Company
RUPTL 2025–2034 memberikan peluang partisipasi yang besar bagi sektor swasta untuk pengembangan energi terbarukan
24 Juni 2025
Rencana penambahan pembangkit listrik baru oleh pemerintah akhirnya memperlihatkan titik terang, seiring dengan dirilisnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034 pada akhir Mei 2025. Di tengah cita-cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi, RUPTL 10 tahun ke depan memperlihatkan target ambisius.
Ambisi ini tecermin dari dominasi energi baru terbarukan (EBT) dalam struktur rencana penambahan listrik baru. Dari total kapasitas 69,5 gigawatt (GW) yang diharapkan bertambah dalam sedekade ke depan, 76% di antaranya berasal dari sumber energi terbarukan.
"Ke depan kita butuh 69,5 GW listrik dari 2025 sampai dengan 2034. Ini kesempatan bagus sekali dan hasilnya 76% merujuk pada energi baru terbarukan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Dengan persentase tersebut, komposisi pembangkit EBT hingga 2034 ditargetkan mencapai 42,6 GW, sementara 10,3 GW merupakan kapasitas penyimpanan (storage).
Energi surya mendominasi target penambahan listrik, dengan kapasitas mencapai 17,1 GW. Energi bertenaga air menyusul dengan kapasitas 11,7 GW, kemudian tenaga angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan nuklir 0,5 GW. Sementara untuk storage, sebesar 4,3 GW akan berasal dari PLTA pumped storage dan 6 GW dari baterai.
Kementerian ESDM tetap menyertakan tambahan listrik dari pembangkit fosil dalam RUPTL teranyar. Energi dari gas ditargetkan bertambah sebesar 10,3 GW dan batu bara di angka 6,3 GW.
Bahlil mengatakan, rencana penambahan 69,5 GW pembangkit baru itu akan terbagi dalam dua periode atau per 5 tahun. Untuk lima tahun pertama, kapasitas pembangkit yang dibangun mencapai 27,9 GW, sementara 41,6 GW sisanya akan dibangun pada periode lima tahun kedua.
"Jadi ini harus berkelanjutan, harus dua periode," imbuh Bahlil.
Berdasarkan regional, penambahan pembangkit itu bakal dilakukan di sejumlah wilayah. Daerah dengan tambahan pembangkit paling tinggi adalah Jawa, Madura dan Bali dengan total 33,5 GW dan porsi EBT 19,6 GW.
Wilayah Sumatra menyusul dengan tambahan pembangkit berkapasitas 15,1 GW dalam 10 tahun ke depan. Adapun, porsi EBT untuk wilayah itu mencapai 9,5 GW.
Lalu, Sulawesi dengan tambahan pembangkit mencapai 10,4 GW, sementara porsi EBT untuk wilayah itu mencapai 7,7 GW.
Berikutnya, Kalimantan dengan tambahan pembangkit mencapai 5,8 GW serta porsi EBT 3,5 GW, sedangkan untuk Maluku, Papua, dan Nusa tenggara mendapat tambahan pembangkit 4,7 GW dengan porsi EBT 2,3 GW.
Rencana tambahan pembangkit listrik baru untuk 10 tahun ke depan, berdasarkan estimasi Kementerian ESDM, bakal membutuhkan suntikan dana senilai Rp2.967,4 triliun. Dokumen RUPTL menunjukkan kebutuhan dana untuk pembangunan pembangkit mencapai Rp2.133,7 triliun, sementara transmisi Rp565,3 triliun, dan lainnya Rp268,4 triliun.
Menariknya, pemerintah memberikan alokasi yang tidak sedikit untuk melibatkan partisipasi swasta. Sekitar 73% investasi pembangkit listrik diharapkan berasal dari partisipasi produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Artinya, investasi yang dialokasikan untuk IPP bakal mencapai Rp1.566,1 triliun, dengan perincian investasi untuk pembangkit EBT senilai Rp1.341,8 triliun dan non-EBT Rp224,3 triliun.
Sementara itu, investasi yang dialokasikan untuk PLN mencapai Rp567,6 triliun. Perinciannya, investasi untuk pembangkit EBT sebesar Rp340,6 triliun dan non-EBT Rp227 triliun.
Jejak keterlibatan swasta dalam pengembangan pembangkit listrik sejatinya telah terlihat dalam beberapa tahun terakhir, terutama untuk sektor energi terbarukan. Bisnis mencatat bahwa sejumlah emiten bursa dan grup konglomerasi telah aktif mengembangkan proyek-proyek energi hijau di Tanah Air.
Yang terbaru berasal dari entitas yang terafiliasi dengan Royal Golden Eagle (RGE), grup bisnis milik konglomerat Sukanto Tanoto yang berbasis di Singapura. Hanya berselang dua hari sejak perilisan RUPTL 2025–2034, tepatnya pada Rabu (28/5/2025), perusahaan patungan RGE dan TotalEnergies bernama Singa Renewables Pte Ltd. mengunci kerja sama dalam pengembangan, pembangunan dan pengoperasian proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan penyimpanan energi baterai atau battery energy storage system (BESS). Proyek yang berlokasi di provinsi Riau, Indonesia, ini akan memulai fase konstruksi secara bertahap.
RGE maupun TotalEnergies tidak memperinci secara pasti besaran kapasitas energi surya yang akan dikembangkan. Meski demikian, Singa Renewables baru-baru ini memperoleh izin bersyarat untuk mengimpor listrik bertenaga surya dengan kapasitas 1 GW dari Indonesia.
Selain untuk mendukung peluang ekspor energi surya ke Singapura, proyek ini juga ditargetkan memberikan pasokan energi terbarukan untuk konsumsi domestik Indonesia. Pasokan listrik diharapkan dapat kawasan industri hijau di provinsi Riau.
Geliat swasta dalam penambahan kapasitas EBT juga diperlihatkan oleh emiten afiliasi Prajogo Pangestu, PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) yang merupakan salah satu pemain kunci di sektor ini.
BREN mencatat kinerja yang solid pada kuartal I/2025, dengan pendapatan sebesar US$150,4 juta dan laba bersih yang naik sebesar 18,7% menjadi US$34,2 juta atau setara Rp571,1 miliar. Manajemen mengemukakan kinerja ini didorong oleh produksi optimal dalam portofolio energi terbarukan, khususnya di segmen energi angin dan panas bumi.
CEO Hendra Soetjipto Tan baru-baru ini juga menyatakan bahwa fokus utama BREN pada 2025 adalah memperluas portofolio energi terbarukan melalui inisiatif strategis, termasuk modernisasi aset yang sudah ada dan pengembangan pembangkit listrik baru untuk memperkuat prospek pertumbuhan jangka panjang.
“Platform energi terbarukan kami yang terdiversifikasi, dipadukan dengan pengelolaan biaya yang disiplin, memungkinkan BREN mencatat pertumbuhan pendapatan dan perluasan margin meskipun menghadapi tantangan global,” kata Hendra, dikutip pada Selasa (27/5/2025).
Sambil terus mencermati perkembangan geopolitik dan ekonomi global, ia menyatakan optimisme terhadap komitmen kuat Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission).
Pada 2025, BREN fokus memperluas kapasitas terpasang melalui program retrofit pada pembangkit listrik tenaga panas bumi yang sudah ada, bersamaan dengan pembangunan fasilitas baru di Wayang Windu dan Salak.
Inisiatif ini bertujuan meningkatkan efisiensi aset, mengoptimalkan kapasitas pembangkitan, serta memperkuat posisi BREN sebagai pelopor utama sektor energi terbarukan di Indonesia.
Sementara itu, emiten panas bumi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) secara terbuka memproyeksikan bakal meraup pertumbuhan pendapatan dan profitabilitas karena kontribusi dalam RUPTL PLN 2025–2034.
”Kami memproyeksikan adanya peningkatan kontribusi terhadap pendapatan dan profitabilitas seiring dengan berjalannya proyek dan realisasi penjualan listrik kepada PLN,” kata Manager Corporate Communication & CSR Pertamina Geothermal Muhammad Taufik kepada Bisnis, Kamis (5/6/2025).
Selain itu, Taufik menerangkan bahwa keikutsertaan PGEO dalam RUPTL juga bakal meningkatkan visibilitas dan kepastian bisnis, serta memperkuat posisi PGEO dalam ekosistem energi nasional.
PGEO sendiri tengah menyiapkan sejumlah proyek strategis dan bahkan mempercepat pengembangan proyek-proyek panas bumi untuk itu.
Proyek tersebut mencakup pengembangan proyek Lumut Balai Unit 2 dengan kapasitas terpasang 55 MW, Hululain Unit 1 & 2 berkapasitas 110 MW, hingga sejumlah proyek co-generation dengan total kapasitas 230 MW.
”Kontribusi ini merupakan bentuk nyata dukungan PGE terhadap target RUPTL yang mendorong penambahan 5,2 GW energi panas bumi secara nasional,” tambahnya.
Proyek Lumut Balai 2, kata Taufik, sedang memasuki tahap akhir dengan target penyelesaian pada akhir Juni. Saat ini, perseroan tengah menyelesaikan tahapan uji teknis dan persiapan operasi komersial agar proyek ini dapat rampung sesuai target.
Sementara itu, proyek Hululais 1 & 2 diproyeksikan rampung pada 2027. PGEO juga berupaya untuk memastikan proyek ini berjalan sesuai rencana sebab PGEO memiliki perjanjian dengan PLN untuk menyediakan suplai uap sebesar 110 MW.
Selain itu, PGEO juga telah mengidentifikasi sumber panas bumi baru di 10 wilayah kerja panas bumi (WKP). Taufik menerangkan, pihaknya tengah melakukan kajian teknis dan evaluasi secara menyeluruh untuk menentukan prioritas eksplorasi agar bisa bertahan secara jangka panjang.
PT Kencana Energi Lestari Tbk. (KEEN) secara aktif mendorong proyek-proyek energi terbarukan pada tahun ini. KEEN menargetkan laba bersih sebesar US$11 juta, setara sekitar Rp179,9 miliar (dengan kurs Rp16.355 per dolar AS), didukung oleh proyeksi pendapatan sebesar US$35,5 juta atau sekitar Rp580,6 miliar sepanjang 2025.
Direktur Utama KEEN Wilson Maknawi menyatakan bahwa kontributor utama pendapatan tahun ini berasal dari pendapatan konstruksi proyek pembangkit listrik mini-hidro Salu Noling di Luwu Selatan, yang memiliki kapasitas 10 MW.
“Kebanyakan pendapatan konstruksi kami tahun ini berasal dari proyek Salu Noling 10 MW,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (13/2/2025).
Selain itu, Wilson mengungkapkan bahwa KEEN sedang melaksanakan tender untuk beberapa proyek dengan kapasitas gabungan lebih dari 100 MW. Perusahaan juga tengah menjajaki peluang akuisisi proyek-proyek non-operasional, termasuk mengevaluasi peluang lelang yang ditawarkan oleh PLN.
Tak hanya menghadirkan magnet investasi dari sektor swasta, RUPTL PLN 2025–2034 digadang-gadang mampu menyerap lebih dari 1,7 juta tenaga kerja. Angka fantastis ini terdiri atas potensi 836.696 tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri manufaktur, konstruksi, operasi dan pemeliharaan untuk pembangkit. Kemudian 881.132 untuk transmisi, gardu induk dan distribusi.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia meyakini prospek lapangan kerja dari RUPTL ini akan mendorong pertumbuhan pekerjaan hijau atau green jobs.
“Supaya Indonesia terang, nah ini kita bikin terangan beneran ini [dengan penyerapan tenaga kerja],” ujarnya.
Menurutnya, jika dibedah lebih dalam, maka setidaknya ada 836.696 tenaga kerja yang berpotensi terserap untuk sektor pembangkitan. Adapun 91% datang dari pembangkit energi terbarukan.
“Sebesar 91% merupakan green jobs. Coba bayangkan tuh? [dampaknya]. Kira-kira begitu lah supaya anak muda bisa masuk [mendapatkan lapangan kerja],” katanya.
Baca Juga : Gonjang-ganjing Investasi Megaproyek Baterai RI |
---|
Terlepas dari optimisme tersebut, Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpandangan bahwa RUPTL 2025–2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil, baik batu bara maupun gas. Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.
Bhima berpandangan investor di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan kebingungan dengan RUPTL. Sebab, pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
"Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal," kata Bhima.
Dia juga berpendapat RUPTL anyar ini justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi.
"Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil," katanya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menyoroti target investasi yang disertakan dalam RUPTL terbaru. Dia menilai rencana penambahan listrik baru ini belum tentu secara otomatis direspons positif oleh investor. Terlebih dengan tren investasi EBT dan kelistrikan selama enam tahun terakhir yang mengalami penurunan.
Meskipun paparan Menteri ESDM mungkin menyatakan potensi lonjakan investasi, realitanya selama ini, RUPTL tidak selalu menjadi pedoman utama investasi di sektor kelistrikan.
"Ini barang tidak menjadi indikator investasi. Karena RUPTL tidak selalu menjadi pedoman investasi, buktinya enam tahun terakhir investasi listrik dan EBT flat," jelasnya.
Merujuk data Kementerian ESDM, tren investasi kelistrikan dalam enam tahun terakhir memang mengalami penurunan. Pada 2019, realisasi investasi sektor kelistrikan tercatat US$12,1 miliar, sementara pada tahun lalu terjerembab menjadi US$5,3 miliar.
Adapun investasi di sektor energi terbarukan terbilang stagnan, mengingat pada 2019 tercatat US$1,7 miliar, sementara pada 2024 sebesar US$1,5 miliar.
Kesaktian RUPTL sebagai pedoman investasi kelistrikan juga diragukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR). Lembaga riset energi ini menyoroti lemahnya kemampuan eksekusi RUPTL oleh PLN dan lemahnya pengawasan regulator.
Hal ini setidaknya tecermin dari realisasi operasional secara komersial yang hanya mencapai 1,6 GW sampai semester I/2025, dari rencana 10 GW dalam RUPTL 2021–2030.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa juga mengingatkan bahwa target ini lebih rendah dibandingkan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) yang mencapai 56 GW pada 2030. Di sisi lain, RUPTL 2025–2034 dipandang tidak selaras dengan kebutuhan untuk membatasi kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
“Salah satu faktor yang mengancam transisi energi Indonesia dan potensi krisis listrik beberapa tahun mendatang adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar dalam waktu cepat, serta bertele-telenya proses negosiasi power purchase agreement (PPA),” kata Fabby.
Selain itu, Masuknya PLTN juga perlu dikaji dengan cermat karena belum adanya keputusan resmi dari presiden, minimnya kerangka regulasi yang mengatur keamanan operasi, adanya risiko keamanan yang tinggi, ketidakjelasan teknologi yang akan dipakai serta penerimaan masyarakat yang rendah.
Hanya saja, pemerintah mengaku aturannya sedang disiapkan untuk memastikan agar PLTN dapat beroperasi pada 2032. Bahlil mengaku hati-hati bicara teknologi yang akan diterapkan, karena berhubungan dengan kepentingan negara-negara lain yang telah mengembangkan PLTN terlebih dahulu.
"Jadi mungkin pembangunannya itu lagi 4-5 tahun. Jadi mungkin 2027 sudah mulai on kerjanya. Tapi kita mulai dengan small dulu," ujar Bahlil.
Di sisi lain, pengembangan PLTS tergolong masif mengingat pengembangannya mencapai 6 GW hingga 2029. Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia Mada Ayu Hapsari menyayangkan belum ada pembagian porsi pengembangan PLTS, untuk atap, darat (ground mount), ekspor maupun terapung (floating).
Pihaknya juga mengakui investasi PLTS juga harus dibarengi dengan investasi jaringan transmisi. “Untuk menyiapkan transmisi memang krusial karena hal tersebut menjadi hal penting untuk pemanfaatan energi terbarukan. PLTS sifatnya yang intermittent maka transmisi yang cerdas jadi penting,” ujarnya.
Milestone AI Center: Peluang yang Sama di Bumi Papua