan berakhir Maret.

Seperti diketahui ledakan penyebaran virus Corona terjadi sekitar kuartal pertama tahun lalu. Pada saat itulah para raksasa otomotif bergantian mengumumkan penutupan pabrik. Beberapa memberikan alasan untuk bersiap menjaga stabilitas keuangan di tengah pandemi dan sebagian lainnya mengatakan sebagai bentuk antisipasi krisis pasokan komponen.

Wilayah yang pertama mengidentifikasi penyebaran virus Corona dan melakukan lockdown adalah Wuhan di China. Provinsi ini memiliki empat kawasan industri utama, satu di antaranya adalah otomotif.

Wuhan telah menjadi tuan rumah dari ribuan pabrik, termasuk raksasa otomotif dan juga industri pendukungnya. Beberapa prinsipal yang memiliki basis operasi di Wuhan di antaranya adalah Honda, Nissan, Renault, General Motors, dan Tesla. Penutupan kota otomatis mengganggu produksi dan bisnis mereka, secara domestik dan juga global.

Dari Wuhan, penyebaran virus tak terkendali ke berbagai belahan dunia. WHO pun akhirnya memberikan titel pandemi kepada Corona.

Hal tersebut memberikan dampak yang lebih jauh terhadap fasilitas produksi kendaraan bermotor. Mengutip dari berbagai sumber, setidaknya ada lebih dari 30 pabrikan otomotif yang menghentikan aktivitas produksi mereka di berbagai negara.

Sebut saja Toyota, salah satu perusahaan otomotif terbesar di dunia. Tercatat ada 12 pabrik produksi mobil dan suku cadang yang dimiliki oleh Toyota yang harus tutup pada Februari 2020. Pabrik-pabrik tersebut umumnya berlokasi di Tianjin dan Guangdong.

Kemudian Volkswagen, Honda, Nissan, Ford, PSA Group, Renault Group, hingga Tesla pun membuntuti dengan mengambil kebijakan yang sama. PSA dan Renault kala itu juga melaporkan penutupan pabrik sementara di Eropa.

Toyota masih sedikit lebih beruntung bila dibandingkan dengan rivalnya.

Menghentikan fasilitas produksi pun membuat neraca keuangan pabrikan kacau. Mengutip Japan Times, pada semester I/2020 Toyota membukukan penurunan pendapatan sebesar 45,3 persen, menjadi 629,4 miliar yen atau Rp84,1 triliun (kurs Rp133).

Toyota masih sedikit lebih beruntung bila dibandingkan dengan rivalnya. Volkswagen yang sempat mencetak rekor membukukan pendapatan terbesar kedua pada 2019, pada paruh pertama tahun lalu menelan kerugian 1,4 miliar euro atau Rp24,5 triliun (kurs Rp17.511).

Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, penguasa mobil Benua Eropa ini meraup laba 9,6 miliar euro atau setara Rp168,1 triliun.

"Semester pertama 2020 adalah satu masa paling menantang dalam sejarah perusahaan kami karena pandemi Covid-19," kata Direktur Keuangan VW Frank Witter.

Dalam laporannya, VW mencatat penurunan pendapatan sebanyak 23 persen dan penjualan mobil merosot 27 persen. Setelah membuka kembali fasilitas produksi, VW harus kembali menghentikan operasional pabrik karena permintaan yang tidak sesuai ekspektasi.

Masih Ada Harapan

Berdasarkan laporan IHS Markit, April 2020 menjadi titik paling rendah industri manufaktur kendaraan bermotor. Secara tahunan volume penjualan turun 46 persen.

Analis IHS Markit, Mkie Wall memperkirakan pemulihan otomotif secara global tidak akan serentak. Pasalnya setiap negara memiliki profil yang unik terhadap kondisi pandemi.

Namun, secara umum, pemulihan industri otomotif akan sangat tergantung dengan menahan laju penyebaran virus Corona. " Permintaan global untuk 2021 ditetapkan 79,4 juta unit, naik 10,4 persen," katanya.

Hal itu mencerminkan kondisi pemulihan yang hati-hati, karena kombinasi dari permintaan yang tertunda dan gangguan pasokan global yang masif. Kebijakan pemerintah dalam memberikan stimulus sekaligus mengendalikan virus menjadi kunci.

Namun, asumsi tersebut belum memperkirakan gelombang kedua virus Corona secara global. Apabila penyebaran virus kembali masif dan pembatasan mobilitas secara ketat kembali dilakukan, maka skenarionya tentu akan berbeda.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah yang tercatat, kita mengalami turbulensi dan ketidakpastian dari berbagai bencana secara bersamaan," katanya.

Sementara itu, Fitch Solutions menilai penjualan global akan naik sebanyak 9 persen pada tahun ini. Eropa akan menjadi motor penggerak.

“Eropa akan menjadi kawasan dengan kinerja terbaik pada 2021 dengan proyeksi pertumbuhan penjualan kendaraan sebesar 10,8%,” tulis Fitch Solutions dalam sebuah laporan.

Dalam laporan analisa ABI Research, industri otomotif diperkirakan rentan hingga 2024. Pasalnya ada kemungkinan lockdown yang berulang di sejumlah wilayah tertentu.

Selain itu, kebijakan work from home (WFH) yang terjadi di banyak negara akan menahan laju pemulihan. "Tahun ini, industri otomotif seharusnya tidak mengharapkan volume penjualan kembali seperti beberapa tahun terakhir," menurut laporan Abi Research.

Jalan Berliku Masih Panjang

Industri otomotif bisa dibilang tidak hanya berhadap dengan virus Corona. Seperti diketahui, kendaraan listrik, teknologi otomasi, industri 4.0, dan transportasi online adalah beberapa tantangan bagi perusahaan otomotif, bahkan jauh sebelum pandemi.

Belum ada satu analisa pun yang dapat menjawab dengan pasti seperti apa industri otomotif pada masa depan. Namun, yang jelas adalah kebutuhan para pemangku kepentingan untuk memahami dengan tepat tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang sangat kompleks ini, sehingga dapat menjalankan mesin otomotif global dengan mulus kembali.

Menurut McKinsey & Company, segala disrupsi sektor otomotif akan mengakibatkan kerugian hingga miliaran dolar AS dan pabrikan butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. Namun, perusahaan yang berhasil menata ulang operasional dapat dipastikan membukukan kinerja terbaik saat lintasan bisnis tidak lagi terlalu berkelok.

Ada lima langkah yang dapat membantu sektor otomotif, yakni fokus pada saluran digital, menguatkan sumber pendapatan masa depan, mengoptimalkan penerapan aset, menerapkan perencanaan anggaran yang ketat (zero based budgeting), dan membentuk rantai pasokan yang dapat diandalkan.

Sementara itu, Deloitte menjabarkan lima hal yang harus dipertimbangkan oleh produsen untuk melakukan upaya pemulihan, yaitu:

  1. Kolaborasi dengan jaringan dealer dan rantai pasokan menjadi hal penting untuk mempercepat adopsi saluran digital. Meskipun belum ada analisa yang pasti mengenai migrasi konsumen otomotif ke ruang digital, membangun sistem digital yang terintegrasi akan membangun transparansi dan memungkinkan mempercepat pengambilan keputusan.
  2. Fokus pada produksi kendaraan yang benar-benar diinginkan konsumen. Faktanya saat ini kemampuan daya beli konsumen menjadi sebuah isu yang krusial.
  3. Menerapkan transformasi digital lebih lanjut guna mengidentifikasi dan memprioritaskan efisien beban operasional sembari melindungi investasi penting, seperti kendaraan listrik, pabrik 4.0, dan lainnya. Oleh karena itu pabrikan harus mengetahui dengan baik investasi yang harus menjadi prioritas agar dapat bergerak maju lebih cepat pada beberapa tahun ke depan.
  4. Buat keputusan sulit yang diperlukan untuk merehabilitasi, menghentikan, atau melepaskan aset yang berkinerja buruk. Menggenggam aset yang tidak menguntungkan akan menimbulkan kesulitan untuk bergerak maju.
  5.  Eksplorasi kemitraan strategis untuk meminimalkan risiko. Menemukan mitra yang tepat mungkin menjadi keharusan bagi perusahaan otomotif.
Penulis : Muhammad Khadafi
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Akhir dari Cerita Bakar Duit Grab-Gojek

Next

Jejak Sejarah Dana Abadi Dunia, dari Viking hingga Syekh

back-to-top
To top