bisnis-logo

People

Persekutuan Katuari dan Sutanto di Bahtera Wings

Generasi kedua pendiri Wings Group berkolaborasi memperkuat pondasi bisnis yang dibangun oleh dua kolega, Ferdinand Katuari dan Harjo Sutanto.

01 Maret 2023

A+
A-

Nama sabun krim atau yang dikenal dengan sabun colek jenama Ekonomi identik dengan Wings Group. Iklannya yang sempat terkenal menggunakan soundtrack lagu diva lawas Indonesia, Vina Panduwinata, berjudul Aku Makin Cinta dengan sedikit modifikasi di bagian liriknya.

Namun, jauh sebelum menggunakan iklan di layar kaca untuk memasarkan produknya, dua pendiri Wings Group yang merupakan karib, Johanes Ferdinand Katuari dan Harjo Sutanto, secara sederhana menawarkan sabun colek dari pintu ke pintu alias door to door menggunakan sepeda di wilayah Jawa Timur.

Didirikan di Surabaya pada 1948, Wings Group kini menjelma menjadi salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang barang-barang rumah tangga. Produknya beraneka rupa. Dari sabun krim, deterjen, pewangi, hingga mie instan. Bahkan, grup bisnis ini juga tak luput memiliki sayap di sektor perbankan melalui PT Bank Multiarta Sentosa Tbk. (MASB).

Dulu, Wings Group bernama Fa Wings. Saat merintis usaha tersebut, kedua sahabat itu rela hijrah ke Surabaya, Harjo Sutanto dari Tulungagung, sedangkan Ferdinand Katuari dari Yogyakarta. Kala itu, produk pertamanya adalah sabun batangan dengan merek Wings Soap.

Produk itu diproduksi di pabrik yang berada di Jalan Kalisosok Kidul No. 2 Surabaya dengan karyawan sebanyak 6 orang. Sabun krim merek Ekonomi mulai diproduksi pada 1971. Laris bak kacang rebus, terutama di kalangan menengah ke bawah.

Setelah melihat respons masyarakat, Wings pun menangkap peluang ini dengan metode pemasaran yang lebih moderen, seperti menambah pusat distribusi, promosi yang lebih gencar dengan media iklan, pameran, program penjualan langsung, dan sebagainya.

Tiga tahun setelahnya, Wings membuka sebuah kantor pemasaran di Jakarta, tepatnya di Cempaka Putih. Teddy Jeffrey Katuari, anak dari Ferdinand Katuari, menjadi pimpinan kantor di Ibu Kota. Pada 1976, Wings pun mendirikan PT Sayap Mas Utama untuk memproduksi pasta sabun, dan wadah plastiknya.

Satu dekade usai merilis sabun krim dengan merek Ekonomi, Wings Group meluncurkan merek lain, yaitu Wings Biru dan Dangdut. Kemudian, disusul produk sabun Nuvo Family dan Daia pada sekitar 1990-an.

Pada 1989, perusahaan dengan logo sayap berwarna merah tersebut beraliansi dengan Lion Corporation asal Jepang untuk produk toiletries lainnya. Mereka membuat perusahaan joint venture, PT Lion Wings. Produk yang dihasilkan yaitu pasta gigi Ciptadent, Systema, dan Kodomo. Selain itu, ada produk sampo merek Emeron, Zinc, dan Serasoft.

Bisnis kedua sahabat itu pun semakin berkembang, terutama semenjak perubahan nama perusahaan dari Fa Wings menjadi PT Wings Surya pada 1991.

Sebagai perusahaan penghasil sabun yang menggunakan bahan baku oleokimia dari kelapa sawit, pada 1995 Wings membeli perusahaan plantation PT Damit Mitra Sekawan dan PT Gawi Makmur asal Kalimantan, bersama Siam Cement dan Semen Fiber melalui PT Siam-Indo Gypsum Industry.

Empat tahun setelah itu, tepatnya pada 1999 Wings mulai merambah sektor makanan dan minuman dengan meluncurkan minuman kemasan siap seduh merek Jas Jus. Dilanjutkan dengan merilis Segar Dingin.

Masih dengan investor asal Negeri Sakura, Wings kembali beraliansi dengan Calbee membentuk PT Calbee Indonesia dengan produk makanan Potabee, Krisbee, Japota, dan Guribee. Selain itu, Wings beraliansi dengan Glico melalui PT Glico Indonesia untuk produk es krim.

Setelah sang ayah wafat, Eddy Katuari mulai mengambil alih kepemimpinan perusahaan pada 2004, dibantu oleh saudara dan anak dari Harjo Sutanto.

Sebagai informasi, Eddy Katuari memiliki 4 saudara, yaitu Juliana Katuari, Teddy J. Katuari, Freddy Katuari, dan Finney Henry Katuari. Sementara, Harjo Susanto memiliki 4 anak, yaitu Silvana Sutanto, Hanny Sutanto, Lanny Sutanto, dan Fifi Sutanto.

 

Wings Group Tantang Dominasi Indofood di Pasar Mi Instan

Pada 2003, atau setahun sebelum Ferdinand Katuari wafat, Wings Group melakukan langkah berani menelurkan produk mi instan dengan merek Mie Sedaap. Padahal, pasar mi instan dikuasai oleh Indofood dengan merek Indomie.

Pasar mi instan Indonesia sangat menggiurkan dengan permintaan sekitar 14 miliar bungkus per tahun. Nomor dua di dunia setelah China, dengan permintaan sebanyak 44,4 miliar bungkus. Tak heran Wings Group berani untuk bermain di pasar ini untuk mendobrak dominasi Indofood dengan merek Indomie-nya.

Tahta penguasa produk mi instan Indomie yang telah mendominasi sekitar 3 dekade pun digoyang oleh kedatangan Mie Sedaap. Pada awal kemunculan Mie Sedaap, pangsa pasar Indomie di atas 90 persen. Namun, pada akhirnya Mie Sedaap berhasil merebut pangsa pasar hingga tembus 15 persen dan dominasi Indomie kini menyusut ke angka 70 persen.

Dilansir dari Top Brand Award, sepanjang tahun lalu, brand index Indomie berada di angka 72,90, sedangkan Mie Sedaap sebesar 15,50. Untuk tahun berjalan 2023, Indomie mencatatkan brand index sebesar 72.50 dan Mie Sedaap sebesar 16.20.

Meski begitu, berdasarkan nilai Compound Annual Growth rate (CAGR) selama periode 2003-2013, Mie Sedaap sempat mengalahkan mi instan produksi Indofood dengan mencatatkan nilai pertumbuhan hingga 26 persen. Kini, Mie Sedaap telah diminati lebih dari 30 negara di dunia dengan 14 varian rasa.

Namun, belum lama ini kabar tak sedap menimpa Mie Sedaap milik Wings Group. Produk ini ditarik peredarannya di Hong Kong karena ditemukan kandungan pestisida, yaitu etilen oksida.

Pada 27 September 2022, CFS Hong Kong menemukan pestisida pada Mi Sedaap varian Korean Spicy Chicken setelah melakukan pengujian terhadap sampel produk dari supermarket di Lok Fu. “Hasil pengujian menunjukkan bahwa sampel mi, paket bumbu, dan bubuk cabai produk mengandung pestisida, etilen oksida,” tulis CFS, Selasa (27/9/2022).

Pada keterangan tersebut, CFS menyampaikan bahwa International Agency of Research on Cancer mengkategorikan zat etilen oksida, zat yang ditemukan pada Mie Sedaap, sebagai karsinogen atau penyebab kanker. Pemerintah Hong Kong meminta para penjual Mie Sedaap varian Korean Spicy untuk berhenti memasarkan produk tersebut.

Mie Sedaap varian Korean Spicy ditarik dari pasar Hongkong karena diduga mengandung pestisida - Dok. CFS Hong Kong.

Sementara masyarakat yang telah terlanjur membeli produk tersebut diminta untuk tidak mengkonsumsinya. Sebelumnya, Pemerintah Taiwan juga menolak produk yang sama pada Juli 2022. Lagi-lagi, alasannya karena kadar etilen oksida yang melebihi batas wajar.

Head of Corporate Communications & CSR Wings Group Indonesia Sheila Kansil menegaskan bahwa produknya tidak menggunakan zat yang ditemukan oleh CFS Hong Kong tersebut dalam produksi Mie Sedaap.

“Mie Sedaap selalu berupaya memberikan yang terbaik bagi konsumen, dari seluruh lini proses dan produksi, Mie Sedaap memastikan tidak ada penggunaan etilen oksida [EtO] dan telah memenuhi standar pangan sehingga aman untuk dikonsumsi,” kata Sheila dalam keterangan resmi dikutip Kamis (29/9/2022).

Dia juga menegaskan bahwa produknya aman dikonsumsi dan telah memenuhi standar keamanan makanan internasional. Adapun standar keamanan yang dimaksud yaitu telah memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM), memiliki sertifikat halal dari MUI.

Kolaborasi Generasi Kedua

Di sektor makanan dan minuman, produk Wings tidak hanya berupa mi instan. Perusahaan ini terus meluncurkan produk-produk barunya seperti Ale-ale, Floridina, Top Coffe, hingga Teh Javana.

Belum berhenti di produk fast moving consumer goods (FMCG), Wings pun merambah ke sektor properti. Konglomerasi ini tercatat memiliki pusat grosir, Pulo Gadung Trade Center dan perumahan premium, Raffles Hills Cibubur, Jakarta Timur. Selain itu, Wings tercatat memiliki toko ritel, Family Mart.

Tak heran, dengan berbagai produk yang banyak diminati konsumen domestik dan luar negeri, Eddy Katuari pun menempati peringkat 39 orang terkaya di Indonesia pada 2021. Kekayaannya tercatat mencapai US$1,1 miliar.

Pada pergelaran KTT G20 akhir tahun lalu, nama Eddy Katuari kembali mewangi setelah diketahui sebagai sang empu Hotel The Apurva Kempinski Bali. Hotel ini merupakan lokasi perhelatan KTT G20. Pertemuan tertinggi para pemimpin 20 negara terbesar di dunia di Pulau Dewata.

Dalam memimpin pengembangan bisnis Wings Group, Eddy Katuari sebagai generasi kedua, tetap kolaborasi dengan keturunan Harjo Sutanto. Sebagaimana dilansir Forbes, Fifi Sutanto, memegang perusahaan Ecogreen, sayap Wings Group di bidang oleokimia. Fifi juga diberitakan menjadi orang penting dalam bisnis parfum Wings Group. Terlebih lagi dirinya merupakan jebolan sekolah parfum di Prancis.

Sementara itu, Hanny Sutanto bergabung dengan perusahaan joint venture bersama Djarum Group yang bergerak di bidang perkebunan tebu.

Wings Group pernah menjadi pemilik Bank Ekonomi, yang saat ini telah melebur di bawah HSBC Indonesia. Saat masih eksis, Teddy J. Katuari tercatat pernah menjadi presiden komisaris bersama keponakan Harjo Sutanto, Hendrik Tanojo, yang menjabat sebagai direktur utama.

Setelah melepas Bank Ekonomi kepada HSBC pada 2009, Wings Group kembali ke bisnis perbankan melalui PT Bank Multiarta Sentosa Tbk. (MASB) pada 2013 melalui PT Multi Anekadana Sakti dengan kepemilikan saham sebesar 21,25% dan PT Danabina Santana yang mengenggam saham sebesar 59,50%. Keduanya dimiliki oleh PT Lumbung Artakencana, yang merupakan kepanjangan tangan dari Wings Group.

Dari laporan tahunan 2021 Bank Multiarta Sentosa, diketahui PT Lumbung Artakencana dimiliki oleh anggota keluarga Sutanto dan Katuari. Daftar pemiliknya yaitu:

Nama Pemegang Saham Jumlah Saham (%)
Hanny Sutanto 17,32
Alex Ivan Tanoyo 9,07
Teddy Jeffrey Katuari 10,00
Eddy William Katuari 10,00
Finney Henry Katuari 10,00
Djuwita Abadi 10,00
Juliana Christina Katuari 10,00
Handoyo Sutanto 5,58
Harjo Susanto 4,54
Hendrik Tanojo 7,91
John Michael Susanto 5,58

Dari daftar tersebut menunjukkan bahwa lini bisnis Wings Group hingga kini masih dikembangkan oleh kedua trah pendirinya.

Persekutuan Sesama Taipan

Bicara Wings Group, tak lengkap jika tak membahas mengenai eratnya hubungan konglomerasi ini dengan grup raksasa lainnya, yaitu Djarum Group, yang dimiliki oleh duo bersaudara Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono.

Untuk memperluas kerajaan bisnisnya, Eddy Katuari menikahkan sulung Grace Katuari dengan Martin Hartono, putra mahkota Grup Djarum, anak Robert Hartono. Grace Katuari, di laman LinkedIn-nya, mencantumkan posisinya sebagai Komisioner Grand Indonesia, pusat perbelanjaan di jantung ibu kota yang dimiliki Grup Djarum.

Grace Katuari (keempat dari kiri), putri Eddy William Katuari yang menikah dengan Martin Hartono, berfoto bersama saat proyek bersama Grand Indonesia, Hotel Indonesia Kempinski, dan Bank Central Asia Tower. /prazukyoimagewear.com 
 

Mesranya hubungan Wings Group dan Grup Djarum juga tercermin dari kolaborasi bisnis keduanya sejak awal Reformasi. Misalnya saja, pada 2000, kedua konglomerasi ini bersatu dalam konsorsium, bersama Grup Lautan Luas, untuk membeli PT Ecogreen Oleochemicals.

Sebelum krisis moneter 1998, Ecogreen merupakan salah satu aset Grup Salim yang kemudian dilepas ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai bagian dari penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kolaborasi kedua konglomerasi juga merambah sektor properti. Bersatu dalam nama PT Nagaraja Lestari, Wings Group dan Grup Djarum membangun Pulogadung Trade Center. Proyek Grand Indonesia pun dikabarkan digarap Djarum bersama Wings. Ada juga perusahaan pengemasan yang disebutkan hasil mitra keduanya Bernama PT Unipack.

Paling anyar, Grup Djarum dan Wings Group bersama dengan Charoen Pokphand (CP) Group membentuk PT Pratama Nusantara Bakti, produsen gula yang juga tergabung dalam Gabungan Produsen Gula Indonesia (Gapgindo).

Sementara itu, anak perempuan Eddy Katuari yang lain, yaitu Erlina Katuari menikah dengan Benjamin Jiaravanon dari keluarga pemilik PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN). Terakhir, Jane Katuari yang bersuamikan Kreisna Gozali, kini bos Gozco Capital dan Presiden Direktur PT Gozco Plantations Tbk. (GZCO).

Penulis : Annasa R. Kamalina, Khadijah Shahnaz, Reni Lestari
Editor : Annisa Sulistyo Rini
Previous

Trah Gudang Garam di Tangan Susilo Wonowidjojo

back-to-top
To top