bisnis-logo

Stories

Mesin Ekonomi Menyala, Perbankan Tebar Jala

Setelah diterpa badai pandemi, fungsi intermediasi perbankan mulai berlari pada tahun ini. Penyaluran kredit perbankan diprediksi semakin kencang pada tahun macan air, seiring dengan menggeliatnya aktivitas ekonomi.

23 Desember 2021

A+
A-

Kinerja perbankan tak luput dari ‘infeksi’ Covid-19 yang mulai mencuat pada kuartal I/2020 di Tanah Air. Sejak saat itu, penyaluran kredit perbankan merosot, sejalan dengan meredupnya mesin-mesin perekonomian, karena sepinya permintaan.

Hal itu terlihat dari statistik perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Maret 2020, pertumbuhan kredit bank masih tercatat 7,95 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Namun, efek wabah Covid-19 baru terasa pada April 2020, karena penyaluran kredit 'hanya' naik 5,73 persen yoy, melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Penyaluran kredit bank terus tertekan. Pada Oktober 2020 mulai mencatatkan minus sebesar -0,47 persen yoy. Kinerja negatif itu bertahan selama 7 bulan. Kredit mulai melaju positif pada pertengahan tahun ini. Tepatnya per Juni 2021 kredit bank terekam naik tipis 0,4 persen. Hingga jelang tutup tahun ini, kinerja intermediasi perbankan terus menguat hingga kembali ke level 4,41 persen (yoy) per November.

Distribusi kredit pun merata pada semua jenis penggunaan. Baik kredit modal kerja, kredit investasi maupun kredit konsumsi, yang masing-masing tumbuh sebesar 5,38 persen, 4,3 persen, dan 4,11 persen per November 2021. Kondisi itu diperkirakan semakin menguat pada tahun macan air, karena ditopang oleh peningkatan aktivitas ekonomi pada pengujung tahun ini.  

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan, peningkatan aktivitas ekonomi domestik pada kuartal IV/2021 diharapkan mendukung kinerja sektor riil dan fungsi intermediasi perbankan yang semakin menguat.

“Artinya, ini sudah bisa diduga bahwa year-to-date akan lebih tinggi lagi sampai dengan Desember dan kami perkirakan bisa sekitar 4,5 persen,” kata Wimboh dalam acara Bisnis Indonesia Business Challenge 2022, Rabu (15/12/2021).

Dari segmen debitur, Wimboh menjelaskan bahwa kredit kepada debitur UMKM mulai tumbuh positif, yaitu 3,04 persen yoy atau 3,35 persen ytd. Selain itu, kredit korporasi mengalami pertumbuhan positif 1,87 persen yoy dan 2,40 persen ytd.

“Pertumbuhan kredit ini didukung oleh penyaluran kredit bank persero [bank BUMN] yang jumlahnya 6,84 persen yoy dan 5,31 persen ytd, serta BPD yang jumlahnya sebesar 5,99 persen yoy dan 4,04 persen ytd,” jelasnya.

Dari sisi likuiditas, Wimboh menuturkan, likuiditas perbankan masih sangat memadai yang ditopang oleh pertumbuhan dana pihak ketiga DPK, yakni sebesar 9,44 persen yoy. Di mana, per 1 Desember 2021 mengalami pertumbuhan sebesar 9,98 persen ytd. Di sisi lain, pertumbuhan kredit hanya mencapai 3,24 persen yoy.

“Perkembangan sisi aktiva dan pasiva perbankan ini menunjukkan indikasi bahwa pemulihan konsumsi masyarakat seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat. Di samping itu juga didukung adanya DPK yang meningkat cukup besar,” tuturnya.

Penyaluran kredit pada 2022 sekitar 8 persen. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi tumbuh 4 persen-5 persen. 

Lebih lanjut, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo mengatakan peluang untuk memperkuat fungsi intermediasi datang dari sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dia melihat sektor UMKM memiliki ceruk pasar potensial karena banyak pelaku di dalamnya belum terjamah oleh layanan perbankan.

Kondisi tersebut lantas diincar perusahaan rintisan di bidang finansial teknologi (fintech). Perusahaan fintech memacu penyaluran kredit ke sektor UMKM, sehingga kontribusi perbankan semakin terkikis pada kredit wong cilik tersebut. Oleh karena itu, adanya kolaborasi antara bank dengan fintech dinilai penting dalam meningkatkan porsi penyaluran kredit UMKM.

OJK juga menyoroti kontribusi bank-bank asing yang berada di Indonesia dalam menyalurkan kredit UMKM. Apabila tidak memiliki infrastruktur, maka bank asing diharapkan dapat berkolaborasi dengan fintech untuk menyasar sektor UMKM.

“Saya minta bank-bank asing memberikan kontribusi dalam menyalurkan kredit ke UMKM. Jika tidak memiliki infrastruktur, bisa menggandeng fintech,” ujarnya pada acara Bisnis Indonesia Business Challenge 2022.

Menurut Slamet Edy, kolaborasi antara perbankan dengan fintech dipercaya dapat memenuhi target pemerintah yang mematok porsi pembiayaan ke sektor UMKM sebesar 30 persen secara agregat pada 2024.

Selain itu, secara simultan layanan kolaborasi itu dapat dinikmati oleh masyarakat dan suku bunga yang ditawarkan tidak terlampau tinggi karena didukung peran digitalisasi.

Kongsi Bank dengan Fintech

Ketua Bidang Operation, Technology, dan Regulatory Reporting Perbanas, Indra Utoyo sebelumnya mengatakan di era ekonomi kolaborasi, bank harus bergerak cepat memberikan value dengan merangkul mitra lain agar dapat memberikan solusi pada nasabah.

“Berkolaborasi tetapi berkompetisi ini menjadi hal biasa saja, termasuk bank dengan fintech, yang menurut saya lebih banyak kolaborasi ketimbang kompetisinya,” ujarnya.

Menurut Indra, para pelaku fintech merupakan para spesialis di bidang masing-masing, khususnya di sektor mikro. Untuk masuk ke dalam ekosistem tersebut, diperlukan kolaborasi antara bank dengan fintech dalam hal pembiayaan.

Kolaborasi antara perbankan dengan perusahaan finansial teknologi (fintech) dinilai mampu mengakselerasi penyaluran kredit ke masyarakat.

Kepala Ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menuturkan bahwa kehadiran POJK 12/2021 tentang Bank Umum dan POJK 13/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum akan menentukan kolaborasi tersebut.

“Ke depan ekosistem antara bank dan fintech menurut saya menjadi kunci untuk meningkatkan akses terhadap penyaluran kredit, juga memang pengawasan yang lebih intensif,” ujarnya dalam acara yang sama.

Sementara itu, PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) mencatatkan penyaluran pembiayaan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mencapai Rp37,33 triliun dengan rasio 22,93 persen hingga akhir September 2021. Adapun, penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang disalurkan perseroan senilai Rp7,48 triliun dari pagu yang diberikan oleh pemerintah Rp7,5 triliun.

“Ini adalah peran yang diberikan oleh Bank Syariah Indonesia dalam membantu pemulihan ekonomi pada 2021 dan 2020 yang lalu,” terang Direktur Utama BSI  Hery Gunardi, dalam cara tersebut.

Adapun penyaluran pembiayaan di sektor perdagangan besar dan eceran sebesar Rp14,72 triliun, konstruksi sebanyak Rp13,74 triliun, dan industri pengolahan sebesar Rp9,75 triliun.

Tak hanya itu, bank hasil penggabungan (merger) tiga bank syariah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu juga menyalurkan pembiayaan di sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan sebesar Rp8,62 triliun. Lalu, transportasi, pergudangan, dan komunikasi sebesar Rp4,64 triliun. Kemudian, jasa kesehatan sebesar Rp4,5 triliun serta sektor riil lain yang mencapai Rp21,73 triliun.

Selain menyalurkan pembiayaan pada sektor di atas, Hery mengatakan bahwa sebagai katalis dan berupaya untuk membantu pemulihan ekonomi nasional, BSI juga berperan untuk membantu penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Pada tahap pertama, BSI mendapatkan penempatan dana senilai Rp3 triliun dengan membantu merealisasi 2,8 kali atau Rp8,6 triliun dan diserap oleh 63.458 debitur. Adapun tahap kedua, BSI juga mendapat penjatahan dana senilai Rp3 triliun dengan membantu merealisasi sebanyak 1,5 kali atau Rp4,5 triliun dan diserap oleh 36.326 debitur.

“Mungkin karena Covid-19 sudah agak melandai, jadi penyerapannya tidak terlalu tinggi lagi dan debiturnya juga berkurang dibandingkan dengan tahap pertama,” ucapnya.

Stimulus Restrukturisasi Kredit

Sementara itu, OJK memberikan kebijakan stimulus dalam pemulihan ekonomi nasional, berupa restrukturisasi kredit, dan kebijakan lain yang telah digulirkan. Kebijakan restrukturisasi kredit akibat Covid-19 disebut berjalan efektif, seiring dengan melandainya kasus Covid-19 di Indonesia.

Kebijakan restrukturisasi kredit merupakan upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Kebijakan ini dapat melalui penurunan suku bunga kredit, perpanjangan waktu kredit, hingga penambahan fasilitas kredit.

Wimboh menjelaskan, stimulus restrukturisasi kredit dimaksudkan agar para nasabah tetap bisa menjalankan usahanya, meskipun pada saat ini masih ada beberapa nasabah yang memang belum pulih kembali. 

“Tapi tetap dalam kerangka restrukturisasi sehingga tidak digolongkan macet,” katanya.

Dia melihat perbankan sudah mulai giat memajukan penyaluran kredit dengan manajemen risiko yang lebih baik. Menurutnya, langkah ini tentu akan mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia, termasuk kredit-kredit yang direstrukurisasi.

Data menunjukkan, jumlah kredit yang direstrukturisasi dengan Peraturan OJK (POJK) No. 48/2020, sebanyak Rp714,01 triliun per Oktober 2021 yang mencakup 4,5 juta debitur. Sementara itu, restrukturisasi di perusahaan pembiayaan sebesar Rp216,22 triliun pada 5,19 juta kontrak.

“Kondisi ini menunjukkan implementasi kebijakan restrukturisasi Covid-19 berjalan efektif dalam memberikan ruang bagi pengusaha dan perbankan untuk bertahan dan siap untuk bangkit kembali,” pungkasnya.

Multifinance Terbantu Kredit Bank

Adapun di industri pembiayaan, Wimboh menyampaikan restrukturisasi kredit di perusahaan pembiayaan mencapai Rp216,22 triliun per Oktober 2021. Nilai tersebut merupakan restrukturisasi kredit kepada 5,19 juta kontrak. 

"Ini jadi perhatian kami. Mudah-mudahan dengan ekonomi yang tumbuh lebih baik, kredit-kredit yang direstrukturisasi ini akan membaik dan jumlahnya makin kecil," ujar Wimboh dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (9/12/2021).

Lebih lanjut, sejalan dengan peningkatan penyaluran kredit bank, OJK meyakini kinerja industri pembiayaan juga akan ikut membaik. Hingga Oktober 2021, piutang perusahaan pembiayaan tercatat masih terkontraksi 5,5 persen secara yoy.

Berdasarkan statistik OJK per Oktober 2021, total piutang pembiayaan neto mencapai Rp358,96 triliun, masih lebih rendah dibandingkan capaian per Oktober 2020 yang senilai Rp379,90 triliun.

"Ini akan terus mengalami perbaikan selama nanti kredit-kredit perbankan juga meningkat," jelasnya.

Meski demikian, non-performing financing (NPF) atau rasio kredit macet perusahaan pembiayaan masih terjaga di level 3,89 persen.

Adapun secara keseluruhan, Wimboh menegaskan sektor jasa keuangan sudah membaik dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, sektor jasa keuangan masih harus waspada terhadap sejumlah tantangan, mulai dari potensi munculnya varian baru Covid-19 hingga normalisasi kebijakan fiskal dan moneter di sejumlah negara maju.

"Sektor jasa keuangan Indonesia dalam kondisi tetap harus waspada dengan adanya varian baru Omicron dan inflasi di beberapa negara maju yang meningkat, serta adanya normalisasi kebijakan moneter dan fiskal di beberapa negara maju yang mungkin memberikan spillover ke negara kita," katanya.

Penulis : Azizah Nur Alfi
Editor : Annisa Sulistyo Rini
Previous

Bisnis 'Wabah' Para Konglomerat

back-to-top
To top