bisnis-logo

Stories

Memindah Ibu Kota: Dari Jakarta, Yogyakarta Hingga Nusantara

Presiden Jokowi segera memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN Nusantara di Pulau Kalimantan

18 Agustus 2022

A+
A-

Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Jokowi segera memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN Nusantara di Pulau Kalimantan. Konon target pemindahan ibu kota negara dijadwalkan rampung sebelum tahun 2024. 

Rencana pemindahan ibu kota itu dilakukan karena kondisi Jakarta yang sudah sangat padat.Di sisi lain, IKN Nusantara juga merupakan representasi visi misi Jokowi yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran, bukan lagi Jawa.

Sebagai sebuah kebijakan, rencana pemidahan ibu kota baru menuai banyak polemik. Sebagian pihak merasa pemindahan ibu kota bukan suatu yang mendesak.

Apalagi, dengan kondisi kas negara yang defisitnya sempat tembus di atas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), kebijakan pemindahan ibu kota akan membebani kondisi anggaran.

Kendati demikian, Jokowi memastikan bahwa proyek IKN tetap harus berlangsung, siapapun rezim akan berkuasa. Dia juga menegaskan bahwa biaya pembangunan IKN mayoritas berasal dari swasta bukan kas negara.

“Pembangunan IKN harus dijaga keberlanjutannya. IKN bukan hanya untuk ASN (Aparatur Sipil Negara), tetapi juga untuk inovator dan wirausahaan,” ujarnya di Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8/2022).

Terlepas dari pro kontra yang terjadi saat ini, rencana pemindahan ibu kota sejatinya bukan sesuatu yang baru.

Pada masa klasik, pemindahan ibu kota dilakukan sebagai imbas dari terjadi bencana besar, peperangan atau pralaya. Pemindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno pada masa pemerintahan Mpu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur adalah salah satu contohnya.

Sriwijaya di Sumatra, konon juga memiliki beberapa ibu kota. Pendapat mainstream menyebut bahwa pusat Sriwijaya ada di Palembang. Namun penelitian-penelitian terakhir mengindikasikan bahwa Sriwijaya memiliki beberapa pusat kerajaan.

Sementara itu, pasca Indonesia merdeka, pemerintah tercatat beberapa kali memindahkan Ibu Kota. Pemindahan ibu kota waktu itu dipicu oleh situasi darurat akibat peperangan.

Salah satunya ketika pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta karena serangan Belanda. Pemerintah kembali memindahkan ibu kota ke Bukittinggi, Sumatra Barat karena Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
 

Jakarta dan Ingatan Kolonisasi

Jakarta memiliki sejarah yang panjang tentang kolonisasi Belanda dan kemerdekaan. Berawal dari sebuah kota pelabuhan Sunda Kelapa yang kemudian berubah menjadi Jayakarta setelah ditaklukkan oleh Demak.

Di bawah Demak, yang kemudian diteruskan oleh Kesultanan Banten, Sunda Kelapa atau Jayakarta menjadi suatu pusat perdagangan yang cukup ramai.

Semua bangsa dan suku-suku di Nusantara berbaur di pelabuhan tersebut. Mereka memperdagangkan banyak komoditas. Tentu yang paling ramai adalah perdagangan rempah-rempah, terutama lada.

Popularitas Sunda Kelapa kemudian menarik minat bangsa asing, Eropa. Awalnya mereka datang untuk berdagang. Lambat laun ingin berkuasa. 

Seorang pelaut dan perompak Belanda, Jan Pieterzoon Coen merebut Jayakarta dari tangan Banten pada tahun 1619. Dia mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Batavia kemudian secara de facto berubah menjadi 'ibu kota' bagi para pendatang Belanda.

Di sini, perkumpulan dagang Hindia Timur atau Vereenigde Osstindische Compagnie (VOC) mengendalikan perdagangan rempah sekaligus memperkuat pengaruh militernya selama beberapa abad.

Posisi VOC di Batavia sempat terancam ketika Sultan Agung dari Mataram berekspansi ke wilayah barat Pulau Jawa. Namun dalam dua kali ekspedisi, Sultan Agung gagal menaklukkan Batavia. Mataram kalah dan ekspansi ke barat berhenti seketika.

Kegagalan Sultan Agung merebut Batavia, menandai babak baru dalam sejarah Nusantara. Posisi VOC semakin kuat. Pada tahun-tahun berikutnya mereka justru berhasil menguasai Banten, sebagian Mataram, Makassar, hingga wilayah penghasil rempah di kepulauan Maluku.

Batavia kelak menjadi ibu kota VOC, yang diteruskan pemerintah kolonial Belanda, Inggris, hingga pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan tahun 1942. 

Nama Batavia dihapus dan dikembalikan menjadi Jakarta, ketika bala tentara Jepang menaklukkan Hindia Belanda, yang ternyata rapuh. Kembalinya nama Jakarta menandai babak baru dalam sejarah bangsa Indonesia.

Dari Batavia ke Jakarta

Jepang mengakhiri hegemoni Belanda di Batavia. Sebaliknya pendudukan Jepang menjadikan pemicu nasionalisme kalangan pemuda di berbagai pelosok tanah air.

Nasionalisme, kini tidak hanya dikendalikan oleh para elite dan kaum terpelajar, kesadaran sebagai bangsa menular kepada kaum kromo. 

Kaum kromo adalah istilah yang lazim untuk menyebut kelompok sosial kelas bawah. Kelompok ini adalah sasaran eksploitasi para priyayi yang menjadi tangan kanan alias kacung pemerintah kolonial Belanda. 

Singkat cerita Jepang hengkang. Mereka kalah perang. Indonesia berada di dalam status quo. Golongan pemuda dan golongan tua terpecah. Golongan pemuda ingin kemerdekaan segera diproklamasikan. Sementara, golongan tua, ingin mempersiapkan secara lebih matang.

Jakarta sebagai ibu kota, menjadi titik didih pertarungan antara golongan muda dengan golongan tua. Alhasil, golongan tua mengalah setelah Soekarno dan Mohamad Hatta, diculik oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok, Jawa Barat.

Pada tanggal 17 Agustus Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh Soekarno Hatta di Jakarta. Orang-orang memenuhi Jalan Pegangsaan Timur untuk mendengarkan pembacaan proklamasi kemerdekaan.

Namun proklamasi rupanya hanya tahap awal dari proses untuk memperoleh kemerdekaan. Belanda yang merasa masih memiliki hak, ingin kembali berkuasa di tanah yang sejak tahun proklamasi dibacakan telah berubah menjadi Indonesia. 

Revolusi kemerdekaan terjadi. Konflik dengan Belanda terjadi. Palagan Ambarawa dan perang 10 November di Surabaya menandai puncak konfrontasi para pemuda di Indonesia dengan Belanda yang berlindung di balik Sekutu.

Sementara situasi di Jakarta semakin kacau. Upaya pembunuhan terhadap Soekarno terjadi. Pada tahun 1946, pemerintah akhirnya memindahkan Ibu Kota Negara ke Yogyakarta. Pemindahan ibu kota dilakukan untuk memantapkan pijakan bagi negara Indonesia yang masih seumur jagung.

Belanda kemudian melancarkan Agresi. Agresi pertama terjadi pada tahun 1947. Operasi militer Belanda ini berlangsung selama kurang dari sebulan. Agresi Militer ini menghasilkan sejumlah perjanjian.

Namun perjanjian itu kemudian diingkari oleh Belanda mereka melancarkan Agresi Militer yang kedua. Agresi Belanda II menghasilkan kehancuran bagi Indonesia. Pemimpin-pemimpin negara ditangkap. Mereka kemudian diasingkan. Yogyakarta yang menjadi Ibu Kota Negara diduduki Belanda. 

Sekali lagi, ibu kota negara harus dipindah ke Bukittinggi. Di Bukittinggi, sejumlah aktivis politikembentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Pemimpinnya adalah Sjafruddin Prawiranegara. Tokoh yang kemudian dikenal sebagai salah satu pemimpin Masyumi.

Rencana Ibu Kota Baru

Setelah penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, Indonesia sempat menganut konstitusi sebagai negara feredal.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) disahkan. Konstitusi tersebut menetapkan ibu kota Republik Indonesia yang terdiri dari sebagain Jawa Tengah, Banten, dan sebagian besar Sumatara beribukota di Yogyakarta.

Sedangkan Jakarta adalah ibu kota dari Republik Indonesia Serikat. RIS terbukti hanya berusia seumur jagung. Pada tahun Juli tahun 1950, pemerintah akhirnya mengembalikan ibu kota negara ke Jakarta.

Selama dekade 1950-an, kondisi keamanan relatif stabil dari rongrongan Belanda. Meskipun, di dalam negeri, beberapa gerakan perlawanan juga terjadi di sejumlah daerah. Konflik PRRI, Permesta, hingga Republik Maluku Selatan adalah satu tantangan yang terjadi pada waktu itu.

Sebagian pemberontakan tersebut muncul karena adanya ketimpangan antara Jawa dan daerah di luar Jawa. Soekarno, kemudian memiliki ide untuk memindahkan ibu kota ke luar Jawa.

Pada tahun 1957, Palangkaraya adalah salah satu opsi daerah yang bakal menjadi ibu kota baru.

Pertimbangan Soekarno pada waktu itu adalah Palangkaraya bisa membagi beban Jakarta sebagai ibu kota negara (IKN).

Kendati demikian, kedudukan Palangkaraya ini tidak menggantikan Jakarta sebagai IKN. Perannya hanya berbagi beban terhadap kebutuhan daya tampung Jakarta.

"Mari kita jadikan Jakarta dan Surabaya sebagai kota-kota mati. Modal hanya berpusat di kedua kota besar itu, dan seolah-olah mengeksploitir daerah-daerah di luar Jawa,” ucap Bung Karno pada Seminar TNI-AD I di Bandung pada 1965.

Sementara itu, pada masa Orde Baru, tahun 1990-an, ada juga wacana pemindahan IKN ke Jonggol. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pemindahan IKN muncul kembali karena kemacetan dan banjir yang melanda Jakarta.

Terdapat tiga opsi yang muncul pada saat itu yaitu tetap mempertahankan Jakarta sebagai IKN dan pusat pemerintahan dengan melakukan pembenahan, Jakarta tetap menjadi IKN tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain, dan membangun IKN baru.

Ibu Kota Negara Nusantara

Pemindahan IKN, serius digarap oleh Presiden Joko Widodo. Rencana pemindahan IKN untuk mencatumkan agenda pemidahan IKN keluar pulau Jawa dalam RPJMN 2020-2024.

Pada waktu itu ada sejumlah lokasi yang menjadi opsi pemindahan ibu kota baru. Palangkaraya  kembali menjadi kandidat.

Namun setelah melalui kajian, termasuk diskusi dengan sejumlah ahli, Jokowi menetapkan kawasan di kawasan di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai calon ibu kota yang baru.

Selain itu, pada awal tahun 2022, Jokowi menetapkan nama ibu kota baru: Nusantara. Penetapan nama Nusantara merujuk kepada nama lama kepulauan Nusantara, minus Jawa bagian Majapahit.

Nusantara dianggap ikonik. Nama Nusantara dianggap mewakili kejayaan Indonesia pada masa lalu. Namun lagi-lagi, penyematan nama Nusantara menuai kontroversi. Sejarawan JJ Rizal, misalnya, menyebut Nusantara terlalu Jawasentris.

Selain di Indonesia, sejumlah warga di negeri jiran juga menyoroti penggunaan nama Nusantara. Nusantara dianggap mewakili nama yang cukup luas, melewati batas yang geografis Indonesia saat ini.

Selain polemik nama, anggaran pembangunan IKN nusantara dan implementasi UU IKN juga menjadi masalah. Kedua masalah itu masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

Presiden Jokowi memastikan bahwa polemik itu tidak akan menghentikan langkah pemerintah untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara. Hal tersebut juga didukung oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo.

“Pembangunan IKN tidak boleh berhenti karena pergantian pemimpin nasional.”

 

Penulis : Hendri T. Asworo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

'Bom Waktu' Utang Garuda

back-to-top
To top