bisnis-logo

Stories

Jejak Sejarah Dana Abadi Dunia, dari Viking hingga Syekh

Gagasan pengelolaan dana abadi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) dalam satu lembaga dimulai seabad lalu. Kendati dirintis di Amerika, SWF tumbuh subur di Benua Biru dan Timur Tengah. Indonesia pun ingin meniru kesuksesan mereka dengan membentuk lembaga bernama INA. Apakah bisa?

20 April 2021

A+
A-

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia termasuk terlambat membentuk pengelola Sovereign Wealth Fund (SWF) atau lembaga pengelolaan dana abadi. Hal tersebut diakui oleh Presiden Joko Widodo.

Negara-negara seperti Uni Emirat Arab, China, Norwegia, Saudi Arabia, Singapura, Kuwait, dan Qatar telah 30 tahun sampai 40 tahun memiliki SWF. Mereka telah menuai untung, terutama dalam membiayai pembangunan.

"Walaupun lahir belakangan, tidak ada kata terlambat. Saya meyakini, INA mampu mengejar ketertinggalannya," ujar Presiden Joko Widodo pidato peluncuran pengumuman dewan direksi Lembaga Pengelola Investasi, Februari lalu (16/2/2021).

Akhirnya, Indonesia membentuk dana abadi bernama Indonesia Investment Authority (INA). Pembentukan INA diinisiasi langsung oleh Presiden Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi. Bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Jokowi cukup optimistis dalam memasang target investasi INA. Dia memasang target penghimpunan dana sebesar US$10 miliar atau Rp144 triliun (kurs Rp14.400 per US$) dalam waktu enam bulan.

Yang perlu diketahui, SWF bentukan Indonesia berbeda dengan beberapa SWF yang sudah berdiri puluhan tahun lalu. SWF Indonesia, membuka kesempatan investasi dari investor lain, baik dalam dan luar negeri.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazari mengatakan bahwa lembaga tersebut tidak sama dengan yang dimiliki negara lain.

"Logika SWF Indonesia berbeda dengan negara lain. Logika SWF adalah kita ingin mengundang foreign direct investment [FDI] atau foreign fund," katanya saat sambutan diskusi virtual, Kamis (28/1/2021).

Tak bisa dipungkiri bahwa INA mirip dengan peran investment banking yang mengelola dana nasabah. Namun, pertanyaan yang banyak beredar dipublik, yaitu: apakah model SWF Indonesia ini umum dijalankan di berbagai negara?

Pasalnya, SWF di dunia yang menduduki jajaran puncak umumnya mengelola dana yang berasal dari dana pensiun, cadangan devisa, penerimaan negara dari sumber daya alam dan lain-lain.

Artinya, SWF tersebut mengelola dana yang berasal dari dalam negeri dan menginvestasikannya di berbagai kanal mulai dari investasi riil hingga saham dan obligasi pemerintah.

Namun, bukan berarti skema yang mirip dengan SWF di Indonesia tidak ada.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menuturkan bahwa model SWF yang dijalankan Indonesia mirip dengan India, National Investment & Infrastructure Fund (NIIF) India.

"Tujuannya mendapatkan financial return dan juga dalam upaya menarik FDI lebih banyak menggandeng co-investment partner dan perkembangan sektor infrastruktur jangka panjang. Ada miripnya dengan yang sedang kita bangun di SWF kita," ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPR, Senin (25/1/2021).

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan dari sekian banyak Sovereign Wealth Fund (SWF) di dunia, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia mirip mirip dengan SWF yang ada di Rusia.

Di Rusia, kata Toto, NWF bertujuan secara khusus untuk pembangunan infrastruktur di dalam negeri yang sudah dijalankan dalam beberapa tahun ke belakang.

Untuk membandingkan SWF di Indonesia dan SWF di luar sana, mari sejenak membaca perjalanan SWF yang telah berdiri puluhan tahun.

Raksasa Dari Norwegia

Terminologi Sovereign Wealth Fund (SWF) mulai dikenal pada 2005 ketika pengamat dan pakar independen ini menulis artikel berjudul Who holds the wealth of nations? di Central Banking Journal.

Namun, praktik mengelola dana dengan model SWF sudah ada lebih dari satu abad. Dikutip dari Wikipedia, SWF pertama yaitu pengelolaan dana negara bagian AS non-federal yang didirikan pada pertengahan abad ke-19. SWF ini dibentuk untuk mendanai layanan publik tertentu.

Kini, hampir semua negara maju dan berkembang memiliki SWF. Dari pantauan Bisnis, banyak SWF yang sumber dananya berasal dari penerimaan hasil produksi atau ekspor sumber daya alam, terutama minyak.

Salah satu SWF yang terbesar saat ini adalah Norges Bank Investment Management (GPFG), di mana dananya berupa dana pensiun pemerintah.

SWF ini lahir pada 1990, terbilang lebih muda dibandingkan dengan SWF lainnya, seperti Abu Dhabi Investment Authority dan Kuwait Investment Authority.

Kendati masih muda, dana kelolaan negeri bangsa Viking itu menjadi yang terbesar di dunia. Per Januari 2021, dana kelolaan SWF Norwegia mencapai US$1.122 miliar.

Menurut artikel World Economic Forum, SWF Norwegia ini terbilang unik karena didirikan untuk menginvestasikan pendapatan pemerintah dari industri bahan bakar fosil ke sektor-sektor yang dianggap lebih berkelanjutan.

Kebijakan ini diputuskan untuk memberikan masa depan ketika Norwegia tidak dapat lagi mengandalkan pendapatannya dari minyak.

Pemerintah Norwegia bebas menggunakan hingga tiga persen dari volume dana SWF ini setiap tahunnya untuk tujuan sosial - jumlah tersebut kurang lebih US$33 miliar.

Pada 2017, nilai aset SWF Norwegia tembus US$1 triliun untuk pertama kalinya. Majalah The Economist memperkirakan satu warga negara Norwegia memiliki 1 persen dari aset dunia.

Ketika diterjang pandemi pada 2020, SWF Norwegia ini masih mampu mengeruk pendapatan hingga 10 miliar poundsterling.

Pendapatan ini diterima dari ladang-ladang minyak di Norwegia yang tumbuh sebesar 10,9 persen pada 2020, seperti dilansir oleh The Guardian.

Di tengah pandemi ini, CEO Norges Bank Investment Management (NBIM) Nicolai Tangen mengatakan risiko pasar masih 'tinggi'.

Menurutnya, ledakan investor ritel yang didorong oleh kehebohan GameStop dan munculnya perusahaan akuisisi bertujuan khusus (blank cheque) atau perusahaan cek kosong menjadi tanda-tanda lingkungan pasar yang berisiko tinggi.

“Apa yang kami lihat sekarang adalah indikasi dari jenis selera risiko yang ada. Dan selera risiko tinggi. Anda melihatnya melalui situasi seperti ini seperti SPAC [perusahaan akuisisi bertujuan khusus] dan investor ritel,” ujarnya.

Dalam laporan strategi NBIM 2021-2022, di pasar modal, SWF Norwegia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengembangkan ekspektasi perusahaan yang jelas dan relevan, termasuk di dalamnya alokasi modal, keanekaragaman hayati, pengelolaan sumber daya manusia, keamanan data dan minat konsumen.

Di aset riil, perusahaan akan menargetkan portofolio real estat hingga 5 persen dari dana kelolaan, terdiri dari aset terdaftar dan tidak terdaftar yang dikelola dengan strategi gabungan.

"Fleksibilitas dalam strategi akan memungkinkan kita untuk mengambil keuntungan dari kondisi pasar yang berubah," tulis NBIM dalam laporannya.

NBIM juga secara bertahap akan membangun portofolio energi terbarukan, terutama investasi tenaga angin dan surya.

"Kami akan fokus pada proyek-proyek dengan risiko harga listrik yang rendah, arus kas yang stabil, dan risiko yang terbatas pada investasi utama."

Strategi dan perencanaan investasi yang terarah, serta mengedepankan risiko yang terukur jelas menjadi salah satu faktor kesuksesan SWF negara Skandinavia ini.

Satu hal yang bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia, SWF Norwegia tidak membentuk dana abadi atas dasar kebanggaan nasional semata.

SWF Norwegia telah melalui rangkaian tinjauan yang melibatkan teknokrat hingga akademisi, serta politisi.

Kisah Dari Timur Tengah

Bergeser ke Timur Tengah, salah satu SWF dengan aset kelolaan terbesar di wilayah ini adalah Abu Dhabi Investment Authority (ADIA).

ADIA didirikan pada 1976 dan SWF ini saat ini mengelola aset sebesar US$579,6 miliar per Januari 2021.

Meskipun didirikan pada 1976, tetapi Uni Emirat Arab (UEA) ketika dijajah Inggris pada 1960-an telah memiliki badan investasi yang mengelola pendapatan dari minyak bumi dan gas. Ketika UEA resmi merdeka, baru negara ini melanjutkan praktik tersebut lewat ADIA.

Berdasarkan laporan kinerja 2019 yang dilansir di situs resminya, porfofolio investasi jangka panjang ADIA tersebar di empat pasar utama yaitu Amerika Utara dengan 35- 50 persen, Eropa 20-35 persen, negara maju di Asia minimal 10-20 persen, serta di negara-negara berkembang minimal 15-25 persen.

Dilihat dari kelas asetnya, ekuitas di negara berkembang memiliki porsi paling tinggi, yakni minimal 32 persen dan maksimal 42 persen. Sementara itu, ekuitas di negara berkembang hanya mencapai minimal 10 persen dan maksimal 20 persen.

Kelas aset terbesar ketiga adalah obligasi pemerintah sebanyak minimal 10 persen dan maksimal 20 persen.

Ke depannya, ADIA sendiri melihat dua pasar besar yang akan menjadi pendorong pertumbuhan global, yakni China dan India.

"Secara geografis, kami terus melihat China dan India sebagai pendorong utama pertumbuhan global di tahun-tahun mendatang," ujar Managing Director Hamed bin Zayed al-Nahyan dalam laporan ADIA.

Meskipun demikian, dia melihat Afrika juga akan menjadi pasar yang menjanjikan.

Tahun lalu, ADIA bergabung bersama para investor kakap - Public Investment Fund (PIF) Saudi Arabia, Facebook, UEA SWF Mubadala Investment Co. - untuk memiliki saham di salah satu bisnis digital milik Mukesh Ambani, Jio platforms.

Dikutip dari Lexology, ADIA mengakuisisi 1,16 persen saham Jio platforms atau senilai US$750 juta.

Bersama PIF, ADIA juga berinvestasi di bisnis fiber optics milik Reliance.

Tahun ini, Sheikh Mohammed bin Zayed bin Sultan Al Nahyan juga merupakan Wakil Ketua Dewan ADIA mengumumkan investasi sebesar US$10 miliar atau Rp144 triliun (Rp14.400/US$) untuk INA.

Hebatnya, investasi ini diarahkan langsung oleh sang putra mahkota, setelah melakukan percakapan dengan Presiden Joko Widodo.

Negeri Jiran

Menengok Negeri Jiran, Singapura ternyata sudah lebih dulu memiliki dua SWF besar, bila dibandingkan dengan Indonesia. Dua-duanya masuk di jajaran 10 SWF dengan dana kelolaan terbesar di dunia.

Keduanya, yaitu Government of Singapore Investment Corporation (GIC) Private Limited dan Temasek Holdings yang sama-sama didirikan oleh pemerintah.

GIC mengelola aset senilai US$453,2 miliar dan Temasek Holdings sebesar US$417,4 miliar. Apa perbedaan keduanya?

Seperti diketahui, GIC yang didirikan Pemerintah Singapura pada 1981 memiliki fokus utama mengelola cadangan devisa Negeri Merlion itu. Dalam praktiknya, GIC didorong untuk menanamkan dananya di aset berdenominasi non-dolar Singapura.

Sementara itu, Temasek adalah holding perusahaan investasi dengan portofolio global. Temasek memiliki mandat yang mengharuskannya berinvestasi pada kombinasi perusahaan lokal.

Dikutip dari laporan 2019-2020, GIC mencatat keuntungan riil dalam 20 tahun terakhir--hingga Maret 2020--mencapai 2,7 persen per tahun, tetapi turun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya tumbuh 3,4 persen.

Penurunan ini dipicu oleh imbal hasil dari bubble teknologi 21 tahun lalu, ketimbang pergerakan pasar saat ini.

Saat pandemi ini, GIC mengkhawatirkan adanya kerentanan dalam lingkungan investasi. SWF Singapura ini juga was-was soal harga aset, keterbatasan ruang kebijakan, dan ketidakpastian geopolitik.

GIC berupaya untuk mengurangi aset berbentuk saham dan menambah uang tunai, serta mengevaluasi transaksi investasi dengan hati-hati.

Dari portofolio kelas aset, dominasi aset dipimpin oleh uang tunai dan surat utang sebesar 44 persen per Maret 2020, naik dari 39 persen pada 2019. Posisi kedua ditempati oleh ekuitas di pasar berkembang dan pasar negara maju sebesar masing-masing 15 persen per Maret 2020.

Portofolio terbesar GIC berada di Amerika Serikat sebanyak 34 persen dan Asia (kecuali Jepang) sebesar 19 persen.

Sementara itu, Temasek yang berdiri sejak 1974 memiliki jejak bisnis di Indonesia. Temasek pernah memiliki saham di PT Bank Danamon Indonesia Tbk., sebelum akhirnya melepaskan sahamnya ke MUFG. Sempat juga menggenggam saham di PT Bank Internasional Indonesia Tbk. yang dilepas ke Maybank Group Malaysia.

Pada 2020, Temasek bersama Google menyepakati perjanjian untuk menyuntikkan dana segar ke Tokopedia. Menurut sumber Bloomberg, nilainya mencapai US$350 juta atau sebesar Rp5,11 triliun.

Di sisi lain, pada 2020, bukan tahun yang baik ekonomi dan bisnis. Pandemi memukul banyak sektor, termasuk Temasek.

Portofolio bersih Holdings (Private) Limited, perusahaan investasi milik Pemerintah Singapura, turun dari rekor tertinggi tahun lalu.

Penurunan ini untuk pertama kali terjadi dalam 4 tahun terakhir dan dampak pandemi virus corona jenis Covid-19 merupakan penyebab utama memburuknya kinerja finansial perusahaan tersebut.

Portofolio bersih Temasek bernilai Sin$306 miliar pada 31 Maret 2020, yang berarti 2,2 persen lebih rendah dibandingkan dengan rekor tahun lalu yang mencapai Sin$313 miliar, demikian pernyataan Temasek dalam tinjauan tahunannya pada Selasa (8/9/2020).

Pengembalian setahun bagi pemegang saham minus 2,28 persen, dibandingkan dengan 1,49 persen pada tahun keuangan sebelumnya.

Dalam jangka panjang, total pengembalian pemegang saham selama 10 tahun adalah 5 persen, turun dari 9 persen tahun lalu.

Terakhir kali laba periode setahun Temasek untuk pemegang saham negatif adalah pada 2016, ketika turun menjadi minus 9,02 persen akibat penurunan harga saham dari penempatan investasi.

Temasek mencatat bahwa pengembalian pemegang saham setahun adalah minus 29,6 persen pada 2009 selama krisis keuangan global, dan minus 18,8 persen pada 2003 di tengah epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Namun, guncangan ini tampaknya tidak akan menyurutkan kinerja Temasek secara keseluruhan.

Etos Temasek sejak lahir sudah dibentuk oleh sejarah pasca-perang Singapura. Kondisi di mana Negeri Jiran ini menghadapi krisis. Inilah yang membuat Temasek memiliki disiplin fiskal yang baik.

Selama hampir 47 tahun berdiri, Temasek selalu mengedepankan meritokrasi dan integritas.

Bagi INA yang masih ‘orok’, kisah sukses pengelolaan dana abadi dari Negeri Viking, hingga Negeri Jiran harus dijadikan cerminan.

Meskipun tertinggal 20-40 tahun dibandingkan para raksasa SWF tersebut, Indonesia masih memiliki kans untuk mendorong SWF.

Perlu dipahami, pekerjaan rumah (PR) terbesar SWF Indonesia bukanlah target aset kelolaan yang harus dicapai.

Tapi menjaga kepercayaan public – baik lokal dan internasional – dengan manajemen, pengelolaan dan investasi yang bermutu.

Hal ini harus dicapai, karena korupsi masih melekat erat dengan nama Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi/ Corruption Perception Index Indonesia pada 2020 turun sebanyak 3 poin menjadi 37 dari sebelumnya 40 pada 2019. Alhasil, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei untuk indeks ini.

Tentunya, semua pihak tidak ingin SWF Indonesia berakhir buruk sebelum menuai untung, seperti SWF Malaysia, The 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang merugikan negaranya hingga Rp100 triliun.

Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Pil Pahit Pabrikan Otomotif

Next

Geger Bank Digital dan Perburuan Para Taipan

back-to-top
To top