bisnis-logo

Stories

Net Zero Emission: Intip Strategi Transisi dan Ketahanan Energi Pertamina

Terdapat tiga strategi jangka menengah yang dilakukan Pertamina untuk mendukung dan menggerakkan Net Zero Emission.

30 November 2022

A+
A-

Bisnis.com, JAKARTA – Transisi dan ketahanan energi harus berjalan beriringan untuk menjawab kebutuhan energi yang dinamis. Energi baru terbarukan menjadi tujuan yang niscaya untuk secara gradual menuju net zero emission.

Kebutuhan akan energi yang ramah lingkungan telah menjadi tuntutan sekaligus kewajiban. Hal itu terungkap dalam diskusi B20 dengan tema “Task Force Energy, Sustainability and Climate (TF ESC) Business 20 (B20) Indonesia” pada ajang G20 baru-baru ini.

Nicke Widyawati, Chair of Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20 (TF ESC-B20) menjelaskan bahwa proses keberlangsungan transisi energi haruslah terjadi, agar keberlanjutan tetap terjaga.

Hal itu diungkapkan Nicke pada diskusi "BloombergNEF (BNEF) Net Zero Summit" rangkaian dari B20, yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta The Asia Natural Gas and Energy Association (ANGEA).

Nicke menegaskan transisi energi membutuhkan waktu atau tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Pada proses transisi itu dibutuhkan teknologi, biaya dan sumber daya manusia yang mampu memenuhi standar kebutuhan energi baru terbarukan (EBT).

Pada saat bersamaan, kebutuhan akan energi terus meningkat sehingga proses transisi energi harus berjalan beriringan dengan ketahanan energi yang baik. Untuk itu dibutuhkan strategi untuk menjaga ketahanan energi guna menjawab kebutuhan saat ini sekaligus upaya memperbesar EBT untuk jangka menengah dan panjang.

“Ketika proses transisi terjadi permintaan akan kebutuhan energi turut meningkat, sehingga ketahanan energi skala besar tetap harus dijaga,” katanya.

 

Strategi Pertamina

Nicke Widyawati yang juga menjabat Direktur Utama PT Pertamina (Persero) menjelaskan berbagai strategi perusahaan pelat merah itu untuk menjawab tantangan keselarasan antara transisi dan kebutuhan energi.

Untuk mencapai aspirasi Net Zero Emission (NZE) sekaligus menjaga ketahanan energi di Indonesia, katanya, Pertamina telah menyusun strategi komprehensif yang disampaikan melalui dua pilar dan tiga implementasi menengah.

“Dua pilar yang disiapkan Pertamina ialah bergerak fokus mengenai dekarbonisasi kegiatan bisnis  dan pengembangan bisnis hijau energi terbarukan,” paparnya. 

Nicke melanjutkan Pertamina telah mengembangkan strategi untuk mendukung transisi energi dengan mengalokasikan biaya modal (capital expenditure) untuk energi rendah emisi dan pengembangan EBT. Terdapat tiga strategi jangka menengah untuk mendukung dan menggerakkan Net Zero Emission.

Pertama, mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah memenuhi standar nasional dan internasional.

Kedua, pelibatan pemangku kepentingan untuk mendukung penuh target dan komitmen NZE nasional. Tujuan ini didukung oleh strategi investasi jangka panjang dari Pertamina.

Ketiga, inisiatif bisnis keberlanjutan ramah lingkungan Pertamina akan difokuskan pada biofuels, sumber energi terbarukan, Sistem Penangkapan Karbon (CCS/CCUS), baterai serta mobil listrik, hidrogen, dan bisnis karbon sendiri.

“Kami telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan porsi Bisnis Hijau dalam bauran pendapatan Pertamina dari 5 persen pada tahun 2022 menjadi 13 persen pada tahun 2030,” papar Nicke saat menjelaskan detail mengenai porsi biaya modal untuk energi hijau.

Direktur Utama Pertama ini melanjutkan diperkirakan pendapatan dari bahan bakar fosil diperkirakan akan menurun secara dari 86 persen pada tahun 2022 menjadi 66 persen pada tahun 2040.

Tujuan dari optimisme alokasi modal tersebut telah dikoordinasikan dengan Pemerintah Indonesia, dan memastikan bahwa hal tersebut telah selaras dengan target bauran energi Indonesia untuk energi baru terbarukan.

Untuk mengimbangi pembiayaan, Pertamina juga telah meramu strategi investasi jangka panjang yang terdiri dari 14 persen capex untuk aksi bisnis energi hijau.

Selain itu, Pertamina terus melanjutkan investasi pada bahan bakar fosil dan petrokimia sebagai tulang punggung bisnis saat ini sebagai bentuk memastikan bahwa transisi energi tidak akan mengganggu ketahanan energi.

Selain strategi penyertaan modal, Pertamina juga berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk percepatan capaian target. Kolaborasi diperlukan, dalam menghadapi tantangan yang sama selama transisi energi, terutama dalam teknologi dan pembiayaan.

“Biaya teknologi masih lebih tinggi daripada bahan bakar fosil. Itu sebabnya, kami terbuka untuk kemitraan dan kolaborasi, untuk mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi,” jelas Nicke.

Upaya kolaborasi digencarkan lantaran saat ini penggunaan teknologi dalam EBT masih membutuhkan biaya mahal, sehingga harga jual kepada konsumen masih cukup tinggi. Guna menekan biaya operasional dan tantangan pembiayaan itu, opsi menarik investasi masuk sangat dibutuhkan.

“Dalam menekan biaya operasional tersebut, masalah pembiayaan, diharapkan akan lebih banyak menarik investasi masuk, baik internasional maupun domestik, guna meningkatkan mekanisme pembiayaan global mendukung proyek transisi energi dan dekarbonisasi,” jelasnya.

Penulis : Wahyu Arifin
Editor : Feni Freycinetia Fitriani
Previous

Tuah KTT G20 Bali di Tengah Ancaman Konflik Geopolitik dan Resesi

back-to-top
To top