bisnis-logo

Company

Perang Bubat SoftBank vs Tencent di Indonesia

Lanskap perusahaan rintisan teknologi di Indonesia terus berubah, seiring ramainya rencana IPO dan merger antara sesama startup. Namun, di baliknya, perusahaan-perusahaan rintisan itu ternyata saling berjejaring dan mengerucut ke dua perusahaan teknologi besar, yakni SoftBank dan Tencent. Bagaimana petanya?

22 April 2021

A+
A-

Pada pengujung 2020, publik dihebohkan dengan isu merger antara Gojek dan Grab. Ada tekanan besar agar dua aplikasi penyedia jasa transportasi daring itu melakukan ‘gencatan senjata’ segera. ‘Aksi bakar duit’ rupanya membuat gerah pemilik dana.

Adalah Masayoshi Son, Bos SoftBank Group, yang disinyalir ikut campur tangan menekan Anthony Tan, salah satu pendiri Grab Holdings Inc. untuk berdamai dengan Gojek. SoftBank adalah pemodal terbesar Grab.

Jalan damai dilakukan dengan opsi merger. Pasalnya, Grab dan Gojek telah terjebak dalam pertempuran sengit, dan mahal. Penggabungan kekuatan akan mengurangi 'aksi bakar uang’ dan menciptakan raksasa berbasis internet paling kuat di kawasan Asia Tenggara.

Masa, begitu biasa disapa, menyodorkan proposal bahwa Grab sebagai pemegang saham pengendali dalam merger itu. Cukup beralasan dengan kapitalisasi Grab sebesar US$14 miliar, dan beroperasi di delapan negara.

Adapun, Gojek nilainya mencapai US$10 miliar, dan beroperasi di Indonesia, Singapura, Thailand, serta Vietnam.

Namun, proposal itu kandas. Memudar tidak ada kejelasan hingga kini. Kabarnya, gayung tak bersambut dari Ma Huateng, pemilik Tencent, salah satu pemodal besar di Gojek.

Rivalitas Ma Huateng dengan Masayoshi Son cukup kentara. Potret itu terlihat di Indonesia. Meski belakangan mereka ada irisan, setelah terjadi merger Tokopedia dengan Gojek, tetapi persilangan masih dominan. Seperti diketahui, Alibaba bersama Softbank sempat menanam duit di Tokopedia.

Contoh lainnya, sekilas tak terlihat ada koneksi antara Shopee dengan Gojek. Begitu juga Alibaba dengan WeWork, dan WeChat dengan Sea Group.

Memang, sejumlah perusahaan tersebut tak terhubung langsung. Akan tetapi, ada benang merah antara perusahaan itu. Misalnya, Shopee dengan Gojek. Keduanya sama-sama terhubung dengan Tencent. Perusahaan yang berbasis di Shenzen, China itu menjadi salah satu investor di Sea Group—induk Shopee—dan Gojek.

Tencent juga menjadi penghubung antara aplikasi pembayaran digital WeChat dan Sea Group, lewat investasi yang ditanamkannya. Terakhir, Alibaba dengan WeWork adalah sama-sama penerima dana investasi dari SoftBank.

Konglomerasi perusahaan-perusahaan teknologi ini terjadi di belakang layar. Terkadang, nilai investasinya diumumkan ke publik, tetapi lebih sering dilakukan tertutup.

Jika ditarik garis, berbagai aksi pendanaan itu memang mengerucut ke dua kubu, SoftBank dan Tencent. Lini bisnis yang digarap oleh perusahaan-perusahaan ini pun beragam, meskipun cukup seragam. Mulai dari e-commerce, financial technology (fintech), perbankan, hingga transportasi dan logistik.

Bagaimana peta persaingan sebenarnya SoftBank dan Tencent di Indonesia? Berikut ini lengkapnya.

SOFTBANK

SoftBank adalah perusahaan teknologi yang didirikan oleh Masayoshi Son pada 3 September 1981. Portofolio bisnis pria asal Jepang itu mencakup hampir semua sektor. Mulai dari telekomunikasi, konsumer, energi, teknologi, finansial, kesehatan, pendidikan, properti, transportasi dan logistik.

Secara keseluruhan, mengutip data Crunchbase, SoftBank telah melakukan 258 investasi dan mengakuisisi 13 perusahaan.

1. Alibaba

Masa—panggilan akrab Masayoshi Son—sudah masuk ke Alibaba bahkan ketika perusahaan tersebut masih belum dikenal di luar China, yakni pada awal 2000.

Setidaknya hingga akhir tahun lalu, SoftBank masih menggenggam sekitar 25 persen saham Alibaba. Padahal, Masa pelan-pelan sudah melepas kepemilikan saham SoftBank di perusahaan itu.

Perusahaan yang dipimpin oleh Jack Ma ini mengembangkan sayap di Indonesia melalui perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengannya. Jejaringnya pertama kali masuk melalui e-commerce, seperti Lazada dan Tokopedia.

Manuver bisnis Alibaba di Indonesia dimulai pada 11 April 2016. Saat itu, perusahaan tersebut mengumumkan pendanaan pertama mereka terhadap Lazada, e-commerce asal Singapura. Nilainya sebesar US$1 miliar atau sekitar Rp14 triliun.

Setahun kemudian, tepatnya pada 29 Juni 2017, Alibaba Holdings Ltd. menambah porsi kepemilikan di Lazada dengan suntikan dana US$1 miliar tambahan.

Namun, lewat strategi ini, Alibaba tak sekadar ingin merebut pangsa pasar e-commerce. Mereka juga punya tujuan lain, yakni mengintegrasikan platform tersebut dengan beberapa bisnis baru mereka di Asia Tenggara.

Sekitar 10 bulan sebelumnya, Alibaba telah mencaplok 20 persen saham Ascend Money, perusahaan pembayaran digital asal Thailand yang terkenal dengan layanan bernama True Money. Akuisisi dilakukan lewat Ant Financial, yang kini bernama Ant Group, anak usaha mereka.

True Money yang telah beroperasi di Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja lantas diintegrasikan sebagai salah satu opsi pembayaran yang bisa dipakai untuk layanan Lazada di berbagai negara Asia Tenggara.

Menariknya, upaya Alibaba mempertegas pengaruh di sektor e-commerce Indonesia dilanjutkan dengan pendanaan untuk salah satu rival Lazada, yakni Tokopedia. Alibaba menyuntik perusahaan yang didirikan William Tanuwijaya tersebut dengan dana US$1,1 miliar pada 17 Agustus 2017, atau hanya sebulan setelah pendanaan kedua mereka di Lazada.

Alibaba juga bekerja sama dengan J&T Express, perusahaan logistik lokal, membangun J&T Alibaba sejak Mei 2017. Ini merupakan perusahaan konsultasi bisnis e-commerce.

Perusahaan ini merekrut pakar-pakar strategi pemasaran untuk memberikan masukan langsung kepada para pengusaha kecil, alias pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Fokusnya ke UMKM furniture, pertanian, makanan, minuman, serta barang kerajinan tangan.

Geliat Alibaba di sektor e-commerce makin tegas karena pada saat bersamaan, mereka turut mendanai kompetitor lain Lazada dan Tokopedia, yakni Bukalapak.

Pendanaan untuk Bukalapak dilakukan Alibaba lewat anak perusahaan, Ant Group, yang bekerja sama dengan Emtek dan Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC). Total investasi patungan ini mencapai kisaran US$1,1 miliar.

Ant Group dikenal luas sebagai pemilik Alipay, sebuah aplikasi layanan finansial. Di Indonesia, Alipay bekerja sama dengan Bank BRI sebagai acquirer, yakni pihak yang memproses transaksi yang menggunakan platform tersebut.

Alibaba juga berinvestasi di DANA, perusahaan aplikasi dompet digital, yang masuk sebagai salah satu opsi pembayaran Bukalapak.

DANA adalah salah satu bentuk kerja sama Ant dengan salah satu mitra investasi mereka di Bukalapak, Emtek Group. Baru-baru ini, berhembus kabar bahwa DANA bakal dilebur dengan OVO–platform pembayaran digital lain yang sebagian sahamnya turut dimiliki Grab Inc.

Pelan tetapi pasti, dalam 2 tahun terakhir, Alibaba juga memperluas pengaruhnya di Indonesia ke segmen perbankan. Ini tampak dari manuver mereka yang kian dominan dalam kepemilikan Bank Neo Commerce.

Aroma kental Alibaba di BBYB tampak dari kepemilikan 24,98 persen saham perusahaan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia. Akulaku adalah perusahaan financial technology (fintech) yang mendapat pendanaan dari Alibaba sejak putaran pendanaan pada 11 Januari 2019.

Di luar itu semua, Alibaba juga ternyata masuk ke bisnis logistik, tepatnya ke PT Trimuda Nuansa Citra Tbk. (TNCA). Perusahaan ini menjalankan bisnisnya melalui brand Garuda Express Delivery (GED).

Sama seperti strategi untuk masuk ke BBYB, kepanjangan tangan Alibaba untuk merangkul TNCA adalah Akulaku. Hal ini ditegaskan dengan adanya nama Pamitra Wineka di jajaran komisaris TNCA, setidaknya hingga September 2020 jika mengacu ke akun LinkedIn-nya. Pamitra adalah pendiri dan CEO TaniHub Group, sekaligus salah satu pendiri Akulaku.

Dengan demikian, secara keseluruhan, jejaring Alibaba di Indonesia sudah mencakup bisnis e-commerce, perbankan, fintech, dan logistik.

Tak berhenti di situ, dengan kian dekatnya realisasi merger Tokopedia-Gojek, maka jangkauan bisnis Alibaba di Indonesia pun makin luas. Seperti diketahui, Gojek sudah memiliki ekosistemnya sendiri, yang didukung oleh Tencent dan PT Bank Jago Tbk. (ARTO)–yang mana daftar pemegang sahamnya mencakup Northstar Group dan GIC.

2. Tokopedia

Di Indonesia, Masa menanamkan benih investasinya di Tokopedia. Berdasarkan catatan Bisnis, investasi ini pertama kali dilakukan SoftBank melalui ronde pendanaan senilai total US$100 juta, bersama dengan Sequoia Capital.

Setelah itu, Tokopedia beberapa kali mendapatkan suntikan dana lagi dari SoftBank. Mengacu ke data Crunchbase, pendanaan terakhir yang dilakukan SoftBank terhadap perusahaan yang didirikan William Tanuwijaya tersebut bernilai US$1,1 miliar pada 21 November 2018. Ketika itu, SoftBank menjadi investor bersama Alibaba dan satu pihak lainnya.

Dengan rencana merger Tokopedia-Gojek yang tinggal menunggu waktu diluncurkan, maka jejaring SoftBank di Indonesia akan makin lengkap. Jika terwujud, maka pengguna Tokopedia akan bisa menggunakan berbagai fitur yang dimiliki Gojek, seperti GoPay, dengan mudah.

Meski realisasi merger belum diumumkan ke publik, tetapi beberapa perubahan di aplikasi Tokopedia sudah mulai terlihat. Misalnya, kembalinya fitur TokoPoints yang sempat hilang dan digantikan OVO Points. OVO sudah menjadi mitra Tokopedia untuk layanan pembayaran para penggunanya setidaknya sejak November 2018.

Laporan KrAsia juga pada Kamis (14/4/2021), juga menyebut nama entitas pascamerger adalah GoTo dan bakal diisi oleh para petinggi dari kedua perusahaan. Termasuk, co-CEO Gojek Andre Soelistyo dan Kevin Aluwi serta CEO Tokopedia William Tanuwijaya dan Presiden Tokopedia Patrick Cao.

Nantinya, GoTo akan menyediakan layanan perjalanan, e-commerce, pengiriman makanan, pembayaran, dan logistik.

Menariknya, Gojek justru merupakan bagian dari jejaring Tencent. Di luar itu, Gojek menguasai sebagian saham PT Bank Jago Tbk. (JAGO) dan PT Blue Bird Tbk. (BIRD).

Dengan demikian, jalan SoftBank untuk masuk ke bisnis layanan finansial dan transportasi Indonesia cukup terbuka.

3. Grab

Baru-baru ini, Grab telah mengakuisisi 4 persen saham PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) alias Emtek. Grab, sebagai pesaing Gojek di Indonesia, memang mendapat pendanaan dari perusahaan yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang ini.

Aksi korporasi ini tentunya menguntungkan SoftBank. Mengapa?

Karena Emtek terafiliasi dengan DANA, dompet digital yang didirikan sebagai hasil patungan dengan API Hongkong Investment Limited (APIH). Emtek juga punya saham di Bukalapak, e-commerce lokal lainnya.

Adapun APIH adalah entitas anak Ant Financial—kini Ant Group, sayap bisnis Alibaba yang utamanya bergerak di layanan finansial.

Emtek, yang berada di bawah kendali Keluarga Sariaatmadja, juga terafiliasi dengan Bukalapak. Mengacu ke laporan keuangan perseroan, per akhir 2020, Emtek melalui anak usahanya yakni PT Kreatif Media Karya (KMK) menguasai 34,39 persen saham e-commerce tersebut.

Lebih jauh, pada awal 2021, Bukalapak menjalin kerja sama dengan Standard Chartered untuk berkolaborasi dalam hal layanan finansial digital. Bahkan, seperti dilaporkan Bloomberg pada Maret 2021, Bukalapak berencana listing di bursa AS dengan menggunakan Special Purpose Acquisition Company (SPAC).

Langkah itu serupa dengan yang direncanakan oleh Traveloka dan Tokopedia. Namun, belum ada informasi lebih lanjut mengenai aksi korporasi ini.

Selain Emtek dan Standard Chartered, Bukalapak juga mendapat pendanaan dari Ant Group, GIC, Naver Corp. asal Korea Selatan (Korsel), Microsoft, Mandiri Capital, serta BRI Ventures. CB Insight mencatat valuasi perusahaan ini sebesar US$3,5 miliar.

Kembali ke Grab, setelah menjalankan bisnis ride-hailing dan pesan antar makanan, kini perusahaan itu tampaknya berambisi memperbesar porsi di dompet digital dan perbankan.

 

Selama ini, Grab memang mengandalkan OVO dalam hal transaksi pembayaran di aplikasinya. Pada Oktober 2017, Bank Indonesia (BI) membekukan layanan GrabPay karena belum mengantongi izin penyelenggaraan uang elektronik.

Pada pertengahan 2018, GrabPay berubah menjadi OVO Cash setelah Grab dan OVO menjalin kerja sama. Belakangan, Grab mulai merangsek menjadi pemegang saham OVO.

Berdasarkan catatan Bisnis, saham mayoritas OVO dikendalikan oleh Grab sebanyak 39,2 persen. Kemudian, Tokopedia 36,1 persen, serta Leontinus Alpha Edison dan Wiliam Tanuwijaya masing-masing 5 persen.

Lewat OVO pula, Grab berupaya merealisasikan keinginan memperluas bisnis di sektor layanan pembayaran digital dan perbankan. Beredar kabar bahwa Grab akan melebur OVO dengan DANA, dompet digital yang terafiliasi dengan konglomerasi Emtek.

Sebagai perusahaan yang sama-sama masuk dalam ekosistem SoftBank, tidak akan mengherankan jika kabar mergernya OVO dan DANA benar terealisasi. Langkah ini disebut-sebut dipertimbangkan dilakukan untuk menahan ekspansi ShopeePay dan GoPay.

Di sisi perbankan digital, Grab pun menggunakan OVO sebagai kendaraannya. Sejumlah orang penting di OVO disebut-sebut digeser ke dua bank, yakni Bank Capital dan Bank Aladin Syariah

Di Bank Aladin misalnya, ada Direktur Digital Banking Firdila Sari, Direktur Keuangan dan Strategi Willy Hambali, dan Direktur Teknologi Informasi Budi Kusmiantoro. Ketiga orang ini adalah orang penting di PT Visionet Internasional, pemilik brand OVO.

Uniknya, Budi—yang sempat menduduki posisi yang sama di Traveloka—sempat didapuk menjadi CTO di konglomerasi Bank Capital, meskipun dibantah oleh manajemen emiten berkode saham BACA itu. Menurut informasi, Budi tadinya menjadi CTO di Net Capital, lini bisnis digital yang akan menjadi cangkang bank digital BACA.

Hal ini pun memunculkan spekulasi bahwa kedua bank tersebut sekarang berada dalam satu holding. Belakangan muncul kabar Bank Aladin akan dipinang oleh Sea Group, pemilik Shopee.

Di sisi lain, kolaborasi antara Grab dan Emtek juga melibatkan Grup Salim. Pasalnya, Anthony Salim sebagai pemimpin konglomerasi tersebut sudah menguasai 8,38 persen saham Emtek.

Menariknya, Grup Salim juga mempunyai saham di PT Bank Mega Tbk. (MEGA), yang dikuasai pengusaha Chairul Tanjung (CT), lewat PT Indolife Pensiontama. Mengacu ke data Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini, porsi saham Indolife di MEGA adalah 6,07 persen.

Adapun CT sedang gencar-gencarnya memperbesar bisnis bank miliknya. Pada akhir 2020, mengakuisisi PT Bank Harda Internasional Tbk. (BBHI).

Selain dua bank itu, CT juga mengendalikan Bank Mega Syariah yang merupakan unit syariah MEGA, Bank SulutGo, Bank Sulteng, serta Bank Bengkulu.

TENCENT

Nama Tencent di Indonesia mungkin tak sebesar Alibaba, tetapi bukan berarti kerajaan bisnisnya kalah dari rivalnya itu. Perusahaan yang dipimpin oleh Ma Huateng alias Pony Ma itu tercatat ikut serta mendanai Sea Ltd. dan Gojek.

Data Crunchbase menunjukkan secara keseluruhan, Tencent sudah melakukan 568 investasi di berbagai startup.

 

1. Sea Ltd.

Tencent turut memiliki saham di Sea Ltd, induk e-commerce Shopee dan produsen game Garena. Data Crunchbase menunjukkan pendanaan terakhir dari Tencent ke Sea dilakukan pada 6 Maret 2019, dengan nilai US$1,4 miliar.

Ketertarikan Tencent di perusahaan yang berbasis di Singapura itu bisa jadi merupakan jalan masuk untuk menggarap pasar Asia Tenggara yang lebih luas. Selain di Singapura, Shopee juga beroperasi di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Adapun keberadaan Garena bisa jadi turut mendorong ekspansi ini, karena Tencent juga sama-sama memiliki sayap bisnis game. Beberapa game yang dirilis Tencent adalah League of Legends, Arena of Valor, dan PUBG. Sementara itu, game yang diproduksi Garena misalnya Call of Duty.

Ekspansi perusahaan yang sudah melantai di bursa AS ini di Indonesia dimulai dengan Shopee dan Garena. Namun, kini jangkauannya makin meluas setelah merambah bisnis dompet digital dan perbankan.

Langkah Monetary Authority of Singapore (MAS) menyetujui proposal Sea untuk menjadi bank digital di Singapura pada akhir 2020, sepertinya menjadi penegas bagi perusahaan itu untuk masuk ke sektor yang sama di Indonesia.

Saat ini, Sea—yang dipimpin CEO Forrest Li—sedang mengembangkan bisnis pembayaran digital bernama ShopeePay dan perbankan di Indonesia, lewat akuisisi PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE). Transaksi ini disebut sudah rampung dilakukan pada awal 2020, dan bank tersebut kini sudah berganti nama menjadi SeaBank.

Akuisisi dilakukan melalui PT Danadipa Artha Indonesia, yang membeli saham milik Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI), dan PT Koin Investama Nusantara.

Berdasarkan catatan Bisnis per Januari 2021, Danadipa memiliki 94,95 persen saham Bank BKE, sedangkan 5,05 persen sisanya dimiliki Koin Investama. Saat itu, sumber Bisnis membisikan bahwa Koin Investama sebenarnya pemilik Danadipa.“Koin Investama perusahaan patungan antara Martua Sitorus dan Sea Group. Koin Investama yang membeli saham Danadipa,” ujarnya.

Pada 2020, Forbes World's Billionaires menobatkan Martua Sitorus sebagai orang terkaya ke-12 di Indonesia. Pendiri Wilmar Group bersama Kuok Khoon Hong itu berada di urutan ke-1.580 orang terkaya dunia, dengan harta senilai US$2 miliar.

Namun, Bank BKE digadang-gadang bukanlah satu-satunya bank yang bakal dicaplok oleh Sea. PT Bank Aladin Tbk. (BANK), yang sebelumnya bernama Bank Net Syariah, juga disebut-sebut diincar untuk diakuisisi oleh Sea untuk memperbesar bisnis bank digitalnya di Indonesia.

Ada pula nama PT Bank Bumi Arta Tbk. (BNBA) dan PT Bank Capital Tbk. (BACA). Namun, belum ada kepastian mengenai hal ini.

Yang jelas, sesuai diskresi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), investor berlatar belakang non lembaga keuangan yang ingin menjadi pengendali di sebuah bank di Indonesia mesti membeli dua bank dan melebur keduanya menjadi entitas tunggal.

Pengembangan bisnis bank oleh Sea bakal berhadapan langsung dengan Bank Jago, yang sebagian sahamnya digenggam oleh PT Dompet Karya Anak Bangsa, pemilik brand GoPay. Adapun GoPay merupakan platform pembayaran dan dompet digital milik Gojek.

Jadi, selain SeaBank yang bakal bersaing secara 'internal' dengan Bank Jago, ShopeePay pun berkompetisi dengan GoPay.

Sebenarnya, di negara asalnya, Tencent juga punya platform fintech sendiri seperti WeChat Pay dan QQ Wallet. Layanan WeChat Pay sudah tersedia pula di Hong Kong dan Malaysia.

Di Indonesia, WeChat Pay sudah mendapat izin operasional dari Bank Indonesia (BI) sejak 1 Januari 2020. Izin diperoleh setelah aplikasi tersebut menggandeng Bank CIMB Niaga untuk menjadi acquirer.

Adapun ShopeePay diklaim sudah berhasil menduduki posisi pertama jumlah pengguna e-wallet pada Maret 2021, didukung oleh besarnya pengguna dan transaksi Shopee. Padahal, aplikasi ini baru diluncurkan pada kuartal terakhir 2019, jauh di belakang para kompetitornya.

Hasil survei Snapcart selama kuartal I/2021 menyebutkan platform tersebut menjadi dompet digital yang paling banyak digunakan dengan porsi 76 persen pengguna. Disusul oleh GoPay dengan 57 persen, OVO 54 persen, DANA 49 persen, dan LinkAja 21 persen.

Secara keseluruhan, ShopeePay mengambil pangsa pasar lebih dari 38 persen transaksi dompet digital di Indonesia, baik online maupun offline. Di posisi berikutnya adalah OVO dan GoPay dengan 19 persen, DANA 17 persen, dan LinkAja 17 persen.

Meski terlihat lebih ramping ketimbang struktur ekspansi perusahaan teknologi lainnya, tetapi jangan lupa bahwa Sea merupakan bagian dari ekosistem Tencent. Selain dapat memanfaatkan jejaring Tencent di startup lain seperti Traveloka misalnya, Sea juga bisa menggunakan data center Tencent yang baru dibuka di Indonesia.

Kehadiran Internet Data Center (IDC) milik Tencent Cloud ini bisa jadi membantu Sea mengintegrasikan layanannya di Indonesia maupun Asia Tenggara dengan lebih efisien.

2. Gojek

Tencent juga tercatat sebagai salah satu investor di Gojek. Pada 2017, perusahaan yang dipimpin Ma Huateng itu menyuntik dana antara US$100 juta-US$150 juta di unikorn yang didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michelangelo Moran tersebut.

Dengan demikian, melalui Gojek, Tencent dapat memanfaatkan ekosistem yang sudah ada seperti GoPay serta Bank Jago. Perlu diingat, saat ini, Gojek menguasai 21,4 persen saham Bank Jago, lewat PT Dompet Karya Anak Bangsa (DOKAB)—yang mengoperasikan GoPay.

Tak hanya itu, Gojek juga menjadi pemegang saham minoritas perusahaan taksi Blue Bird. Pada awal 2020, Gojek membeli 4,33 persen saham perusahaan yang dijalankan oleh Keluarga Djokosoetono itu dengan nilai lebih dari Rp411,87 miliar.

Namun, kolaborasi yang paling menarik perhatian masyarakat memang masuknya Gojek ke Bank Jago. Seperti diketahui, Bank Jago disokong oleh Northstar Group dan GIC.

Jumlah mitra pengemudi Gojek ditaksir mencapai 2,5 juta orang. Gojek juga bermitra dengan lebih dari 400.000 merchant GoFood yang sebagian besar memulai usaha rumahan dan usaha kecil.

Sementara itu, berdasarkan riset iPrice, pada Februari 2019 saja, transaksi GoPay mencapai US$6,3 miliar atau sekitar Rp88 triliun. Nilai ini bisa jadi membengkak sejalan dengan meningkatnya transaksi pembayaran via dompet digital setelah pandemi Covid-19 mendera.

Jika dilihat lebih jauh, Northstar pernah ikut serta dalam salah satu ronde pendanaan Gojek pada 4 Agustus 2016, dengan nilai US$550 juta. Kemudian, pada 11 Agustus 2020, perusahaan yang digawangi pengusaha Patrick Walujo ini menyuntik dana US$15 juta untuk eFishery.

eFishery adalah startup yang bergerak di bidang agribisnis, utamanya pertanian dan budidaya perikanan. Pada Januari 2021, Aldi Haryopratomo mundur dari posisinya sebagai CEO GoPay dan beralih menjadi komisaris di eFishery.

Adapun investasi GIC di Indonesia tak hanya dilakukan di Bank Jago, tetapi juga di perusahaan rintisan. Salah satunya adalah Bukalapak. Pada 14 April 2021, GIC turut menyuntik dana senilai US$234 juta ke e-commerce lokal tersebut, bersama dengan Emtek dan Microsoft.

Sebagai super apps di Indonesia, Gojek sempat dikabarkan bakal merger dengan Grab. Isu ini terakhir diperbincangkan pada akhir tahun lalu, tetapi kemudian dibantah dan berhenti dengan sendirinya meskipun rumornya, Masa sudah ngebet aksi tersebut terealisasi.

Penyebab batalnya rencana ambisius ini disebut-sebut karena ego kedua perusahaan cukup besar sehingga tidak tercapai titik temu. Petinggi masing-masing startup itu dikabarkan tak mencapai kesepakatan terkait porsi kepemilikan dan susunan manajemen entitas baru nantinya.

Tapi, tak butuh waktu lama bagi Gojek untuk menjaring peminang baru. Tak sampai sebulan, langsung beredar kabar lain yang tak kalah mengejutkan: Gojek akan merger dengan Tokopedia.

Valuasi gabungan entitas hasil merger ini digadang-gadang mencapai US$40 miliar, atau sekitar Rp560 triliun.

Selain merger, entitas gabungan kedua perusahaan yang disebut-sebut bernama GoTo itu juga berniat melakukan dual listing, alias melantai di dua bursa sekaligus, tepatnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan bursa AS. Untuk memuluskan rencana listing di bursa AS, SPAC menjadi opsi yang kemungkinan bakal diambil.

Dengan mengambil alih SPAC yang sudah listing, perusahaan yang ingin melakukan Initial Public Offering (IPO) tidak perlu pusing mengurus segala macam persyaratan untuk bisa go public. Kabarnya, Bridgetown Holdings, yang didirikan miliuner Hong Kong Richard Li dan sosok kenamaan di dunia teknologi, Peter Thiel, akan dipilih oleh kongsian Gojek-Tokopedia.

Duo Li-Thiel telah memiliki dua SPAC dengan Bridgetown dan membawanya listing di bursa AS. Mengutip laporan Bloomberg pada pertengahan Februari 2021, Li dan Thiel sudah mengumpulkan dana sekitar US$900 juta dari dua SPAC mereka.

SPAC pertama, yang disebut-sebut sedang menjalin pembicaraan dengan Tokopedia, mampu meraup US$600 juta setelah listing pada Oktober 2020. Sementara itu, Bridgetown 2 Holdings Ltd. mulai diperdagangkan sahamnya pada Februari 2021, dengan memperoleh dana segar hampir US$300 juta.

Bridgetown kedua ini dikabarkan sedang melakukan pembahasan dengan Traveloka, yang juga berencana melakukan dual listing di Indonesia dan AS.

Jika rencana besar merger dengan Tokopedia diresmikan, bukan hanya ekosistem Gojek yang makin besar, tetapi Tencent pun pasti akan menikmati manfaat lebih untuk jejaring bisnisnya.

 

3. JD.Com

Selain Shopee, e-commerce yang di dalamnya juga mengalir dana dari Tencent adalah JD.com, yang di Indonesia beroperasi lewat JD.id.

Jika ditarik lebih lanjut, JD.com ikut menjadi investor di Traveloka untuk beberapa kali ronde pendanaan, setidaknya pada 2017 dan 2019. JD.com juga sempat ikut serta dalam ronde pendanaan Gojek pada 2017, dengan nilai sekitar US$100 juta.

Menariknya, mengacu ke data Crunchbase, Gojek juga menjadi lead investor untuk JD.id dalam ronde pendanaan pada 3 Februari 2019. Namun, tidak disebutkan berapa besaran dana yang diperoleh JD.id saat itu.

***

Itu tadi potret persaingan SoftBank dengan Tencent di Indonesia. Rivalitas mereka di Tanah Air seperti Perang Bubat pada abad ke-13. Perang Bubat adalah perang besar antara kerajaan Majapahit era Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada melawan Kerajaan Sunda di bawah kepemimpinan Prabu Linggabuana.

Rivalitas dua kerajaan semula akan berujung damai. Dengan langkah diplomasi Hayam Wuruk mempersunting putri Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi. Namun, ambisi Gajah Mada menaklukan kerajaan Galuh membuat Perang Bubat terjadi.

Sempat ada jalan damai dengan usulan merger Grab dengan Gojek. Namun, keinginan Masa tidak jadi kenyataan. Meski ada irisan di merger Tokopedia dan Gojek, tetapi persaingan mereka masih terjadi di sejumlah perusahaan teknologi lain. Lalu bagaimana akhir dari perang Bubat Masayoshi dengan Ma Huateng?

Penulis : Annisa Margrit
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Kartini & Hikayat Perempuan "Penakluk" Nusantara

Next

Karamnya Nanggala-402 dan Anggaran Cekak Negara

back-to-top
To top