bisnis-logo

Stories

Peran Penting P2P Lending Akselerasi Inklusi Keuangan

P2P lending menjadi salah satu inovasi yang memudahkan akses pendanaan masyarakat unbanked dan harapan pendorong sektor UMKM. Namun, di tengah perkembangan pesat P2P lending, muncul pinjol ilegal yang memberikan persepsi buruk ke industri ini.

30 Desember 2021

A+
A-

"Prosesnya cepat, suku bunga juga normal sehingga sangat membantu untuk kebutuhan yang urgent."

Begitu cerita Josua, satu nasabah atau borrower platform P2P lending, berbagi pengalamannya dalam mengakses pinjaman yang digunakan untuk mendanai renovasi rumah. Karena dana tabungan yang dimiliki digunakan untuk keperluan lain, dia pun memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke salah satu platform P2P lending.

Josua menyebutkan dia mengetahui adanya fasilitas pembiayaan di platform P2P lending dari electronic billboard yang ditemuinya di jalan.

Pengalaman serupa juga disampaikan oleh Gendhis, seorang pekerja swasta di Semarang. Menurutnya, dia sangat terbantu dengan pinjaman dari P2P lending karena proses yang mudah dan cepat. 

Gendhis mengaku mengajukan pinjaman melalui P2P lending untuk membeli handphone yang sangat dibutuhkan untuk bekerja. "Aku awalnya coba-coba saja, tetapi kaget ternyata gampang prosesnya dan cepat cair," jelasnya.

Kemudahan dalam mengakses pembiayaan merupakan salah satu manfaat dari inovasi di sektor keuangan berupa teknologi finansial atau financial technology (fintech).

Dikutip dari situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ojk.go.id, fintech merupakan salah satu inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk fintech biasanya berupa suatu sistem yang dibangun untuk menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik.

Fintech di Indonesia ada beberapa jenis, di antaranya peer-to-peer (P2P) lending atau yang akrab disebut pinjaman online, crowdfunding, microfinancing, market comparison, dan digital payment system.

Dari kelima jenis fintech tersebut, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan P2P lending atau pinjaman online. Hal ini disebabkan karakteristik fintech ini yang bertujuan membantu masyarakat yang membutuhkan akses keuangan untuk memenuhi kebutuhan.

Melalui P2P lending, masyarakat dapat meminjam uang dengan lebih mudah untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanpa harus melewati proses yang panjang dan berbelit-belit, alias lebih mudah dibandingkan dengan meminjam dana di perbankan konvensional.

Saat ini industri P2P lending terus berkembang, yang terlihat dari jumlah penyaluran dana oleh P2P lending. Data dari OJK mencatat akumulasi penyaluran pinjaman P2P lending sejak industri berdiri pada 2016 hingga September 2021 telah mencapai Rp262,9 triliun dengan melibatkan 203,3 juta lender dan 499,23 juta borrower yang melakukan transaksi.

Sementara itu, berdasarkan data OJK mengenai jumlah penyaluran pinjaman fintech lending yang diterima borrower periode Januari-September 2021 telah mencapai Rp115,72 triliun.

Jumlah penyelenggara P2P lending per Oktober 2021 tercatat sebanyak 104 P2P lending yang terdaftar dan berizin. Jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis fintech lainnya, misalnya saja securities crowdfunding yang hanya sebanyak 7 perusahaan dan 81 perusahaan fintech di klaster yang belum mendapatkan aturan khusus atau masih termasuk ke dalam inovasi keuangan digital (IKD).

Kehadiran fintech diharapkan dapat bermanfaat untuk mendorong percepatan inklusi keuangan di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) yang juga merupakan mantan Menteri Kominfo, Rudiantara.

“Inklusi keuangan artinya memastikan bahwa masyarakat atau orang dewasa di Indonesia memiliki akses kepada layanan keuangan, apakah itu saving, lending atau pinjaman, maupun investasi,” ujarnya pada Workshop Aftech “Fintech for Faster Economic Recovery”, Jumat (19/11/2021).

Tidak hanya itu, Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara, pernah menyampaikan bahwa P2P lending memiliki potensi yang lebih besar dengan mengoptimalkan peran di usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti memanfaatkan data transaksi UMKM yang tercatat melalui QRIS sebagai sumber informasi penting untuk alternative credit scoring, di mana saat ini terdapat sekitar 6 juta merchant QRIS yang mayoritas adalah UMKM.

“Kuncinya adalah sinergi holistik dengan seluruh pemangku kepentingan guna memperkecil hambatan akses kredit produktif kepada UMKM. Namun, kami mencatat P2P lending juga harus meningkatkan kehati-hatian dengan memiliki sistem manajemen risiko dan compliance yang baik, serta mengutamakan perlindungan konsumen dan dana investor,” kata Mirza.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pun menyebut ekosistem digital untuk pelaku UMKM yang dibangun oleh para pemain fintech harapannya mampu membangkitkan ekonomi nasional dari bawah.

Dari sektor pembiayaan atau penyedia permodalan alternatif UMKM, pemerintah berharap para pelaku meneruskan perannya. Sebagai contoh, Airlangga menyebut akumulasi penyaluran pinjaman P2P lending yang telah menyentuh Rp262,9 triliun terbilang cepat dan setara dengan anggaran kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp285 triliun pada tahun ini. 

"Fintech diharapkan mendorong partisipasi UMKM ke ekosistem digital dan memudahkan mereka mengakses sektor pembiayaan. Karena dari semua UMKM kita, baru 24,9 persen yang memanfaatkan platform digital. Fintech bisa mengambil peran sebagai penyedia alternatif sumber pembiayaan dan segala jasa keuangan yang mempermudah proses bisnis mereka," ujarnya.

Menjamurnya Pinjol Ilegal

Perkembangan pesat serta peran P2P lending bagi masyarakat maupun perekonomian mendapatkan tantangan dengan kemunculan pinjol illegal. Pasalnya, banyak masyarakat yang terjebak dengan bunga tinggi serta mendapatkan teror dan ancaman saat telat membayar cicilan.

Tak sedikit pula diberitakan terdapat nasabah pinjol illegal yang akhirnya memilih mengakhiri hidup karena tidak kuat menahan teror dari para penagih pinjol illegal. Hal ini pun menimbulkan persepsi negatif terhadap industri P2P lending.

Masalah tersebut ikut menjadi perhatian Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sehingga meminta jajarannya untuk segera mengatasi persoalan pinjol illegal yang semakin meresahkan dan memberikan kerugian bagi masyarakat, salah satunya memerintahkan untuk menghentikan sementara atau moratorium izin pinjol baru.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengakui keberadaan pinjol illegal sebagai sebuah tantangan yang harus ditangani. Pinjol ilegal, imbuhnya, banyak menjebak masyarakat dengan bunga pinjaman yang tinggi serta cara penagihan yang melanggar aturan.

"Ini semua tantangan kita bersama. Kalau tidak terdaftar maka harus ditutup, sehingga kami dan pak Jhonny Plate [Menteri Komunikasi dan Informatika] yang mempunyai kewenangan dalam teknologi informasi sudah 3.000 lebih [pinjol ilegal] kita tutup yang tidak terdaftar," ungkap Wimboh.

Terhadap perusahaan pinjol ilegal, dia memastikan pemerintah akan menindak tegas secara hukum dengan memberikan sanksi. “Kita bersama Kapolri, Kementerian Kominfo, Gubernur Bank Indonesia, dan juga Menteri UMKM telah mempunyai perjanjian bersama, surat keputusan bersama untuk memberantas semua pinjol ilegal,” ungkapnya.

Dia pun mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan pinjaman online di perusahaan yang resmi terdaftar di OJK.

Salah satu platform P2P lending yang memiliki izin dari OJK yaitu AdaKami yang dioperasikan oleh PT Pembiayaan Digital Indonesia, sebuah perusahaan berbadan hukum Indonesia yang berizin dan tunduk kepada ketentuan yang berlaku di bawah pengawasan OJK.

Dengan statusnya sebagai P2P lending berizin OJK, tentunya AdaKami merupakan platform yang memiliki kredibilitas. Pengajuan pinjaman pun mudah, cepat, dan aman dengan bunga yang sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh OJK. 

Belum lama ini, AdaKami juga menjalin kerja sama pendanaan dengan PT Bank Jago Tbk. (ARTO) dengan nilai kerja sama hingga Rp100 miliar.

Direktur Utama Adakami, Bernardino Moningka Vega, Jr. mengungkapkan sinergi dengan Bank Jago merupakan upaya meningkatkan likuiditas AdaKami untuk mampu memperluas akses pinjaman ke segmen ritel, mass market, serta pelaku usaha kecil menengah.

Sepanjang tahun berjalan hingga bulan September 2021, AdaKami mencatatkan total akumulasi pinjaman senilai Rp6 triliun, sedangkan total akumulasi pinjaman sejak berdiri yaitu senilai Rp8,49 triliun. Selain itu, total outstanding pinjaman AdaKami senilai Rp1,41 triliun.

Jumlah total peminjam perorangan tercatat sebanyak lebih dari 2 juta user dan jumlah transaksi aktif hampir 1 juta  transaksi.

Pemangkasan Bunga P2P Lending Resmi

Sementara itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sepakat untuk menurunkan sementara batas atas tingkat biaya pinjaman P2P lending hingga 50 persen. Biaya pinjaman akan diturunkan dari maksimal 0,8 persen per hari menjadi maksimal 0,4 persen per hari.

Ketua Umum AFPI, Adrian Gunadi, menjelaskan keputusan ini diambil sebagai salah satu upaya asosiasi dalam membantu pemberantasan pinjol illegal.

"Kami sudah melakukan review dan sepakat untuk menurunkan batas atas maksimal pinjaman bunga sampai kurang lebih 50 persen. Ini sebagai salah satu upaya pinjaman atau fintech lending ini bisa terjangkau dengan skala ekonomis yang lebih murah, sehingga masyarakat bisa benar-benar membedakan antara yang ilegal dengan yang resmi," ujar Adrian dalam media gathering virtual, Jumat (22/10/2021).

Sekretaris Jenderal AFPI, Sunu Widyatmoko menambahkan, penurunan biaya pinjaman ini hanya berlaku sementara selama 1 bulan dan nantinya akan dikaji lagi. Hal ini mempertimbangkan efek dari penurunan biaya pinjaman akan cukup signifikan terhadap pelaku industri.

"Efek penurunan tersebut, anggota kami tentu akan memilih para peminjam yang lebih kurang berisiko sehingga tingkat pencairan mungkin tidak setinggi sebelumnya. Pencapaian jumlah yang dapat diberikan pinjaman mungkin tidak sebesar sebelumnya karena upaya menyeimbangkan antara risiko dan return harus ditanggung oleh pemberi pinjaman," jelas Sunu.

Menurutnya, keputusan untuk menurunkan biaya pinjaman merupakan keputusan yang tidak mudah bagi pelaku industri karena pelaku industri harus melakukan penyesuaian produk dan manajemen risikonya.

Oleh karena itu, AFPI mengharapkan dukungan dari para pemangku kepentingan dan regulator. Dukungan yang paling mendesak adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. RUU ini dinilai menjadi kunci agar penyedia platform P2P lending dapat melakukan analisa risiko peminjam lebih akurat.

Dengan penurunan risiko penyaluran pinjaman, tentunya akan turut mengurangi bunga pinjaman yang dikenakan. Sejalan dengan upaya penurunan biaya pinjaman ini, AFPI juga berharap industri pendukung P2P lending juga dapat memberikan keringanan dari sisi biaya layanan transaksi.

Selain itu, AFPI berharap dalam 1 bulan ke depan ini, para penegak hukum dapat memproses dan memberikan efek jera kepada seluruh pelaku pinjol ilegal beserta sektor pendukung yang melakukan kerja sama.

Pinjol ilegal diharapkan dapat diberantas secara tuntas dalam waktu dekat.  "Keputusan baru hari ini. Tentu saja akan perlu waktu efektif berlakunya karena sebagai platform elektronik akan butuh perubahan dari sisi teknis secara digital dan teknis informasinya, serta SOP. Kami akan beri waktu ke anggota kami," tutur Sunu.

Dengan segala upaya dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, regulator, hingga pelaku industri P2P lending dalam memberantas pinjol ilegal, diharapkan peran industri ini ikut mendongkrak secara optimal inklusi keuangan serta pertumbuhan UMKM di Indonesia.

Penulis : Annisa Sulistyo Rini
Editor : Annisa Sulistyo Rini
Previous

Mesin Ekonomi Menyala, Perbankan Tebar Jala

back-to-top
To top