Stories
Bisnis sawit jadi sumber cuan sejumlah taipan Tanah Air. Namun, kelangkaan minyak goreng jadi masalah yang tak kunjung usai. Apakah kebijakan DMO sudah tepat?
17 Maret 2023
Indonesia adalah raja minyak sawit dunia. Bisa dibilang satu dunia tahu akan fakta ini. Sejak 17 tahun yang lalu, atau 2006, Indonesia mengalahkan tetangganya, Malaysia, dalam hal memproduksi crude palm oil (CPO).
Pada 2022 atau tahun ketiga pandemi Covid-19, produksi minyak sawit Indonesia merajai pasar dunia dengan capaian 77,22 juta metrik ton. Jauh dibandingkan dengan kompetitor utama, Malaysia. Negeri Jiran tersebut hanya memproduksi sebesar 18,45 juta ton sepanjang tahun lalu.
Jika digabung, produksi minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia mendominasi sekitar 85% produksi dunia. Dominasi Indonesia di pasar minyak sawit dunia pun menunjukkan betapa pentingnya komoditas tersebut bagi perekonomian domestik.
Kuatnya posisi Indonesia juga turut disokong oleh harga minyak sawit mentah yang tinggi. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute dalam kajiannya mencatat bahwa rata-rata harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) CIF Rotterdam mencapai US$1.343 per ton.
Tren harga CPO tinggi pada 2022 bukanlah tanpa musabab. Pecahnya perang Rusia-Ukraina, ditambah dengan blokade perdagangan Rusia oleh negara sekutu Amerika Serikat (AS), memicu gangguan rantai pasok komoditas sehingga harga minyak nabati meroket. Salah satunya minyak sawit.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor CPO 2022 tembus US$27,76 miliar atau naik 3,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, volume ekspor tercatat 25 juta ton atau turun tipis dari 2021 yakni 25,6 juta ton.
Tak ayal, sebagai pemegang tahta produsen minyak sawit terbesar dunia, naik turunnya komoditas tersebut beserta produk turunannya berdampak besar kepada masyarakat luas maupun ke segelintir kelompok, tidak lain yakni pengusaha sawit.
Kendati demikian, Indonesia mengalami periode gejolak yang cukup signifikan akibat komoditas tersebut pada tahun lalu. Salah satu produk turunan sawit, minyak goreng, mengalami kelangkaan di dalam negeri. Sampai saat ini pun, kelangkaan tersebut masih cukup terasa.
Huru-hara soal pasokan minyak goreng di dalam negeri akhirnya menjadi alasan pemerintah sempat melarang ekspor sawit pada tahun lalu. Tak lama kemudian, keran ekspor lalu dibuka kembali.
Kelangkaan minyak goreng mendorong pemerintah hingga aparat penegak hukum bergerak. Ada kecurigaan main kotor antara pihak-pihak pemangku kepentingan. Alhasil, sejumlah pihak terjerat pidana lantaran terlibat korupsi izin ekspor minyak goreng.
Masuk ke tahun kelinci air 2023. Pemerintah memutuskan untuk memperketat ekspor CPO sejak 1 Januari. Langkah tersebut didukung oleh petani dan pengusaha sawit, yang menilai pembatasan ekspor berdampak terbatas terhadap kinerja industri sawit.
Pembatasan ekspor bukanlah hujan di siang bolong. Huru-hara soal kelangkaan pasokan minyak goreng di dalam negeri disebut menjadi alasan langkah pemerintah itu. Di sisi lain, untuk memastikan keamanan stok dalam negeri, pemerintah akhirnya meluncurkan minyak goreng kemasan rakyat yang dinamakan Minyakita.
Harapannya, kebutuhan masyarakat terhadap minyak goreng terpenuhi dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter. Pada awal tahun ini juga, pemerintah mengatakan bakal mendongkrak suplai Minyakita dan minyak goreng curah dari 300.000 ton menjadi 450.000 ton selama Februari hingga April 2023.
Pada awal Februari 2023, langkah pemerintah semakin tegas untuk menjaga ketersediaan pasokan minyak goreng di dalam negeri. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan rencana penaikan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 50 persen hingga Idulfitri tahun ini.
Mantan Jenderal TNI itu mengungkapkan bahwa salah satu penyebab kenaikan harga minyak goreng adalah akibat berkurangnya pasokan DMO, terutama pasokan Minyakita. Tingginya hak ekspor yang dimiliki oleh para eksportir saat ini dinilai menjadi disinsentif untuk melakukan pasokan DMO di tengah perlambatan permintaan ekspor.
Adapun, rasio kuota hak ekspor CPO dan produk turunannya yang berlaku saat ini adalah enam kali dari DMO CPO dan/atau minyak goreng atau 1:6. Besaran rasio ini sebenarnya telah dipangkas dari ketentuan sebelumnya yang sebesar 1:8.
Seperti diketahui, apapun kebijakan mengenai sawit dan turunannya sedikit banyak akan memengaruhi industri tersebut. Mulai dari hulu hingga hilir. Kendati pengaruhnya diperkirakan tidak signifikan, langkah pemerintah dalam meregulasi sawit akan memiliki efek tertentu pada sejumlah pengusaha di bidang tersebut.
Di samping itu, bukan rahasia lagi bahwa beberapa orang terkaya di Tanah Air mengandalkan sawit sebagai sumber cuan. Pundi-pundi uang beberapa grup perusahaan besar berasal dari sawit.
Sejumlah nama-nama besar pengeruk cuan dari sawit bahkan setidaknya tercatat dalam 50 besar orang paling sugih di Indonesia. Beberapa di antaranya memiliki luas lahan kebun sawit hingga ratusan hektare.
Kekayaan para taipan bisnis ini mengalir hingga ke keturunan mereka pada generasi kedua hingga ketiga. Berikut nama-nama taipan di Indonesia yang memiliki usaha di sektor sawit:
1. Sinar Mas Group
Grup besar tersebut didirikan oleh Eka Tjipta Widjaja. Dia merupakan generasi pertama dari Keluarga Widjaja, yang mengendalikan gurita bisnis di sektor keuangan, telekomunikasi, infrastruktur, dan agribisnis. Salah satunya sawit mengenai Golden Agri Resources Pte Ltd. atau GAR.
Melantai di bursa efek Singapura sejak 1999, GAR beroperasi di 13 negara. GAR dipimpin oleh generasi kedua keluarga Widjaja yakni anak dari Eka Tjipta, Franky Oesman Widjaja. Perpanjangan tangan anak perusahaan Grup Sinar Mas itu di Indonesia tercatat melalui emiten sawit PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) atau SMART.
Produk minyak goreng kemasan milik Sinar Mas yang terkenal di pasaran yakni Filma. Selain itu, perusahaan memproduksi minyak merek lainnya seperti Mitra, Kunci Mas, dan Palmvita.
Melalui SMART, Sinar Mas menguasai sekitar 137.100 hektare (ha) lahan perkebunan sawit di Indonesia per 2021. Pada tahun yang sama, perusahaan tersebut menghasilkan produk sawit CPO dan kernel sawit sebanyak 700.000 ton, dan tandan buah segar (TBS) 2,42 juta ton.
Itu hanya SMART. Belum anak usaha dari GAR lainnya. Berdasarkan laporan tahunan GAR 2021, total luas lahan kebun sawit yang dimiliki GAR mencapai 536.013 ha di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Produktivitas dari GAR pada 2021 mencapai 2,96 juta ton CPO dan kernel.
Tak ayal, Keluarga Widjaja tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia nomor 3 versi Forbes 2022. Nilai kekayaan yang dimiliki keluarga pemilik Sinar Mas itu mencapai US$10,8 miliar.
2. Salim Group
Nama Salim terafiliasi dengan banyak perusahaan besar. Di Indonesia, grup bisnis keluarga itu memiliki sejumlah perusahaan terbuka yang bergerak di bidang makanan, agribisnis, perbankan, energi, hingga otomotif.
Perusahaan tersebut kini dinahkodai oleh Anthoni Salim. Salim Grup dulu merupakan perusahaan milik ayahnya, Sudono Salim, taipan yang dulu cukup dekat dengan Presiden Soeharto.
Nama Salim paling erat kaitannya dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF). Setengah dari saham INDF (50,07 persen) dimiliki oleh emiten di Singapura, First Pacific Investment Management Ltd., yang juga dipimpin oleh Anthoni.
Bisnis Salim melalui Indofood lalu menggurita ke berbagai sejumlah lini bisnis sawit lainnya. Misalnya, perusahaan produsen mie instan Indomie, Indomilk, dan Chitato yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP); PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP); serta PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP).
Untuk diketahui, SIMP merupakan perusahaan terbuka yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Indofood Agri Resources Ltd (72 persen). Beberapa merek minyak goreng terkenal produksi SIMP yaitu Bimoli, Delima, Palmia, maupun Simas.
Sebagai pemegang saham mayoritas ICBP, INDF tercatat memiliki lahan perkebunan sawit lebih dari 300.000 ha. Namun, angka tersebut bisa jadi lebih besar lantaran meengguritanya bisnis Salim Grup. Tercatat, LSIP memiliki kebun sawit seluas 114.111 ha, sedangkan SIMP memiliki lahan seluas 250.615 ha.
Menjalarnya bisnis sawit Anthoni Salim berhasil membuatnya masuk ke posisi orang terkaya ke-5 di Indonesia. Total kekayaannya mencapai US$7,5 miliar, atau lebih besar dari taipan lainnya seperti Chairul Tanjung (US$5,2 miliar). Kini, Anthoni pun tengah mempersiapkan generasi penerus di antaranya melalui Axton Salim.
Saat ini, Axton tercatat menduduki kursi direksi di beberapa perusahaan Salim yakni INDF dan ICBP, serta komisaris di LSIP dan SIMP.
3. Astra Group
Grup besutan konglomerat William Soeryadjaya itu tercatat menjadi salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan luas lahan kebun sawit 286.700 ha di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Grup yang mayoritas sahamnya dimiliki Asing ini bermain sawit melalui emiten PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI).
Seperti diketahui, induk AALI yakni PT Astra International Tbk. (ASII) awalnya dimiliki oleh William sebelum kepemilikan sahamnya terkikis akibat krisis Bank Summa, bank milik anaknya yakni Edward Soeryadjaya. Kini, saham emiten tersebut mayoritas dimiliki oleh asing melalui Jardine Cycle & Carriage Limited.
Konglomerat-konglomerat Indonesia pun banyak yang merupakan jebolan Astra. Mereka sempat memiliki saham dengan porsi besar dalam perusahaan tersebut. Beberapa juga tercatat sebagai pemain dalam industri sawit, hingga saat ini. Contohnya Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas), Prajogo Pangestu (Triputra), Grup Salim, hingga Putera Sampoerna.
Melalui AALI, Astra tercatat memproduksi 4,33 juta ton TBS dan 1,4 juta ton CPO per akhir 2021. Dalam wawancaranya dengan Bisnis, perusahaan itu pun mengaku bahwa strategi penjualan yang diterapkan bersifat oportunistik.
Saat adanya kebijakan DMO dan pelarangan terbatas ekspor sawit, Astra Agro Lestari bersiap dengan melihat penawaran atau harga terbaik antara ekspor dan domestik.
4. Royal Golden Eagle
Orang terkaya ke-18 di Indonesia versi Forbes, Sukanto Tanoto, menguasai ratusan ribu hektare kebun sawit dan sejumlah industri pengolahannya melalui Royal Golden Eagle atau RGE.
Kelompok bisnis RGE salah satunya bergerak di bidang industri perkebunan sawit melalui Asian Agri dan Apical. Melalui Asian Agri, Tanoto menjalankan bisnis industri hulu sawit dengan memproduksi dan mengolah minyak sawit mentah, minyak inti sawit kasar, biji kelapa sawit, serta kulit biji kelapa sawit.
Sejak didirikan pada 1979 sampai dengan saat ini, Asian Agri telah mengoperasikan 100.000 ha kebun sawit di Sumatra, Riau, dan Jambi. Kantor Asian Agri berpusat di Jakarta.
Berbeda dengan Asian Agri, Apical berpusat di Singapura dan berfokus pada industri hilir sawit. Produk mereka diekspor ke lebih dari 50 negara. Beberapa produk minyak goreng mereka yang dijual di Indonesia seperti merek Camar dan Harumas.
5. Sampoerna Group
Selain Tanoto, Salim, dan Widjaja, deretan orang paling sugih di Tanah Air yang juga merupakan pengusaha sawit yakni Putera Sampoerna. Pewaris atau generasi ketiga dari pendiri HM Sampoerna, Liem Seeng Tee ini menduduki posisi ke-26 orang terkaya di Tanah Air.
Putera memperluas portofolio bisnisnya ke industri sawit melalui PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO). Sebesar 67,05 persen saham SGRO dimiliki oleh Sampoeran Agri Resources Pte Ltd, yang mana Putera menjadi penerima manfaat langsung.
SGRO tercatat memiliki lahan tertanam sawit seluas 133.000 ha di Sumatra dan Kalimantan. Total produksi TBS perusahaan itu mencapai 1,8 juta ton pada 2021. Untuk diketahui, minyak sawit menjadi kontributor utama kepada perusahaan sawit Sampoerna Grup itu yakni sebesar 94 persen.
Pada paparan publik terbaru SGRO, capaian produksi CPO perusahaan tercatat sebesar 164.000 ton, sehingga berkontribusi kepada perusahaan sebesar Rp2,07 triliun pada semester I/2022.
6. Wilmar Group
Lini bisnis salah satu perusahaan produsen sawit terbesar itu tersebar di Australia, Selandia Baru, dan Asia Pasifik. Produk-produk yang dihasilkan juga bermacam-macam, tidak hanya minyak goreng. Di Indonesia, merek Sania dan Fortune merupakan produksi dari Wilmar.
Perusahaan yang berpusat di Singapura itu berdiri pada 1991. Taipan bisnis bermarga Sitorus, Wilmar Sitorus, bersama dengan Kuok Khoon Hong mendirikan Wilmar International, yang hingga saat ini mendistribusikan produknya ke 50 negara dan kawasan.
Namun demikian, Martua hengkang dari Wilmar pada 2018. Dia bergabung dengan saudaranya, Ganda Sitorus, untuk mendirikan KPN Corporation. Perusahaan tersebut mengoperasikan 21 pabrik pengolahan minyak sawit, dan 199.690 ha kebun sawit di seluruh Indonesia.
Kendati sudah hengkah dari Wilmar, Forbes mencatat kekayaan Martua masih tercatat sebesar US$3,1 miliar. Dia menduduk posisi ke-17 orang terkaya di Indonesia pada 2022.
Adapun berdasarkan laporan tahunan Wilmar International Limited terbaru, total luas area tanam kebun sawit yang dimiliki atau dioperasikan secara langsung yakni 230.480 ha. Kebun-kebun tersebut tersebar di Afrika dan Indonesia.
Khusus di Indonesia, Wilmar International beroperasi melalui perpanjangan tangan sejumlah anak usahanya. Salah satu di antaranya PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk. (CEKA). Perusahaan tersebut fokus dalam pengolahan produk turunan minyak nabati dengan produksi di Cikarang, Jawa Barat, dan Pontianak, Kalimantan Barat.
Lalu, ada PT Wilmar Nabati Indonesia yang juga bergerak di industri sawit. Perusahaan tersebut merupakan salah satu dari 41 perusahaan yang mendapatkan izin ekspor CPO dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada pertengahan tahun lalu.
7. Musim Mas Group
Grup perusahaan milik taipan Bahctiar Karim ini terkenal sebagai industri sawit terintegrasi mulai dari usaha perkebunan, manufaktur, hingga ekspor produk turunan di antaranya minyak goreng. Pundi-pundi grup bisnis itu seluruhnya bersumber dari minyak sawit.
Pria kelahiran Medan itu merupakan orang terkaya nomor 11 di Indonesia versi Forbes, dengan nilai kekayaan mencapai US$4 miliar.
Berdasarkan situs resmi Musim Mas, ada tiga anak perusahaannya yang beroperasi di Indonesia yakni PT Musim Mas (Medan), PT Megasurya Mas (Jawa Timur), dan PT Mikie Oleo Nabati Industri (Jawa Barat).
Namun demikian, perusahaan tersebut beroperasi melalui sejumlah anak perusahaan di total 13 negara. Anak perusahaan tersebut bergerak di sektor hulu atau upstream (pembibitan, perkebunan); midstream (pabrik dan penyulingan); serta hilir atau downstream.
Berdasarkan laporan Carbon Disclosure Project (CDP) Forests 2021, Musim Mas Grup memiliki konsesi terhadap lahan tertanam kebun sawit seluas 117.000 ha.
Terdapat berbagai produk turunan sawit yang dihasilkan Musim Mas yang meliputi sabun, minyak goreng, margarin, pakan ternak, dan lain-lain. Produk keluaran Musim Mas yang paling terkenal di Indonesia merupakan minyak goreng Sunco. Penjualan seluruh produk Musim Mas secara global pada 2021 tercatat menghasilkan pendapatan sebesar US$10 miliar.
Untuk diketahui, Musim Mas merupakan salah satu nama perusahaan minyak goreng yang tersangkut kasus korupsi izin ekspor CPO pada 2022. Salah satu pejabatnya kongkalikong dengan pejabat Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk penerbitan persetujuan ekspor CPO.
Kasus tersebut juga menyeret pejabat dari perusahaan lainnya seperti PT Wilmar Nabati Indonesia (Wilmar) dan PT Victorindo Alam Lestari (Permata Hijau Grup).
Akibatnya, lima orang yang terlibat dalam pemufakatan jahat itu didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) merugikan negara sejumlah Rp18,3 triliun. Mereka adalah Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, dan General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Kemudian, Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, serta Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI Indra Sari Wisnu Wardhana.
Pangkal dari kasus korupsi minyak goreng yang sempat menggemparkan Tanah Air tahun lalu itu berawal dari izin ekspor minyak goreng. Untuk mendapatkan izin dari pemerintah, pengusaha harus memasok ketersediaan dalam negeri atau dikenal dengan DMO.
Kebijakan DMO diterbitkan oleh mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada 19 Januari 2022 dan berlaku 27 Januari 2022. Intinya, produsen wajib memasok minyak sawit untuk stok dalam negeri sesuai ketentuan. Dengan kenaikan DMO dari 20 persen menjadi 30 persen, artinya produsen CPO wajib memasok 30 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono saat ini kebijakan DMO yang masih berlaku di lapangan saat ini masih dengan rasio 1:6. Dia menilai rencana DMO 50 persen itu bakal berdampak terbatas pada industri sawit, lantaran pasar ekspor yang tak terlalu bergairah saat ini.
Apalagi, kondisi pasar juga dinilai masih tak menentu akibat perang Rusia-Ukraina yang belum selesai. Perang itu bahkan baru saja genap berumur satu tahun. Dampak kepada ekonomi global pun tidak terelakkan.
Oleh sebab itu, dia menilai permintaan minyak sawit untuk ekspor juga tidak setinggi permintaan dalam negeri. Namun demikian, hal itu tak berarti ekspor tak bakal terganggu. Pemerintah juga dinilai harus memerhatikan kondisi pasokan dalam negeri, yang diperkirakan bisa oversupply.
"Yang perlu diperhatikan adalah pada waktu membuat kebijakan [rasio DMO] 1:1 itu akan banjir minyak goreng di lokal. Apakah itu akan terserap dengan dibanjiri seperti itu?" ucap pria yang baru saja ditetapkan sebagai Ketua Umum Gapki 2023-2028 itu, kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Senada, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia atau Gimni menilai pasar ekspor sawit Indonesia saat ini memang sepi. Hal tersebut kendati fakta bahwa mayoritas produsen sawit di Indonesia berorientasi ekspor.
Kondisi pasar ekspor sawit Indonesia dilihat sebagai peluang bagi pesaing. Malaysia, dinilai mengambil peluang tersebut untuk menaikkan pasar ekspor mereka. Direktur Gimni Sahat Sinaga menyebut Malaysia kini bermanuver dengan melihat peluang sepinya pasar ekspor sawit Indonesia lantaran adanya DMO.
"Jadi harga di pasar itu bagi malaysia masih [tinggi] karena tidak ada DMO. Jadi, dia ekspor semua untuk memenuhi pasar luar," terang Sahat kepada Bisnis.
Pria yang juga menjabat sebagai Plt. Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) itu juga menilai pengusaha sawit dalam negeri sedang tak memiliki "bensin" yang cukup untuk menutup rugi dalam menjalankan amanat pemerintah.
Dengan adanya rencana DMO 50 persen, serta semakin dekatnya Ramadan dan Idulfitri, Sahat lalu membeberkan sejumlah opsi yang bisa menjadi win-win solution. Jalan tengah itu diharapkan bisa menjadi solusi di tengah harga minyak goreng dalam negeri yang tembus hingga kisaran Rp17.000-Rp18.000 per liter saat ini.
Misalnya, pembebasan bea keluar sawit, masuknya BUMN untuk mendistribusikan minyak rakyat, pengawasan ketat di jalur distribusi, dan masih banyak lagi.
"Intinya ada bensin untuk pelaksanaan DMO. Itu saja dulu. Tadinya kan bensin hanya untuk ojek, sekarang dinaikkan jadi Ferrari, 50 persen speed. Gambarannya gitu aja lah," ucapnya.
Bersih-Bersih Kementerian Sultan, Belajar dari Park hingga Biden