bisnis-logo

Stories

Penghiliran Industri di Persimpangan Jalan

Presiden Joko Widodo berambisi untuk melakukan penghiliran industri. Namun, selama pemerintahannya, hilirisasi industri masih jalan di tempat khususnya gas. Padahal bahan baku gas alam melimpah di bumi Nusantara ini.

16 Juni 2022

A+
A-

Rahmad Pribadi mengaku galau dengan ketidakpastian suplai gas bagi kepentingan industri. Padahal, cadangan gas alam melimpah di Bumi Nusantara ini. Namun, alokasi gas untuk kebutuhan mesin-mesin pabrik tak jarang tiris.

Bos PT Pupuk Kaltim (PKT) itu tengah menggagas proyek mercusuar. Membangun pabrik senilai US$2,5 miliar atau sekitar Rp36,3 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS) di di Teluk Bintuni, Papua Barat; dan Bontang, Kaltim, dalam 5 tahun ke depan.

Di Bontang, PKT membangun pa­­­brik pupuk baru, dan pabrik soda ash yang saat ini kebutuhan lokal masih dipenuhi dari impor. Nilai proyek mencapai US$500 juta atau setara Rp7,25 triliun.

Di Teluk Bintuni, PKT membangun pabrik urea, amonia, dan metanol. Perusahaan pupuk terbesar di Asia Tenggara itu, sengaja membangun pabrik merapat ke sumber gas, Blok Tangguh, agar terdiskon biaya angkut.

Konsep ini mirip dengan pembangunan PKT Bontang (1977) yang mendekat ke sumber gas, Badak NGL. Namun, pasokan gas di Lapangan Badak, yang beroperasi sejak 1974, kini menipis. Hanya menyisakan 1-2 train dari total 8 train untuk memproses gas menjadi LNG.

Itu pun, pasokan gas disuplai dari berbagai lapangan di Indonesia. Badak NGL pun kehilangan konsorsium pembeli, Western Buyer (WBX). Meskipun mendapatkan pengganti, tidak sebesar WBX yang komitmen sejak kilang itu berdiri.

Kegalauan Rahmad cukup beralasan. Dengan investasi jumbo di Bintuni, bila tak ada jaminan pasokan gas, bakal berpengaruh terhadap hajat hidup mesin-mesin pabrik dalam memproduksi pupuk.

Apalagi, proyek Tangguh yang menuju ke train ketiga ini, hasilnya mayoritas dikapalkan ke luar negeri. Sekitar 40% yang dialokasikan untuk pasar domestik.

Pada pabrik soda ash yang tengah dibangun, PKT mendapatkan kepastian pasokan gas selama 13 tahun. Idealnya, industri tersebut mendapatkan komitmen gas minimal 20 tahun. Rentang waktu itu untuk memastikan sebuah proyek layak dibiayai oleh perbankan.

Gas Alam Darah Industri Manufaktur

Gas alam adalah darah bagi industri manufaktur. Mulai dari industri pupuk, keramik, kaca, dan lainnya. Tidak ada gas, industri tersebut kolaps. Contoh nyata adalah nasib PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).

PIM sempat mati suri selama 10 tahun, karena tidak ada pasokan gas dari Exxon Mobil. Perusahaan raksasa migas dari negeri Paman Sam itu berhenti beroperasi di Aceh karena sumber gas alam telah habis.

Tahun lalu, kabar baik berembus. Pemerintah menjanjikan pasokan gas untuk PIM. Mesin yang ‘tertidur’ selama satu dekade itu mulai dipanaskan. Pemanasan mesin sendiri membutuhkan waktu setahun. Tahun ini pabrik akan mulai memproduksi pupuk.

Peristiwa lebih buruk dialami AAF. Pasalnya, lebih awal setop produksi. Perusahaan patungan antarnegara Asean itu berhenti memproduksi pupuk pada 2003, setelah 19 tahun beroperasi di Bumi Serambi Makkah.

Aset AAF pun diambil alih PIM pada 2018. Manajemen PIM sempat mengungkapkan bahwa akan menghidupkan pabrik bekas milik AAF tersebut bila mendapatkan kepastian soal gas.

Satu dekade lalu, krisis gas membuat sejumlah pabrik gulung tikar. Hal itu disebabkan oleh lonjakan harga gas.

Baca di sini: Krisis Gas, 3 Perusahaan di Sumut Siap-siap Tutup

Setelah itu, pemerintah membuat kebijakan harga gas khusus buat industri. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Permen ESDM No. /2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri ada tujuh sektor yang menerima harga gas US$6 per MMBTU.

Ketujuh industri itu, pabrik pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Namun, kebijakan satu harga ini dinilai masih belum optimal, karena masalah yang dihadapi para pelaku industri soal pasokan. Sejumlah kalangan menilai stabilitas pasokan gas industri lebih penting daripada penetapan harga lebih murah.

Apalagi pemerintah akan menambah kelompok industri yang menerima gas satu harga menjadi 10 sektor usaha. Masalah defisit pasokan pun berisiko melebar. Dengan tujuh industri saja keteteran, apalagi 10 industri.

Penghiliran Industri Terbengkalai

Krisis moneter 1997—1998 tak hanya mengoyak sektor keuangan. Penghiliran industri kimia terbengkalai. Setelah 24 tahun tsunami ekonomi menyapu semua lini, belum ada tanda kebangkitan dari pengembangan industri kimia.

Hal itu ditandai dengan kebutuhan bahan baku industri kimia yang masih terus impor. Sebut saja soda ash atau abu soda. Bahan baku pembuatan kaca, sabun, deterjen, kertas hingga tekstil ini, 100% masih mengandalkan impor.

Soda ash adalah produk turunan dari gas alam setelah diproses LNG hingga menjadi amonia. Saat diolah menjadi amonia, asap dari proses pengolahan itu saja dapat digunakan untuk memproduksi soda ash. Tentu ada percampuran dengan komponen lain, seperti garam.

Padahal, Indonesia menjadi salah satu produsen amonia terbesar di kawasan. Bahkan, masuk lima besar dunia. Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, produksi amonia Indonesia lebih dari 6 juta ton pada 2021. Hasil produksi itu mayoritas diekspor.

Amonia kebanyakan dimanfaatkan untuk pupuk, selain sebagai bahan pembuat plastik, peledak, tekstil, pestisida, pewarna, dan bahan berunsur kimia lainnya.

Sementara itu, permintaan impor soda ash rata-rata di atas 1 juta ton. Impor senyawa kimia dengan kode Na2CO3 itu sempat turun di bawah 1 juta ton pada periode 2019 dan 2020.

Saat ini, dua pabrik soda ash tengah dibangun anak usaha perusahaan pelat merah, PT Pupuk Indonesia (Persero). Dua sister company, Petrokimia Gresik dan Pupuk Kaltim, tengah berpacu membangun pabrik soda abu.

Petrokimia Gresik membangun pabrik di Gresik. Menggandeng PT Garam (Persero) dan Unilever Asia Pte. Ltd. Pada kongsi ini, PT Garam sebagai penyedia NaCl. Unilever jadi pembeli siaga soda ash. Pabrik berkapasitas 300.000 ton itu ditargetkan beroperasi 2024.

Adapun proyek soda ash Pupuk Kaltim ditargetkan beroperasi 2025 dengan kapasitas produksi 300.000 ton. Meskipun kelak dua pabrik itu beroperasi, kebutuhan nasional masih defisit, sekitar 400.000 ton. Dengan perhitungan kebutuhan di dalam negeri masih 1 juta ton.

Produk turunan gas alam lain yang masih mengandalkan impor adalah asam asetat (acetic acid) atau bahan pembuat cuka (impor 100%), metanol atau bahan baku alkohol/spiritus (69%), dan polietilena atau bahan baku plastik (53%).

Kebutuhan impor etanol rata-rata mencapai 700.000-800.000 ton per tahun, sedangkan polietilena mencapai 500.000-600.000 per tahun. Masih banyak produk turunan senyawa gas yang didatangkan dari luar negeri.

Padahal, apabila gas alam diolah dalam satu level saja, misal menjadi amonia, nilai tambahnya bakal melesat tiga kali lipat.

Contohnya, dengan penjualan LNG sebanyak 100 MMscfd atau setara 10 kargo kapal, nilainya sekitar US$357 juta. Dengan asumsi harga LNG setara US$10,11 per MMBtu data per Mei 2022.

Apabila gas alam itu diolah menjadi amonia dan urea mampu mencapai 825.000 ton dan 1,12 juta ton. Dengan harga amonia US$970 per ton dan urea US$764 ton, nilai penjualan produk itu setara dengan US$1,04 miliar.

Nilai yang menggiurkan dibandingkan dengan menjual dalam bentuk LNG. Apalagi, bila produk itu diolah dalam produk turunan lebih lanjut.

Mimpi Penghiliran Jokowi

Presiden Joko Widodo sangat konsen dengan penghiliran industri. Pada saat dilantik presiden periode kedua, Jokowi memasukkan rencana transformasi ekonomi dari ekspor bahan mentah menjadi industri bernilai tambah dari lima program prioritas.

Program penghiliran memang digeber. Namun, peningkatan nilai tambah masih fokus pada bahan tambang, khususnya nikel dan batu bara. Karpet merah digelar buat investor smelter nikel hingga kendaraan listrik, dan gasifikasi batu bara.

Langkah tersebut tentu positif. Akan tetapi, ada catatan isu lingkungan pada dua komoditas tambang itu saat dikembangkan ke industri hilir. Mulai dari limbah baterai hingga pelepasan karbon cukup besar saat batu bara diproses gas.

Selain itu, keberpihakan pada sektor swasta tertentu sangat kentara pada proyek-proyek tersebut. Pasalnya, kue ekonomi tidak dirasakan merata pada banyak orang atau masyarakat miskin Nusantara.

Berbeda dengan penghiliran gas alam. Proyek ini setidaknya akan mendorong dua sektor penting, yakni industri kimia dan ketahanan pangan. Apalagi baru-baru ini, Presiden mengingatkan soal risiko kerawanan pangan akibat krisis dunia.

Oleh sebab itu, pasokan gas alam di dalam negeri menjadi penting untuk menjaga ketahanan pangan dan pengadaan bahan baku industri kimia nasional.

Perang Rusia-Ukraina menjadi pelajaran berharga ketika negara itu tidak dapat menjual produknya ke luar negeri. Saatnya mengejar ketertinggalan selama 2,5 dekade ini. Setidaknya, masih ada waktu untuk mewujudkan mimpi melalui kebijakan progresif, sebelum tutup buku 2024. 

Penulis : Hendri T. Asworo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Jejak Bisnis Berkelanjutan di Perusahaan Halo-halo dan Internet Indonesia

back-to-top
To top