bisnis-logo

People

Kartini & Hikayat Perempuan "Penakluk" Nusantara

Sejak era kolonial peran wanita direduksi menjadi 'konco wingking' atau urusan dapur. Kartini mendobrak anggapan tersebut. Suluh pergerakan wanita pun bermunculan. Jauh sebelum itu, peran perempuan di Nusantara ternyata cukup dominan. Bagaimana kisahnya? Berikut selengkapnya.

21 April 2021

A+
A-

Bisnis.com, JAKARTA -- Sekitar abad ke 7 silam, di Kerajaan Kalingga hidup ratu yang cukup disegani. Namanya Sima, dalam pengucapan wong Jawa kerap dieja Ratu Simo.

Sima dikenal sebagai ratu yang adil. Konon, selama ia memimpin, negeri Kalingga diberkahi kemakmuran dan kejujuran.

Suatu kali, seorang raja dari kerajaan asing, Marwati Djoened Poesponegoro menyebutnya raja Ta-Shih, ingin menguji keteguhan Sima. Dia meletakkan kantong-kantong emas di sejumlah sudut jalan. Alih-alih tergiur, rakyat Kalingga justru acuh dan bebas lalu lalang tak tertarik kemilau emas tersebut.

Rakyat Kalingga tahu, berani menyentuh atau mengambilnya, sebuah hukuman yang tiada tara bakal mereka terima. Hingga suatu hari peristiwa tak terduga tiba.

Suatu kali, putra mahkota sedang berjalan kaki. Meninjau sudut-sudut negeri Kalingga. Tanpa sengaja kakinya menyentuh kantung emas tersebut. Kabar ini pun berhembus sampai ke telinga Sima.

Sima murka. Meski pelakunya seorang putra mahkota, hukum tetap harus ditegakan. Awalnya, Sima ingin menghukum mati putra mahkotanya.

Namun keinginannya urung dilakukan. Para pejabat dan menteri kerajaan mencegah niatannya tersebut. Sima kemudian ingin memotong kaki putra mahkota. Sekali lagi para pejabat minta pengampunan.

Alhasil, Ratu Sima hanya memotong jari-jari kaki sang putra mahkota. “Ini menjadi peringatan bagi penduduk seluruh kerajaan,” demikian ditulis Marwati dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.

Sima adalah manifestasi ketangguhan dan kejujuran perempuan nusantara. Keberadaan Sima menegaskan pada masa lalu, sekat-sekat gender tak menghalangi perempuan untuk memegang posisi penting. Perempuan jadi pemimpin adalah suatu yang lazim.

Tengok saja di Majapahit. Setelah lebih dari 500 tahun kisah Sima memimpin Kalingga. Muncul nama Tribhuwana Wijayatunggadewi. Sosok ratu yang menetapkan pondasi kejayaan negara Majapahit.

Ekspansi Majapahit dan sumpah nan legendaris, Tan Amukti Palapa, muncul pada pemerintahan Tribhuwana. Lewat rahim Tribhuwana pula, sosok Hayam Wuruk lahir. Kelak, Majapahit mencapai puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk.

Di sisi lain, sejarah juga mencatat kisah kegemilangan perempuan Nusantara lainnya. Mereka ada yang menjadi prajurit, panglima perang, diplomat, hingga tokoh politik yang cukup moncer. Jabatan itu tentu dari jauh kesan pekerjaan domestik yang melekat pada perempuan Nusantara selama ini.

Salah satu kisah menarik diceritakan seorang agen diplomatik East India Company, sebuah konglomerasi dagang milik Inggris, bernama John Anderson. John adalah seorang Skotlandia. Dia mencatat kisah perjalanannya dalam sebuah tulisan berjudul Mission to the East Coast of Sumatra in 1823.

Ceritanya, John Anderson bermuhibah ke pantai timur Sumatra. Misinya adalah diplomasi perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra.

Suatu kali, saat tiba di Kesultanan Deli, Sultan meminta seorang perempuan bernama Che Laut untuk menemani Anderson dalam perjalanannya ke berbagai negara di Sumatra.

John Anderson, dalam catatannya itu, memiliki kesan yang mendalam tentang sosok Che Laut. Dia menggambarkan Che sebagai seorang perempuan yang luar biasa dan eksentrik. Che juga fasih berbahasa China, Thai, Chuliah, Bengali dan Aceh.

"Dia juga tahu seluk beluk politik semua negara di Pantai Sumatra,” tulis Anderson.

Sosok Che jelas bukan perempuan biasa. Dia adalah perempuan terpelajar dan memiliki kemampuan diplomasi yang mumpuni. Namun demikian, sosok-sosok seperti Che Laut juga dapat ditemukan di daerah lainnya.

Di Jawa, misalnya, para perempuan juga menjadi tokoh-tokoh penting dalam diplomasi perang. Konon, menurut Anthony Reid, perempuan Jawa menjadi perantara dalam menangani masalah kenegaraan, terutama perundingan perdamaian.

Adapun di bidang militer, tokoh-tokoh militer perempuan juga laik diperhitungkan. Kepiawaian mereka juga tak kalah dengan para perwira atau jenderal kerajaan berjenis kelamin laki-laki.

Tokoh militer perempuan yang cukup dikenal dalam sejarah Nusantara antara lain Laksamana Malahayati dari Aceh, Ratu Kalinyamat dari Jepara, hingga Nyi Ageng Serang yang menjadi salah satu panglima dalam peperangan Diponegoro pada perempat abad ke 19.

Para perempuan ‘perkasa’ ini cukup legendaris dan dikenal sepak terjangnya dalam menghalau para agresor asing. Laksamana Malahayati misalnya dia mampu menewaskan Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang berlayar di perairan Nusantara.

Sementara itu, Ratu Kalinyamat perempuan sohor dari ujung Jepara sangat anti-Portugis. Dia mengirimkan pasukan Jepara untuk membantu orang-orang Melayu menggempur Malaka. Dia juga mengirim pasukan ke Hitu di Ambon untuk mengatasi gangguan bangsa Portugis.

Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 menulis keberadaan prajurit perempuan atau tokoh militer di kerajaan-kerajaan Nusantara sudah lazim pada waktu itu. Bahkan para raja-raja Nusantara membiarkan dirinya dikelilingi pengawal perempuan.

Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh, misalnya, memiliki 3.000 perempuan sebagai pengawal. Sementara jumlah yang lebih besar dimiliki Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram. Jumlahnya mencapai 10.000 perempuan.

"Perempuan-perempuan istana ini mencakup satuan terlatih menggunakan senjata, bertindak sebagai pengawal istana," tulis Reid dalam buku tersebut.

Domestifikasi Dan Perbudakan

Menguatnya kolonialisme bukan saja menjadi penyebab utama mundurnya kejayaan kerajaaan nusantara. Tetapi,ikut mengubur peran perempuan dalam lintasan sejarah Nusantara.

Kolonialisme mulai menancap kuat di peradaban Nusantara pada akhir abad ke 18 dan mencapai puncaknya pada abad ke 19. Pada waktu itu, berbagai pengaruh 'penjajahan' barat mulai mengintervensi kehidupan politik, sosial, dan militer kerajaan di Nusantara, khususnya Jawa.

Perempuan yang semula tampil dalam berbagai palagan dan jabatan penting, lambat laun berubah peran hanya sebatas 'konco wingking'. Mereka hanya melayani suami dan bekerja di sektor-sektor domestik, di rumah sebatas 'konco wingking'. Mereka hanya melayani suami dan bekerja di sektor-sektor domestik, di rumah membesarkan anak. Perbudakan juga mulai menjamur pada masa kolonial.

Salah satu fenomena yang paling menonjol pada masa kolonial adalah muculnya gundik, budak perempuan yang kemudian 'dijadikan istri' atau "Nyai" para laki-laki Eropa atau Belanda.

Para perempuan yang dijadikan gundik lazimnya berasal dari kalangan rakyat miskin. Tumbuh dari kalangan yang lemah secara sosial maupun politik membuat perempuan calon gundik itu hanya pasrah ketika dijadikan mainan para lelaki ras kaukasoid.

Fenomena seksualitas kolonial, pergundikan atau munculnya kelompok 'nyai', kemudian mengilhami para penulis atau sastrawan untuk mengangkat kisahnya. Dalam khasanah sastra kolonial dan sastra pascakolonial ada dua sosok nyai yang cukup populer. Mereka adalah Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh.

Nyai Dasima adalah salah satu karya sastra yang ditulis oleh Gijsbert Francis pada tahun 1896. Kisah ini sempat difilmkan dan bercerita tentang seorang Nyai Dasima, perempuan asal Bogor, yang menjadi istri simpanan pria kulit putih.

Sementara Nyai Ontosoroh, adalah salah satu sosok dalam cerita ‘Bumi Manusia’, salah satu karya monumental sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Kedua tokoh itu merepresentasikan status sosial perempuan pribumi dalam himpitan patriarki dan maskulinitas kolonial. Nasibnya saja yang beda.

Meski demikian, kisah-kisah di atas bukan sesuatu yang mutlak dan terjadi di seluruh strata sosial masyarakat Nusantara waktu itu. Apalagi konsep negara kolonial baru benar-benar terwujud pada perempat abad ke 19 dan awal ke abad 20 ditandai dengan kalahnya Diponegoro serta tunduknya Aceh dan Bali.

Ann Kumar, seorang peneliti sejarah dari Australian National University menulis buku Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa abad ke 18 mengatakan bahwa di kalangan tertentu, para perempuan Indonesia masih hidup bebas bahkan tetap menjadi prajurit di kerajaan.

Dia kemudian menjelaskan fenomena Kartini beserta kisah dibaliknya, mengesankan orang Indonesia yang patriarkal.

Padahal, eksistensi 'Prajurit Estri' di kraton-kraton Jawa, tertama Mangkunegaran,

Padahal, eksistensi 'Prajurit Estri' di kraton-kraton Jawa, tertama Mangkunegaran, jelas membantah hipotesis umum tentang perempuan Jawa. Membalikan pendapat masyarakat barat yang cenderung mengidentikan perempuan Indonesia selalu dikekang dan tak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki.

"Mereka selalu tampil di muka umum dan seringkali bertentangan dengan konsep feminim oleh dunia barat waktu itu," jelasnya.

'Aufklarung' & Gerakan Perempuan

Kemunculan Kartini menjadi salah satu momentum kebangkitan perempuan di Indonesia. Meski banyak yang menentang, sulit untuk menyangkal jika kisah Kartini telah menjadi simbol perlawanan perempuan terhadap maskulinitas kolonial dan budaya patriarki di lingkungan aristokrat Jawa pada waktu itu.

Munculnya Kartini juga bersamaan dengan menguatnya embrio gerakan feminisme abad ke 20. Empat tahun setelah Kartini meninggal muncul tokoh feminis cukup berpengaruh di Prancis Simone de Beauvoir.

Sosok Kartini dan menguatnya pengaruh feminisme kemudian mempengaruhi perempuan di Indonesia. Pada tahun 1928 para perempuan di Jawa dan Sumatra mengadakan Kongres Perempuan Indonesia 1.

Tak tanggung-tanggung, lokasi penyelenggaraannya dilakukan di lingkungan aristokrat Jawa, yakni Dalem Joyodipuran milik Raden Tumenggung Joyodipero.

Kelak, gerakan perempuan semakin menguat dan melibatkan berbagai macam ideologi. Mulai dari Nasionalis, Islam, hingga Komunis. Kondisi itu berlanjut usai Indonesia merdeka, perempuan berpolitik itu adalah sesatu yang lazim. Gerakan politik perempuan sempat terkungkung di bawah Orde Baru, dan kembali mendapat momentum pada masa reformasi.

Sedikit menyinggung pada masa Orde Baru, penindasan gerakan perempuan di masa orde daripadanya Soeharto itu cukup massif. Gerakan perempuan yang sempat masuk ke ranah politik pada era Orde Lama, mulai diarahkan ke ranah domestik pada masa Orde Baru. Salah satunya melalui Program Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Pada masa Orde Baru, PKK menjadi salah satu organisasi yang berpengaruh dalam mendukung program pembangunan pemerintah. Selain itu, PKK juga kerap menjadi kendaraan untuk melegitimasi kebijakan dan melanggengkan kekuasan Orde Baru.

“Di masa Orde Baru, PKK sering menjadi alat politik kekuasaan dan kekuatan politik tertentu (Golkar),” demikian ditulis Ani W Soetjipto dan Shelly Adelina dalam Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK.

Tumbangnya Soeharto dan munculnya gerakan reformasi menjadi momentum bangkitnya gerakan perempuan. Kampanye antipatriarki kian populer.

Para perempuan kemudian membentuk dan mengasosiasikan diri dengan berbagai organisasi feminis. Diskursus soal perempuan pun tak melulu bicara soal keluarga dan urusan kasur. Yang paling menonjol, reformasi juga menjadi momentum kesadaran politik perempuan dalam kancah politik nasional.

Kemunculan Megawati – Sri Mulyani

Dalam dunia politik Indonesia kontemporer, perempuan memiliki posisi yang sama dengan laki-laki. Keterwakilan perempuan di DPR juga melesat jika dibandingkan pada masa Orde Baru.

Dalam catatan Bisnis, keterwakilan perempuan di parlemen periode 2019-2024 mencapai 20,52 persen atau 118 dari total kursi DPR sebanyak 575. Jumlah ini melesat dibandingkan periode 2015-2019 yang hanya 97 orang atau 17,3 persen.

Di tingkat eksekutif, tokoh-tokoh perempuan juga banyak memegang jabatan yang cukup prestisius. Dua orang tokoh perempuan, yang memiliki karir politik yang cukup moncer adalah Megawati Soekarnoputri dan Sri Mulyani Indrawati.

Megawati, betapa kontroversinya sosok ini, adalah salah satu perempuan yang berperan cukup banyak dalam politik Indonesia pada masa akhir Orde Baru hingga kini. Dia pernah direpresi oleh Orde Baru. Tetapi kelak menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Saat ini dia memimpin partai paling berkuasa di Indonesia.

Sementara Sri Mulyani, sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga periode Joko Widodo, namanya tak bisa dilepaskan dari politik anggaran pemerintah. Sri Mulyani barangkali adalah satu-satunya perempuan di Indonesia yang paling lama menjadi menteri keuangan.

Selain kedua sosok itu sebenarnya masih ada sosok-sosok lain yang menonjol dalam politik kenegaraan saat ini. Di DPR ada nama Puan Maharani. Puan bahkan memimpin parlemen yang didominasi dengan politisi laki-laki.

Sedangkan di bidang diplomasi, ada nama Retno LP Marsudi. Perempuan asli Semarang itu saat ini menjadi Menteri Luar Negeri. Sudah periode kedua dia berada di garis depan sebagai juru runding Indonesia di kancah internasional.

Tentunya, kiprah para perempuan dalam politik dan birokrasi tak berhenti pada tokoh-tokoh seperti Megawati atau Sri Mulyani. Bagaimanapun keseimbangan gender harus tetap dijaga. Sosok-sosok perempuan ‘tangguh’ pada masa depan sangat dibutuhkan.

Tetapi satu hal yang paling penting, masuknya tokoh perempuan itu bukan hanya sebagai pelengkap, perempuan yang terjun ke politik harus benar-benar mampu bersuara, paling tidak menyuarakan nasib sesama perempuan yang masih tertindas.

Selamat Hari Kartini buat perempuan tangguh di seluruh Nusantara. Jangan menyerah. Ingat pesan Kartini: Door Duiternis Tot Licht.

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Geger Bank Digital dan Perburuan Para Taipan

Next

Perang Bubat SoftBank vs Tencent di Indonesia

back-to-top
To top