Stories
Suara merdu para penghibur berganti jerit setelah pemerintah menetapkan pungutan pajak yang lebih besar bagi industri hiburan.
23 Januari 2024
Menyebut nama Hotman Paris, pasti terlintas dengan gaya flamboyannya yang acap kali mengenakan setelan mewah, dan perhiasan yang melingkar di setiap jari tangannya.
Selain dikenal sebagai pengacara kondang, pria kelahiran Laguboti, Sumatra Utara itu juga identik dalam bisnis hiburan malam raksasa, seperti Atlas Beach Club, Fin Beach Club, hingga W Superclub --yang dulu bernama Holywings.
Hotman Paris dapat dibilang sukses dalam menjalankan bisnis tersebut. Tidak sedikit para musisi piringan hitam atau disk jockey (DJ) internasional yang didatangkan untuk menghibur para tamu yang datang di kelabnya.
Salah satunya adalah momen pergantian tahun 2023 ke 2024. Hotman Paris memboyong salah satu DJ ternama asal Belanda, Martin Garrix ke kelab miliknya, Atlas.
Namun, belum genap sepekan, Hotman Paris menikmati tahun baru. Dia dibuat gundah gulana dengan kebijakan kenaikan pajak hiburan.
Senyum Hotman Paris meredup, usahanya harus dihantam keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak hiburan yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Keresahannya itu diunggah dalam media sosial Instagram. Dia mengunggah foto tentang surat edaran yang menunjukkan tarif pajak atas hiburan ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
"Apa ini benar!? Pajak 40 persen? Mulai berlaku Januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakk," ujarnya dalam unggahan tersebut, Sabtu (6/1/2024).
Kepada Bisnis, Hotman Paris mengungkapkan, jika pajak hiburan dipatok 40%-75% dibebankan kepada pengusaha hiburan, maka para pengusaha hiburan akan menjadi penyetor pajak terbesar.
Pasalnya, para pengusaha juga dikenakan pajak penghasilan sebesar 22%, sehingga dengan asumsi pajak hiburan yang dipatok minimal 40% maka pengusaha akan membayarkan 66% pajak, sedangkan jika dengan acuan maksimal 75%, maka pengusaha akan menyetorkan 92% pajak dari penghasilan.
"Kalau incomenya Rp1 juta maka bayar pajaknya Rp950.000, spa, karaoke, maka dia akan kena perorangan 30% jadi kalau perorangan 40+30 jadi 70%. Kalau artinya pajak lebih besar dari penghasilannya, ini namanya mematikan pengusaha hiburan, kalau karyawan ini semua di PHK siapa yang mau bayar, emang negara mau nanggung mereka?" kata Hotman kepada Bisnis, Rabu (17/1/2024).
Keresahan Hotman Paris dengan naiknya pajak hiburan pun berlanjut. Menurutnya, pemerintah sejauh ini tidak berkontribusi besar kepada sektor industri hiburan seperti spa, karaoke, dan kelab hiburan.
Dia mengklaim, usaha-usaha itu tidak pernah mendapat fasilitas dari pemerintah. Oleh sebab itu, dia merasa keberatan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah.
Hotman Paris menambahkan, pada dasarnya, bisnis hiburan justru menyerap lapangan pekerjaan dengan sumber daya manusia (SDM) yang tidak banyak terserap oleh bidang pekerjaan lainnya.
Di sisi lain, Hotman Paris menyebut, bisnis-bisnis yang lebih mentereng, seperti broker-broker reksadana malah diberikan keluasaan dalam membayar pajak dengan hanya dipatok 2%.
"Tidak ada pusat hiburan tanpa ada fasilitas, tanpa ada pariwisata tanpa ada pusat hiburan seperti ini, Anda mematikan pariwisata," tegasnya.
Tidak tinggal diam, Hotman Paris, mewakili sejumlah pengusaha ternama lainnya di sektor hiburan seperti pedangdut kondang Inul Daratista, membuat secarik surat yang ditujukan ke pemerintah.
Dalam surat yang diterima Bisnis, Hotman Paris langsung menujukan surat itu kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Hotman Paris bersama dengan Tim Hotman 911 telah menyurati Luhut pada Rabu (17/1/2024) untuk penundaan pelaksanaan Pasal 58 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Adapun, perihal surat tersebut juga ditujukan untuk meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pusat (Perppu) untuk menunda atau membatalkan pelaksanaan Pasal 58 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2022.
Dalam surat itu, Hotman Paris menyebutkan bahwa telah mendapat banyak pengaduan dengan mulai diberlakukannya peraturan tersebut.
Hotman Paris memohon agar pemerintah pusat melaksanakan haknya untuk menunda pelaksanaan atau mengubah kenaikan tarif tersebut berdasaran keweangan yang diberikan kepada pemerintah pusat sebagaimana dikutip dalam Pasal 97 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerntah Daerah.
"Bahwa kenaikan pajak hiburan yang tinggi sangat bertentangan dan keluar jalur. Misalnya, industri ini merupakan jaring pengaman untuk menyerap tenaga kerja Indonesia secara massif, tanpa memandang tingkat pendidikan," sebut salah satu poin alasan penundaan kebijakan dalam surat tersebut.
Di samping itu, alasan penundaan lainnya adalah lapangan jasa hiburan dinilai padat karya karena dapat menyerap tenaga kerja yang tergolong tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan tinggi.
Hotman menambahkan, kenaikan pajak yang begitu tinggi akan mematikan industri hiburan yang baru saja bangkit setelah dihantam pandemi Covid-19. Kenaikan pajak hiburan justru akan menghilangkan daya saing industri hiburan Tanah Air terhadap industri hiburan internasional.
Poin terkahir, kebijakan tersebut perlu ditunda lantaran para pengusaha, organisasi seperti Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Persatuan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan aturan itu.
Untuk itu, Hotman meminta pemerintah pusat untuk untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang mengubah atau menunda pelaksanaan Pasal 58 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2022.
"Atau agar lebih kuat dasar hukumnya, dimohon agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk tidak memberlakukan atau membatalkan pasal 58 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2022," jelasnya.
"Kenapa dibebankan pajak yang lebih tinggi dibanding pajak bisnis lainnya, padahal bisnis spa, karoke, melibatkan pegawai yang mungkin gajinya adalah UMR, sedangkan bisnis kelas papan atas seperti reksadana pajaknya hanya di bawah 2%, apa salahnya? kenapa harus di bebankan?" ungkap Hotman Paris.
Luhut langsung merespons permintaan Hotman Paris tersebut. Menurutnya, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun, Luhut Pandjaitan mengeklaim telah mengumpulkan instansi terkait termasuk Gubernur Bali untuk membahas ihwal penetapan pajak hiburan 40%-75%.
“Jadi kita mau tunda dulu saja pelaksanaannya itu satu karena itu, dari Komisi XI DPR RI kan itu sebenarnya, jadi bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu,” kata Luhut dalam unggahan Instagramnya, Rabu (17/1/2024).
Menurutnya, belum ada alasan kuat untuk menaikkan pajak hiburan saat ini sehingga pemerintah akan kembali mempertimbangkan aturan tersebut.
“Saya pikir itu harus kita pertimbangkan, karena keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil sangat tinggi,” ujarnya.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan melaporkan terdapat 177 kab/kota yang jauh-jauh hari sudah menerapkan tarif pajak hiburan yang sudah naik, yaitu di rentang 40% hingga 75%.
Direktur Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD) DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati mejelaskan, bahwa data tersebut berdasarkan daerah yang menetapkan tarif pajak hiburan dengan dasar Undang-Undang (UU) No. 28/2009 tentang PDRD.
Sementara itu, untuk jumlah kab/kota yang menerapkan pajak hingga 75% dengan dasar aturan terbaru, yakni UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (HKPD), Lydia belum dapat menyebutkannya.
“Dari 436 Pemda [yang telah menyampaikan Perda PDRD ke Kemenkeu] terdapat 177 daerah yang kemarin-kemarin sudah menetapkan 40% sampai 75%,” ungkapnya, dikutip Rabu (17/1/2024).
Salah satu yang diketahui telah menetapkan aturan baru tentang pajak hiburan itu adalah Pemerintah Kabupaten Badung, Bali, seperti dalam edaran yang diunggah oleh Hotman Paris.
Adapun, Kabupaten Badung menjadi salah satu penerima pajak hiburan terbesar di Pulau Dewata.
Berdasarkan data target dan realisasi pajak daerah Kabupaten Badung, porsi pajak hiburan terhadap pendapat pajak daerah masih tidak berkontribusi banyak.
Pasalnya, kontribusi terbesar pajak daerah Kabupaten Badung masih bersumber dari pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, pajak penerangan jalan, PBB P2, dan BPHTB.
Dalam kurun waktu 2017 sampai dengan 2022, realisasi pajak hiburan Kabupaten Badung tercatat Rp58,58 miliar, Rp80,28 miliar, dan mencapai puncaknya senilai Rp108,08 miliar pada 2019.
Setoran pajak hiburan Kabupaten Badung sempat merosot menjadi Rp35,57 miliar pada 2020, dan mencatatkan setoran terendahnya pada 2021 senilai Rp15,12 miliar.
Namun, seiring dengan pulihnya sektor pariwisata selepas pandemi Covid-19, setoran pajak hiburan di Kabupaten Badung mulai merangkat menjadi Rp70,36 miliar pada 2022.
Selain Kabupaten Badung, daerah yang juga telah menaikkan pajak hiburan salah satunya adalah DKI Jakarta. Warga Ibu Kota juga harus bersiap untuk merogoh kocek lebih besar untuk sekadar menikmati hiburan.
Padahal, setali tiga uang dengan Kabupaten Badung, kontribusi pajak hiburan juga bukan merupakan pos utama dalam pendapatan pajak daerah di DKI Jakarta.
Sebagai gambaran, pada 2018 Pemprov DKI Jakarta mengantongi pajak hiburan senilai Rp833,68 miliar, dan sedikit meningkat menjadi Rp859,06 miliar pada 2019.
Namun, setoran pajak hiburan di DKI Jakarta merosot pada saat pandemi Covid-19 pada 2020. Alhasil, pajak hiburan yang berhasil diterima hanya menjadi senilai Rp220,23 miliar.
Pajak hiburan DKI Jakarta mencatatkan realisasi terendahnya pada 2021 yakni Rp86,88 miliar, sedangkan mulai kembali pulih pada 2022 menjadi Rp399,63 miliar.
Kembali pulihnya aktivitas bisnis dan mulai longgarnya aturan pada masa selepas pandemi Covid-19, telah kembali menggairahkan aktivitas hiburan di Ibu Kota.
Hal itu tecermin pada setoran pajak hiburan yang mulai kembali merangkak naik menjadi Rp687,04 miliar pada 2023.
Kendati demikian, sumber pemasukan utama pajak daerah di DKI Jakarta masih berasal dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak hotel, pajak restoran, serta PBBP2, dan BPHTB.
Alih-alih mendulang sumber pendapatan baru, kenaikan pajak hiburan justru akan berdampak domino terhadap beberapa persoalan.
Kenaikan pajak hiburan dinilai akan memberikan tamparan cukup besar bagi sektor pariwisata yang selama ini menjadi andalan pemerintah untuk mendatangkan pemasukan.
Kendati demikian, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno memastikan penetapan pajak hiburan di kisaran 40%-75% dan kenaikan cukai minuman beralkohol tidak mengurangi minat wisatawan untuk berwisata di Indonesia.
Meski diakui Sandi bahwa minuman beralkohol juga menjadi elemen yang dipertimbangkan oleh wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata dan membeli produk ekonomi kreatif (ekraf).
“Kita pastikan bahwa ini tidak menjadi sesuatu yang membatalkan kunjungan wisatawan tapi mereka bisa menghitung bahwa dari seluruh produk wisata dan produk ekraf, Indonesia memiliki konsep yang berkualitas dan berkelanjutan,” jelas Sandi dalam konferensi pers, Senin (15/1/2024).
Kemudian terkait dengan pajak hiburan, Sandi menyampaikan bahwa rentang 40%-75% merupakan kisaran angka yang akan ditentukan oleh pemerintah daerah (Pemda) dalam menetapkan kebijakan sekaligus sebagai bagian dari desentralisasi fiskal.
Adapun hingga saat ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sedang menampung masukan dari pelaku industri jasa hiburan.
Pihaknya juga tengah membedah berapa biaya pajak yang ideal untuk dipungut oleh pemerintah dan biaya yang diambil dari industri ini. Mengingat adanya sejumlah biaya yang memberatkan para pelaku usaha, mulai dari keamanan, perizinan, dan biaya lainnya.
“Nah ini ambang batasnya harus kita tentukan dan biaya-biaya yang tidak resmi itu dihilangkan,” ujarnya.
Meski mendapatkan penolakan dari sejumlah pelaku usaha, Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini optimistis kedua kebijakan tersebut tidak mengganggu target dan iklim pariwisata Tanah Air.
“Sangat optimistis, ini industri yang sangat sensitif. Saya ingin mengajak kita semua yuk jaga iklim kita, biar tidak terganggu target-target yang sudah dicanangkan dan juga tercipta lapangangan kerja,” ungkapnya.
Di lain pihak, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, menilai, kenaikan pajak hiburan yang tinggi sangat bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh negara.
Pasalnya, industri ini merupakan bantalan untuk menyerap tenaga kerja Indonesia secara masif, tanpa memandang tingkat pendidikan.
“Pengenaan batasan minimal 40% sampai 75% menurut pandangan kami ini justru akan mematikan industri ini,” kata Hariyadi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).
Pernyataan tersebut sekaligus mengoreksi salah satu komentar dari pejabat pemerintah yang menyatakan bahwa sektor pariwisata tidak akan terdampak dengan adanya kenaikan pajak.
Presiden Komisaris PT Hotel Sahid Jaya International Tbk. itu menegaskan, industri jasa hiburan merupakan industri padat karya. Misalnya, untuk jasa SPA dapat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki keterbatasan, baik secara fisik, pendidikan, maupun waktu.
Belum lagi beredar informasi bahwa sektor pertunjukan dikenakan pajak tinggi lantaran konsumennya memiliki daya beli yang tinggi.
“Tetapi begitu mereka dipajakin minimal 40%, terus mereka mau jual jasanya berapa?” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari menilai terdapat beberapa kesalahan pemerintah dalam menetapkan pajak hiburan yang baru.
Menurutnya, dari jenis usaha yang ditetapkan naik, terdapat kesalahpahaman pemerintah dengan memasukkan industri salus per aquam atau SPA ke dalam kategori industri hiburan.
"Di dalam klasifikasi baku usaha lapangan inodonesia itu bukan hiburan, tapi sudah jelas sekali masuknya di kesehatan, jasa kesehatan, karena spa itu wellness tourism," ujarnya.
Di samping itu, dia menilai dalam penerapan pajak hiburan yang baru ini terdapat saling lempar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penetapan pajak.
Azril mengungkapkan, dalam hal ini, pemerintah perlu memperjelas keberpihakannya antara meraup pemasukan yang lebih besar dari pajak, atau mementingkan keberlanjutan pariwisata yang tengah dalam masa pemulihan.
"Pariwisata dari pandemi sudah tiarap, pascapandemi ini baru mau kita angkat, tetapi dipajakin besar, jadi mana yang mau dipakai, jadi tidak bisa dua-duanya dipakai," imbuhnya.
Hal terburuk, lanjut Azril, dari penetapan pajak hiburan yang besar ini adalah larinya para pelancong dalam negeri dan wisatawan asing dari Indonesia.
Dia menjelaskan, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura cenderung menebar insentif untuk pariwisata, terutama yang berhubungan dengan pariwisata kesehatan.
"Pajak yang naik bukan pajak bagi pengusaha, artinya dimasukkan kepada pengunjung, itu kan tidak fair dari segi pengusaha juga, karena mereka kan tidak mau rugi, jadi bukannya pengusaha, jadi itu lari visitor ke negara lain," ungkapnya.
Tak Ada Investasi Semahal Nyawa