Stories
Setelah menyelam kurang lebih 40 tahun, menjaga riak-riak perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia, KRI Nanggala-402 berstatus On Eternal Patrol alias patroli abadi. Kapal selam buatan Jerman itu karam ditelan laut Bali.
27 April 2021
Rabu (21/4/2021) jelang subuh, tepatnya pukul 03.46 WITA, sea rider monitor periskop dan lampu tanda pengenal KRI Nanggala-402 meredup. Sejam berlalu, tak ada jawaban ketika ada panggilan dari pusat komando. Komunikasi pun terputus.
Sesaat kemudian, helikopter TNI Angkatan Laut (AL) dari KRI I Gusti Ngurah Rai ditugaskan melakukan pendeteksian. Heli pun berputar-putar di perairan laut Bali. Setelah sekian jam, hasilnya nihil.
Sesuai standar, tahapan demi tahapan pun dilakukan oleh TNI Angkatan Laut (AL) untuk pencarian KRI Nanggala-402 yang hilang kontak. Mulai dari fase sublook (pencarian), submiss (hilang), hingga fase subsunk (tenggelam).
Upaya pencarian dilakukan dengan melibatkan 21 KRI dan beberapa pesawat terbang milik TNI. Sejumlah negara pun ikut terlibat menyisir laut Bali. Mulai dari angkatan laut Singapura, Malaysia, Australia, India hingga Amerika Serikat.
Kepala Staf AL Laksamana TNI Yudo Margono mengumumkan kapal selam dinyatakan tenggelam di kedalaman 850 meter pada Sabtu (24/4/2021). Fase subsunk ditetapkan karena batas akhir live support atas ketersediaan oksigen untuk personel kapal habis setelah 72 jam.
Indikator selanjutnya, selama proses pencarian, ditemukan barang-barang yang diduga dari KRI Nanggala-402. Berupa pelurus tabung torpedo, pembungkus pipa pendingin, dan botol orange pelumas periskop kapal selam, serta alat salat dan spons untuk menahan panas pada freshroom.
Minggu (25/4/2021), empat hari sejak hilang kontak, kapal selam naas itu ditemukan lokasinya. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun mengumumkan 53 personel kapal selam tersebut gugur.
Mereka gugur bersama kandasnya Nanggala-402. Lokasi kapal berada di kedalaman 838 meter. Dalamnya setara dengan menara tertinggi di dunia, Burj Khalifa, Dubai. Tragisnya, bangkai kapal terbelah menjadi tiga bagian.
Tragisnya, bangkai kapal terbelah menjadi tiga bagian.
Sebelum penemuan itu, spekulasi sempat bermunculan mengenai penyebab tenggelamnya kapal selam yang mulai dibuat pada 1977 itu. Soal kelaikan kapal hingga unsur kesalahan manusia menjadi bahan dugaan Nanggala-402 karam.
Kapal selam yang sempat membawa misi intelijen ke Samudera India pada 1992 itu, disinyalir sempat mengalami black out sebelum dinyatakan hilang. Black out adalah peristiwa listrik padam sehingga mengganggu seluruh operasional kapal, termasuk alat komunikasi dan radar.
Menurut pengakuan mantan awak kapal selam tersebut, peristiwa black out pernah terjadi. black out terjadi karena sekring listrik lepas akibat guncangan arus di dalam laut. Kala itu, peristiwa black out bisa diatasi.
Pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan bahwa KRI Nanggala-402 masih layak beroperasi meskipun sudah berusia 40 tahun. Kapal itu sudah diperbarui (refurbish) pada 2012 di Korea Selatan.
Prosesnya dengan memperbaiki bagian lambung kapal selam yang bertekanan (ballast) dilepas, dan dipasang kembali. Data lain menyebutkan perbaikan termasuk sistem persenjataan, sonar, radar, kendali tempur, dan propulsi dimutakhirkan.
Setelah perbaikan, KRI Nanggala mampu menembakkan empat torpedo secara bersamaan menuju empat target yang berbeda. Kapal itu juga mampu meluncurkan misil antikapal seperti Exocet atau Harpoon.
Selain itu, kedalaman menyelam bertambah menjadi 257 meter (843 ft) dan kecepatan maksimum dinaikkan dari 21,5 knot (39,8 km/h) menjadi 25 knot (46 km/h).
Sebelum diserahkan kembali ke TNI AL, kapal itu diuji coba penyesuaian komponen untuk beradaptasi saat dioperasikan. Uji coba dengan cara direndam di laut pada kondisi normal di kedalaman 200-300 meter.
Daya selam pada mode tempur, KRI Nanggala bisa mencapai 2,5 kali kedalaman batas normal. Artinya, KRI Nanggala-402 bisa menyelam hingga kedalaman 500-600 meter.
Yang menarik adalah pernyataan Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin. Dia menduga tenggelamnya KRI Nanggala 402 terkait dengan kegagalan sejumlah perbaikan (retrofit), termasuk yang terakhir dikerjakan oleh tim dari Korsel.
Dia pun meminta agar kapal selam sejenis, yakni KRI Cakra 401 dihentikan beroperasi (grounded). Menurutnya, saat retrofit pada 2012 di Korsel menghabiskan anggaran sekitar US$75 juta atau sekitar Rp1,05 Triliun.
"Retrofit itu bukan sekadar mengganti suku cadang, tapi diperkirakan juga ada perubahan konstruksi dari kapal selam tersebut terutama pada sistem senjata torpedonya," ujarnya dalam siaran pers.
Hasanuddin pun menyoroti jumlah kru KRI Nanggala 402 yang melebihi kapasitas dari seharusnya 38 orang. Korban 53 menjadi peristiwa kecelakaan kapal selam terburuk ketiga dalam 20 tahun terakhir.
“Ada apa kok dipaksakan? Saya juga mendapat informasi bahwa saat menyelam KRI Nanggala 402 diduga tak membawa oksigen gel, tapi tetap diperintah untuk berlayar," kata politisi berpangkat terakhir Mayjen Purnawirawan itu.
Saya juga mendapat informasi bahwa saat menyelam KRI Nanggala 402 diduga tak membawa oksigen gel, tapi tetap diperintah untuk berlayar.
Namun, Panglima TNI bersama Kepala Staf AL membantah ada unsur kesalahan manusia terkait dengan tenggelamnya kapal selam tersebut. Menurut mereka, KRI Nanggala-402 karam karena faktor alam.
Yang jelas, peristiwa ini semakin menambah rentetan peristiwa kecelakaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI. Dalam setahun terakhir, ada tiga peristiwa naas yang menyebabkan puluhan korban meninggal dari personel militer.
Narasi Institute mencatat terdapat 16 kecelakaan alutsista TNI di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), termasuk tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Ke-16 kecelakaan itu terjadi dalam rentang tahun 2015 sampai 2021.
Berkaca dari hal ini, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP menyampaikan banyak hal yang perlu dievaluasi dari sistem pertahanan Indonesia, mulai dari political will, umur alutsista dan perencanaan sumber anggaran pertahanan keamanan Indonesia.
“Pemerintah bisa memprioritaskan anggaran kementerian tertentu di saat pandemi 2020 - 2021, juga seharusnya bisa memprioritaskan anggaran alutsista 2021 - 2022 sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemulihan ekonomi dan ketahanan nasional” katanya dalam siaran pers, Senin (26/2/2021).
Dia meminta, pemerintahan Jokowi menyikapi tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 secara serius. Dia berharap musibah sejenis tidak perlu terulang lagi kedepannya.
Pasca reformasi belanja alutsista negara merosot. Krisis moneter membuat kebutuhan pertahanan menjadi nomor kesekian. Akibatnya, peralatan militer Indonesia mengalami kemunduran dibandingkan negara lain.
Berdasarkan data Global Fire Power (2020), kekuatan militer Indonesia berada di peringkat 16 dari 137 negara dengan Power Index 0,2804 (nilai sempurna 0,0000).
Kekuatan militer Indonesia berada di peringkat 16 dari 137 negara.
Lima peringkat teratas kekuatan militer di dunia secara berturut-turut, yaitu Amerika Serikat, Rusia, China, India dan Perancis. Apabila dibandingkan dengan negara Asean, peringkat Power Index Indonesia masih lebih baik.
Namun, dari semua alutsista yang dimiliki oleh Indonesia, rata-rata memiliki ranking dunia berkisar 35-50 dan hanya dua alutsista yang menduduki rangking lima besar, yaitu Corvet dan Fregat. Alutsista seperti attack aircraft dan submarine masih berada di bawah peringkat 35.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah dirumuskan target Minimum Essential Force (MEF). Program ini bertujuan mengembangkan dan modernisasi kekuatan pertahanan nasional.
MEF mulai dicanangkan pada 2007. Selanjutnya kebijakan mulai berjalan pada 2009 dengan fase pertama 2010-2014, kedua 2015-2019, dan ketiga 2020-2024.
Pada periode kedua pemerintahannya, SBY mulai memperhatikan pembangunan pertahanan melalui peningkatan anggaran fungsi pertahanan mengikuti program MEF.
Alhasil pertumbuhan rata-rata realisasi anggaran fungsi pertahanan dalam periode 2008-2013 mencapai 54,9 persen per tahun atau dari Rp9,2 triliun pada 2008, menjadi Rp81,8 triliun pada 2013.
Tak hanya itu, realisasi anggaran pada sub fungsi pertahanan negara dalam periode 2008–2013 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 59,3 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp5,6 triliun dalam tahun 2008 menjadi sebesar Rp57,7 triliun dalam tahun 2013.
Kendati 2014 ada momen tahun politik, dan tahun akhir pemerintahan SBY, anggaran pertahanan tetap naik menjadi Rp83,2 triliun.
Dikutip dari laman resmi TNI AD, salah satu tinggalan alutsista jaman SBY antara lain 12 Pesawat coin Super Tucano, 8 Jet tempur F16 blok 52, 4 UAV Heron, 2 Pesawat angkut berat Hercules, 5 Pesawat angkut sedang CN295, 6 Helikopter serbu Cougar, 20 Helikopter serbu 412 EP.
Selain itu ada juga 4 Radar, 11 Heli Anti Kapal Selam, 3 Kapal Korvet Bung Tomo Class, 3 Kapal Cepat Rudal 60 m PAL, 3 LST, 2 BCM, 40 Tank Leopard, 40 Tank Marder, 50 Panser Anoa, 36 MLRS Astross II, 37 Artileri Caesar, sejumlah peluru kendali SAM, sejumlah peluru kendali anti kapal, hingga Simulator Sukhoi.
Kebijakan pembangunan sektor pertahanan pada masa pemerintahan Joko Widodo banyak dibantu oleh program MEF yang dicanangkan pada SBY berkuasa.
SBY harus diakui telah membuat legasi berupa konsep atau pondasi pembangunan pertahanan yang cukup sistematis melalui program MEF.
SBY harus diakui telah membuat legasi berupa konsep atau pondasi pembangunan pertahanan yang cukup sistematis melalui program MEF.
Meski demikian, hal itu tidak meniadakan upaya pembangunan pertahanan pada pemerintahan Jokowi. Patut dicatat, dua menteri pertahanan pada masa kabinet Joko Widodo, hampir semuanya berlatar belakang militer.
Pada periode pertama, Jokowi menunjuk Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sementara pada periode kedua, dia menunjuk Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Prabowo adalah mantan lawan politik Jokowi dalam dua kontestasi pemilihan presiden alias Pilpres.
Dia juga merupakan mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus dan Panglima Kostrad pada masa orde daripadanya Soeharto. Penunjukkan dua mantan jenderal ini adalah sinyal bahwa pemerintahan Jokowi juga menaruh perhatian yang cukup besar di bidang pertahanan.
Salah satu buktinya adalah tren kenaikan anggaran fungsi pertahanan. Pada 2015, misalnya, alokasi anggaran fungsi pertahanan mencapai Rp96,8 triliun atau naik 7 persen dibandingkan tahun 2014 yang hanya Rp83,2 triliun.
Namun demikian, berbeda dengan zaman SBY yang peningkatan anggaran fungsi pertahanannya bisa di atas 50 persen. Pada pemerintahan Jokowi, pertumbuhan alokasi anggaran fungsi pertahanan relatif lebih rendah.
Sebagai ilustrasi, dalam kurun waktu tahun 2016–2019, realisasi anggaran fungsi pertahanan secara nominal hanya tumbuh rata-rata sebesar 5,5 persen, yaitu dari Rp98,2 triliun pada tahun 2016 menjadi Rp115,4 triliun pada tahun 2019. Ini jauh dari zaman SBY yang pertumbuhan rata-ratanya mencapai 59,3 persen.
Hasil analisa anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa alokasi anggaran fungsi pertahanan dalam periode tahun 2016–2019 sebagian besar digunakan untuk membiayai 5 kegiatan.
Pertama, pengadaan amunisi kaliber kecil. Kedua, pengadaan Alpung, KRI, KAL, rantis atau ranpur matra laut. Ketiga, pengadaan atau penggantian kendaraan tempur. Keempat, dukungan pengadaan alutsista. Kelima, pengadaan atau penggantian pesawat udara.
Adapun dalam outlook tahun 2020, anggaran fungsi pertahanan menjadi Rp117,9 triliun atau meningkat 2,2 persen dari tahun 2019. Peningkatan tersebut antara lain untuk pemeliharaan dan perawatan alutsista di TNI AD dan TNI AL.
Pada 2021, alokasi anggaran fungsi pertahanan termasuk yang mengalami peningkatan bersamaan dengan pengalokasian anggaran kesehatan. Anggaran pertahanan pada tahun 2021 mencapai Rp137,2 triliun atau naik 16,3 persen dibandingkan 2020.
***
Berdasarkan catatan yang diperoleh Bisnis, pada dua fase MEF anggaran alutsista tidak terpenuhi 100 persen. Capaian MEF I dan MEF II masih di bawah target yang telah ditetapkan, yakni masing-masing 63,19 persen dan 75,54 persen.
Melesetnya target karena anggaran pertahanan pada periode 2009-2018 masih di bawah 1 persen dari PDB alias 0,68 persen. Persentase anggaran pertahanan Indonesia masih di bawah rata-rata negara-negara Asean, meskipun secara nilai termasuk terbesar. Nomor dua setelah Singapura.
Sebenarnya era SBY dan Jokowi sama-sama menaikkan anggaran bidang pertahanan, tetapi masih di bawah program MEF. Bisa jadi cekaknya anggaran alutsista yang ideal ini membuat rentetan peristiwa kecelakaan militer terjadi, salah satunya Nanggala-402.
Sudah saatnya negara menengok kembali kebutuhan anggaran alutsista dengan memperhatikan skala prioritas dan menghindarkan dari moral hazard.
Perang Bubat SoftBank vs Tencent di Indonesia
Jejak Korporasi Dunia, dari VOC hingga Apple. Siapa Juaranya?