Stories
'Perang harga' di industri otomotif di satu sisi menguntungkan konsumen, di sisi lain menimbulkan persaingan tidak sehat di industri otomotif
25 Agustus 2025
Bisnis.com, JAKARTA – Dominasi pabrikan otomotif Jepang di Indonesia selama beberapa dekade terakhir kini mulai goyah, seiring dengan masuknya merek mobil China secara masif di Tanah Air.
Terlebih, sentimen terkait 'perang harga' tampaknya mulai membuat pabrikan mobil Jepang gerah. Pasalnya, sederet jenama otomotif asal Negeri Sakura itu sudah menggelontorkan investasi hingga triliunan rupiah untuk membangun ekosistem dan rantai pasok lokal di Indonesia.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pun menanggapi fenomena perang harga di industri otomotif Tanah Air, di tengah lesunya daya beli masyarakat.
Sejatinya, fenomena perang harga di industri otomotif sudah terjadi di berbagai negara di dunia. Indikasi perang harga itu terlihat melalui potongan harga besar-besaran atau diskon langsung, di tengah situasi oversupply atau produksi yang melebihi permintaan.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara pun mengakui bahwa kondisi industri otomotif Indonesia sedang tidak baik-baik saja, karena mengalami stagnasi yang sudah cukup lama, lebih dari 10 tahun terakhir.
Alhasil, dia tidak menginginkan pasar otomotif Indonesia juga menjadi medan perang harga. Sebab, industri ini melibatkan jutaan tenaga kerja dan UMKM dalam rantai pasok otomotif.
“Ini adalah industri yang sangat strategis dan penting sekali. Kita tidak ingin ini jadi medan perang harga. Harusnya bisa menjadi lahan untuk basis produksi industri kendaraan bermotor di kawasan Asean,” ujar Kukuh di GIIAS 2025, Kamis (31/7/2025).
Suasana GIIAS 2025 / BISNIS - JIBI
Di Indonesia, indikasi perang harga terjadi di kalangan mobil listrik pabrikan asal China yang ramai-ramai mulai memangkas harga jual kendaraannya. Hal itu terjadi di tengah lesunya penjualan mobil domestik.
Sepanjang Januari-Juli 2025, total penjualan mobil wholesales sebanyak 435.390 unit, atau merosot 10,1% (year-on-year/YoY) dibandingkan periode yang sama pada 2024 sebanyak 484.250 unit.
Penjualan mobil secara ritel pun menyusut 10,8% menjadi 453.278 unit, dibandingkan pada 7 bulan pertama 2024 yang sebanyak 508.041 unit.
“Sekarang kita mengalami tahapan berikutnya lagi, kita harus berubah. Kita menghadapi hal baru dengan masuknya kendaraan baru dari Tiongkok, harganya juga kompetitif,” katanya.
Di lain sisi, data Gaikindo mencatat, terdapat lebih dari 1,5 juta orang yang bekerja di sepanjang rantai pasok otomotif dari tier-1 sampai tier-3.
Kukuh mengatakan, turunnya penjualan mobil juga tak lepas dari melemahnya daya beli kelas menengah (middle income class) yang kini jumlahnya sekitar 10 juta hingga 11 juta orang. Masalahnya, kenaikan penghasilan kelas menengah tak mampu mengimbangi kenaikan harga mobil.
“Kajian menunjukkan, kelas menengah income-nya hanya naik sekitar 3,5% setahun sesuai inflasi. Namun harga mobil yang menjadi incaran utama kelas menengah tadi naiknya 7,5%, gap-nya makin lama makin besar. Ini yang harus diantisipasi, industri otomotif harus diselamatkan," pungkasnya.
Produsen mobil listrik asal China, BYD Indonesia tengah menjadi sorotan publik, usai meluncurkan model city car terbarunya, BYD Atto 1 di ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show atau GIIAS 2025.
Alasannya adalah harga mobil listrik BYD itu beririsan dengan mobil low cost green car (LCGC). BYD Atto 1 itu dibanderol mulai dari Rp195 juta untuk varian Dynamic, sementara tipe Premium dihargai senilai Rp235 juta OTR Jakarta.
Presiden Direktur PT BYD Motor Indonesia Eagle Zhao, mengatakan perseroan telah melakukan studi mendalam terkait pasar di Indonesia, jauh sebelum meluncurkan sederet model kendaraannya di Indonesia.
"Sejak dua tahun lalu, BYD telah melakukan studi yang sangat komprehensif tentang segmen city car di Indonesia. Kami memilih Indonesia sebagai negara setir kanan pertama untuk meluncurkan BYD Atto 1. Kami sangat peduli dengan industri otomotif di sini," ujar Eagle di ICE BSD, Tangerang belum lama ini.
Menurutnya, BYD adalah satu-satunya produsen mobil yang memiliki semua teknologi kunci, seperti baterai, motor listrik, bahkan semikonduktor. Tak hanya teknologi, BYD mampu memproduksi sendiri hampir semua komponen inti, kecuali ban dan kaca. Alhasil, hal itu juga berpengaruh terhadap penentuan harga jual kendaraannya.
BYD Atto 1 meluncur di GIIAS 2025 / BISNIS - JIBI
Eagle pun mengaku terkejut bahwa dengan harga yang ditawarkan tersebut, BYD Atto 1 mendapatkan antusiasme yang tinggi di kalangan konsumen di Indonesia.
"Kami sangat terkejut bahwa harga terjangkau ini dapat diterima oleh semakin banyak pelanggan Indonesia. Sejak 18 bulan yang lalu, BYD mulai memperkenalkan merek kami dengan tiga model. Hingga saat ini, strategi penetapan harga kami sangat solid," katanya.
Alhasil, menurutnya, setiap merek otomotif di Indonesia memiliki portofolio produk dan segmentasi konsumen yang berbeda-beda. BYD pun berupaya untuk menetapkan strategi harga yang solid di pasar Tanah Air.
“Saya percaya bahwa dengan portofolio pasar yang berbeda, demografi pelanggan, dan situasi persaingan yang berbeda-beda. Hingga saat ini, kami berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan strategi penetapan harga yang sangat solid,” pungkas Eagle.
Berdasarkan catatan Bisnis, sederet pabrikan China lainnya juga mengutak-atik harga jualnya, terutama di pameran GIIAS 2025 yang baru berakhir pada 3 Agustus 2025 lalu.
Misalnya, Wuling Motors, harga normal Air EV Lite Standard Range dibanderol mulai Rp184 jutaan, disusul Air EV Lite Long Range dihargai Rp195 jutaan, dan Air EV Pro dihargai Rp252 jutaan.
Menariknya, beberapa dealer Wuling memberikan penawaran khusus atau 'Special Deal' selama pameran GIIAS 2025, dengan potongan harga yang cukup signifikan.
"Selama pameran GIIAS, Air EV Lite 200 km di Rp160 juta, Air EV Lite 300 km di Rp170 juta, Air EV Pro di Rp190 juta nett,” ujar salah satu tenaga penjual Wuling kepada Bisnis, dikutip Rabu (30/7/2025).
Selanjutnya, harga normal New BinguoEV Lite dibanderol mulai Rp279 jutaan, sedangkan New Binguo EV Pro seharga Rp332 jutaan. Adapun, Binguo EV dengan jarak tempuh 333 kilometer sudah ludes terjual di GIIAS 2025, seiring tingginya permintaan konsumen.
“Binguo 333 km-nya sudah habis, tinggal yang 410 km, jadi kena di Rp235 juta. Kalau yang Binguo 333 km DC di Rp196 juta, lalu tipe AC di Rp180 juta, tapi sudah sold karena jumlah SPK benar-benar lebih dari jumlah stoknya,” jelasnya.
Merek asal China lainnya, Great Wall Motor (GWM) juga memberikan diskon untuk mobil listrik berbasis baterai (BEV) model hatchback terbarunya, yakni Ora 03 di GIIAS 2025. Harga Ora 03 terdiskon dari harga normal Rp379 juta, menjadi Rp369 juta.
Geely juga ikut tebar diskon pada pameran tersebut. Harga normalnya, Geely EX5 Pro dibanderol Rp465 juta, sedangkan Geely EX5 Max seharga Rp505 juta. Namun, pada saat GIIAS 2025, Geely EX5 ditawarkan dengan harga spesial, Rp479 juta untuk model Max dan Rp439 juta untuk model Pro, khusus bagi 500 pembeli pertama.
Sebelum pameran GIIAS, isu perang harga ini juga mulai mencuat usai beberapa pabrikan asal Negeri Tirai Bambu yang memangkas harga. Misalnya, Chery. Saat perdana meluncurkan Omoda E5 pada Februari 2024, pabrikan mobil listrik China itu membandrol harga Rp498,8 juta untuk on the road Jakarta.
Kini, Chery telah melepas nama Omoda, sehingga hanya menjadi Chery E5 dan harga jual kendaraan tersebut turun signifikan menjadi Rp399,9 juta. Bahkan, untuk varian Pure, harganya sekarang mulai Rp369,9 juta, sehingga penurunan harganya nyaris Rp100 juta.
Selain itu, BAIC juga turut memangkas harga, terutama setelah memulai perakitan lokal. Model BJ40 Plus yang dirakit lokal jauh lebih murah jika dibandingkan dengan yang diimpor utuh yakni dari Rp790 juta menjadi Rp698 juta, alias mengalami penurunan Rp92 juta.
Sebagai tambahan informasi, beberapa merek mobil China, seperti BAIC, Chery hingga Geely masih menumpang di fasilitas perakitan milik PT Handal Indonesia Motor (HIM). Sementara itu, GWM memiliki pabrik di Wanaherang, Bogor, Jawa Barat.
Adapun, salah satu pabrikan China yang sudah cukup lama berinvestasi di RI yakni Wuling, melalui pabrik yang telah beroperasi sejak 2017 di Cikarang, Jawa Barat. Di lain sisi, BYD masih dalam proses menyelesaikan pembangunan pabrik di Subang, Jawa Barat dengan kapasitas produksi 150.000 unit mobil listrik per tahun.
Pabrikan Jepang yang kini masih merajai pasar mobil di Indonesia, PT Toyota Astra Motor (TAM) menanggapi fenomena 'perang harga' yang terjadi di kalangan mobil listrik (battery electric vehicle/BEV) asal China di pasar otomotif Tanah Air.
Marketing Planning General Manager Toyota Astra Motor, Resha Kusuma Atmaja menyoroti bahwa kebijakan insentif untuk mobil listrik saat ini masih belum berimbang. Hal itu berpotensi dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat, terutama dalam konteks perang harga.
“Saat ini kebijakan pemerintah saya melihat masih belum berimbang dan belum inklusif. Contoh, ada kebijakan terkait pajak BBnKB, PPN, PPnBM, dan-lain. Kalau BEV saat ini BBnKB dan luxury tax-nya 0%,” ujar Resha di GIIAS 2025 pada Kamis (31/7/2025).
Adapun, sejak digaungkan kebijakan subsidi mobil listrik, termasuk untuk impor utuh, tingkat pertumbuhan penjualan mobil listrik cukup signifikan.
Mengacu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025, pemerintah telah memberikan insentif PPN DTP 10% untuk mobil listrik completely knocked down (CKD).
Lalu, PPnBM DTP untuk impor mobil listrik secara utuh atau completely built up (CBU) dan CKD sebesar 15%, serta pembebasan bea masuk impor mobil listrik CBU.
Pasalnya, menurut Resha sejauh ini mobil listrik masih dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, padahal, yang daya belinya paling terdampak justru masyarakat kalangan menengah (middle income).
Menurutnya, masyarakat kelas menengah berpotensi dapat mendorong pasar otomotif, terutama melalui pembelian low cost green car (LCGC).
Ilustrasi mobil LCGC. Daihatsu Ayla / BISNIS - JIBI
“BEV siapa sih pembelinya? Mostly dari riset yang kami lakukan, additional buyer yang memang mempunyai cukup, atau kalangan menengah ke atas. Padahal kalau mau menaikkan pasar, seperti LCGC, terbukti menaikkan market, karena targetnya first car buyer,” jelasnya.
Alhasil, Toyota berharap pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih inklusif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, agar industri otomotif dapat berkembang.
Dari sisi manufaktur, Suzuki mengakui telah melakukan efisiensi dari sisi biaya (cost) terhadap proses perakitan kendaraan di pabrik perseroan, seiring dengan lesunya kondisi pasar otomotif Tanah Air.
Managing Director Suzuki Indomobil Motor (SIM) Shodiq Wicaksono mengatakan, lesunya pasar otomotif, ditambah dengan adanya perang harga dari pabrikan kendaraan listrik asal China kian membebani para pelaku industri.
“Jadi sebetulnya kalau perang harga menurut saya itu hal yang wajar kalau dalam dunia marketing lah ya. Tapi kan kemudian ini menjadi sangat bermasalah ketika pasarnya juga turun,” ujar Shodiq saat ditemui di Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025, dikutip Sabtu (2/8/2025).
Menurut Shodiq, di luar perang harga, dampak dari penyusutan pasar juga berpengaruh dari sisi rantai pasok industri sehingga turut berdampak terhadap para pemasok (supplier).
"Artinya, tentunya bukan hanya kita yang suffering ya, karena produksi turun, otomatis biaya fixed cost juga akan harus ditanggung lebih tinggi kan berarti untuk per unitnya. Teman-teman supplier di akhirnya mengalami masa-masa sulit," tuturnya.
Adapun, kinerja produksi mobil secara nasional juga mengalami penurunan 1,7% yoy menjadi 552.509 unit pada 6 bulan pertama 2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 561.946 unit.
Kendati demikian, Suzuki tetap berupaya agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan yang bekerja di pabrik perseroan.
“Sejak pandemi Covid pun kami berkomitmen untuk tidak melakukan lay-off ya, kami akan menjaga. Makanya tadi efisiensi dan lain sebagainya itu pun jadi salah satu cara kami menekan biaya, supaya tetap bisa menggaji karyawan. Walaupun risiko tetap ada ya, mau tidak mau,” kata Shodiq.
Alhasil, menurutnya, perang harga di kalangan pelaku industri otomotif sah-sah saja dilakukan, asal kondisi ekonomi tetap mendukung dan volume penjualan kendaraan tetap bertumbuh.
“Karena perang harga mungkin bisa saja dilakukan, tapi kalau secara ekonomi makronya menjadi lebih bagus, otomatis volumenya naik, menjadi bisnis seperti biasa saja. Jadi harapan kami selalu positif sehingga tahun depan jadi lebih bagus lagi, jadi kami harus bertahan," ujarnya.
Jika menilik data Gaikindo, sederet merek Jepang mengalami penurunan penjualan signifikan pada periode Januari-Juli 2025. Sebaliknya, penjualan mobil China justru melesat.
Dari merek Jepang, Toyota mencatatkan penjualan wholesales sebanyak 142.751 unit pada 7 bulan pertama 2025. Namun, angka itu turun 9% YoY dibandingkan periode yang sama pada 2024 sebanyak 156.858 unit.
Berikutnya, Daihatsu yang juga dinaungi oleh Grup Astra, meraih penjualan sebanyak 74.856 unit pada Januari-Juli 2025, merosot 24,6% secara tahunan.
Pabrikan Jepang lainnya yang juga mengalami koreksi penjualan yaitu Honda yang turun 29,6% menjadi 37.916 unit. Disusul Mitsubishi Motors sebanyak 36.092 unit, atau melemah 14,3%.
Di lain sisi, kala pabrikan Jepang mengalami penurunan penjualan dobel digit, merek mobil China justru meroket hingga ratusan persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Misalnya, BYD mencatatkan lonjakan penjualan 366,5% menjadi 16.427 unit pada Januari-Juli 2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3.521 unit.
Penjualan Chery juga melesat 151,7% menjadi 11.876 unit pada 7 bulan pertama 2025, dibandingkan 4.719 unit pada periode sama tahun lalu.
Tak ketinggalan, penjualan GWM juga melesat 129,6% secara tahunan menjadi 551 unit, disusul Neta yang naik 51,4% menjadi 433 unit.
Di lain sisi, ada beberapa merek China yang belum mencatatkan pertumbuhan secara tahunan, karena baru diluncurkan pada awal 2025, di antaranya yakni Aion, Denza, hingga Geely.
Daftar 10 Merek Jepang Terlaris Januari-Juli 2025 (% YoY):
Toyota | 142.751 unit | (-9%) |
Daihatsu | 74.856 unit | (-24,6%) |
Honda | 37.916 unit | (-29,6%) |
Mitsubishi Motors | 36.092 unit | (-14,3%) |
Suzuki | 33.190 unit | (-13,9%) |
Isuzu | 13.465 unit | (-17,9%) |
Mitsubishi Fuso | 13.313 unit | (-13,9%) |
Hino | 9.666 unit | (-20,1%) |
Mazda | 1.677 unit | (-33,5%) |
UD Trucks | 1.235 unit | (+ 6,4%) |
Daftar 10 Merek China Terlaris Januari-Juli 2025 (% YoY):
BYD | 16.427 unit | (+366,5%) |
Chery | 11.876 unit | (+151,7%) |
Wuling | 9.514 unit | (-5,3%) |
Denza | 6.256 unit | - |
Aion | 3.126 unit | - |
Geely | 1.508 unit | - |
Morris Garage | 1.090 unit | (-57,3%) |
GWM | 551 unit | (+129,6%) |
DFSK | 468 unit | (-7,5%) |
Neta | 433 unit | (+51,4%) |
Pakar Otomotif dan Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, pemangkasan harga mobil China di Indonesia mencerminkan strategi penetrasi pasar agresif dengan memanfaatkan keunggulan biaya produksi mereka yang sangat efisien.
"Skala ekonomi produksinya yang semakin sulit dikalahkan semua kompetitornya, serta perakitan lokal yang ada untuk menekan harga jualnya, mengikuti model bisnis yang dilakukan beberapa brand EV China ini," ujar Yannes kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).
Menurutnya, secara positif, hal ini tentunya akan memperluas akses masyarakat pembeli pertama segmen kelas menengah (middle income class) pada kendaraan listrik (electric vehicle/EV), serta mendukung percepatan transisi energi.
Selain itu, kata Yannes, strategi ini juga memaksa produsen lain berinovasi lebih cepat demi menekan harga jual atau setidaknya mengurangi secara masif margin profit mereka.
"Namun, risiko jangka panjangnya signifikan. Potensi perang harga destruktif yang menekan margin industri, nilai jual kembali terdepresiasi 40%-46%, serta ketergantungan pada impor yang semakin tinggi ini kelak dapat merusak dan merontokkan ekosistem rantai pasok lokal," jelasnya.
Dia mengatakan, penurunan harga mobil China ibarat pedang bermata dua. Sisi positifnya, dapat membuka peluang lebih luas bagi masyarakat untuk mengakses teknologi EV dengan harga terjangkau.
Ilustrasi kendaraan listrik / BISNIS - JIBI
"Namun, hal itu sekaligus menimbulkan kekecewaan mendalam bagi pembeli awal dengan keuangan terbatas tapi ingin menikmati teknologi baru ini harus menanggung depresiasi nilai begitu tinggi," katanya.
Alhasil, hal ini berpotensi akan mengubah paradigma pembelian mobil baru sebagai sebuah investasi yang bernilai (valuable). Dampak psikologis ini memperkuat stigma rendahnya nilai investasi EV, khususnya di kalangan kelas menengah yang menganggap mobil sebagai simbol status dan aset jangka panjang.
Fenomena ini mendorong semakin banyak calon pembeli kelas menengah untuk mengadopsi pola wait and see, menunggu diskon tambahan atau kepastian kebijakan sebelum berkomitmen [membeli]. Akibatnya mobil pun perlahan bergeser citranya menjadi komoditas teknologi dengan risiko depresiasi tinggi," pungkas Yannes.
Pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 yang digelar pada 24 Juli-3 Agustus 2025 di ICE BSD City, Tangerang seolah menghadapi anomali yang tak biasa.
Pasalnya, jumlah unit kendaraan yang terjual pada pameran tersebut melampaui capaian GIIAS 2024 yang juga dihelat di ICE BSD pada tahun lalu, namun nilai transaksi justru mengalami penurunan signifikan.
Berdasarkan data Gaikindo yang diterima Bisnis, secara terperinci, total unit terjual pada GIIAS 2025 tembus 38.929 unit. Angka itu naik 12% secara year-on-year (YoY) dibandingkan penyelenggaraan yang sama tahun sebelumnya sebanyak 34.887 unit.
Di lain sisi, nilai transaksi GIIAS 2025 justru merosot 37,04% menjadi Rp11,8 triliun, dibandingkan GIIAS 2024 yang digelar pada 18-28 Juli 2024 sebesar Rp18,75 triliun.
Gaikindo mengungkapkan bahwa sengitnya kompetisi harga dari para agen pemegang merek (APM) mobil membuat nilai transaksi di pameran otomotif GIIAS 2025 turun.
Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi mengatakan, total 38.000 unit kendaraan yang terjual selama ajang GIIAS 2025 menandakan industri otomotif kian bergairah. Namun, turunnya transaksi juga menjadi sorotan.
"Meski demikian, tercatat nilai keseluruhan penjualan mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, di mana hal ini dipengaruhi oleh semakin kompetitifnya harga model kendaraan yang diluncurkan," ujar Nangoi dalam keterangannya, dikutip Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, harga mobil yang kian kompetitif memang berdampak positif bagi masyarakat karena semakin terjangkau untuk memiliki kendaraan. Namun, di lain sisi, persaingan antar-merek mobil juga kian sengit.
Meskipun demikian, Nangoi menggarisbawahi bahwa transaksi bukanlah tujuan utama dari penyelenggaraan GIIAS, melainkan hasil yang dilaporkan tiap penyelenggaraannya menjadi dorongan bagi capaian industri otomotif nasional.
“Di tengah berbagai tantangan global dan nasional yang memengaruhi laju industri otomotif, kami bersyukur penyelenggaraan GIIAS 2025 sukses catatkan hasil yang sangat positif," jelasnya.
Untung Buntung Eksportasi Nikel RI ke China