bisnis-logo

People

Jatuh Bangun Keluarga Djarum, dari Bisnis Mercon hingga Ambil Alih BCA

Anggota keluarga yang tak mampu mengelola bisnis, mereka tak perlu memaksakan diri untuk ditempatkan di posisi strategis di perusahaan Grup Djarum.

29 September 2025

A+
A-

Di balik kejayaan bisnis Grup Djarum, yang memboyong Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono menjadi orang terkaya di Indonesia, tersimpan pengalaman traumatis yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pengalaman traumatis itu menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus Grup Djarum dalam menyusun strategi agar bendera bisnis keluarga itu terus berkibar. 

Jejak keluarga Grup Djarum di Tanah Air bermula dari kedatangan imigran asal Fuzhou, China. Kakek moyang Bambang dan Budi Hartono itu mendarat di Lasem, Jawa Tengah, dan mulai berbisnis.

Bisnis yang dirintis kala itu adalah produksi minyak kacang tanah. Produk itu dipilih karena derah Tuban, Rembang, dan Pati merupakan sentra produksi kacang tanah. Bisnis itu berjalan lancar hingga masuknya tanaman kelapa sawit dari Afrika yang kemudian mengubah peta industri minyak nabati.

Alhasil, usaha minyak kacang tanah pun meredup dan hilang ditelan zaman. Leluhur Grup Djarum pun harus legowo untuk mengucapkan sayonara terhadap bisnis minyak kacang yang selama ini menjadi sumber nafkah keluarga. Peristiwa gulung tikar bisnis minyak kacang itu menjadi pengalaman traumatis pertama yang dialami oleh kakek moyang pendiri Grup Djarum.

Pengalaman traumatis berikutnya erat kaitannya dengan bisnis mercon. Adalah Oei Wie Gwan, ayah Bambang dan Budi Hartono, yang merintis usaha Mercon Cap Leo (Vuurwerk Tjap Leeuw) pada 1927 di Rembang, Jawa Tengah. Setiap harinya, mesiu diolah menjadi mercon oleh para pekerja yang bernaung di dalam bilik-bilik kecil. Peak season usaha Mercon Cap Leo terjadi setidaknya tiga kali dalam setahun, yaitu saat Lebaran, Tahun Baru Imlek, dan Tahun Baru Masehi.

“Mercon sudah dipakai selama 4.000 tahun dan kami pikir mestinya 4.000 tahun lagi mercon masih dipakai untuk entertainment. Nyatanya enggak tuh,” kata Victor Hartono dalam acara Meet The Leaders bertajuk Djarum: a Story of Strategic Succession yang digelar oleh Universitas Paramadina, akhir Juli 2025.

Keruntuhan bisnis Mercon Cap Leo milik Oei Wie Gwan dimulai dengan kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pada Maret 1942. Jepang yang kala itu sedang berperang dengan Amerika Serikat melakukan penjajahan untuk merenggut sumber daya alam, seperti minyak, batu bara, dan karet. Pemerintah Hindia Belanda merespons invasi Jepang dengan kebijakan menutup pabrik Mercon Cap Leo yang bahan baku utamanya adalah mesiu.

Penutupan itu didasari atas ketakutan bahwa mesiu dari pabrik yang beroperasi di Rembang itu bakal jatuh ke tangan Jepang dan digunakan oleh pasukan Nippon untuk membuat bom. Inventori mesiu milik pabrik Mercon Cap Leo pun dibawa kabur ke Australia oleh pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu, tidak ada lagi perusahaan legal yang memproduksi mercon di negara yang saat ini bernama Indonesia.

“Jadi ini pengalaman traumatis buat keluarga saya. Ini pelajaran lagi, yang kami pikir berkelanjutan, tiba-tiba kejadian seperti ini,” ucap Victor Hartono.

Setelah pabrik Mercon Cap Leo gulung tikar, Oei Wie Gwan tak patah arang. Meski sempat terkatung-katung, darah pengusaha yang mengalir deras di dalam sosok perintis Grup Djarum itu membawanya menggeluti berbagai lini bisnis, termasuk konstruksi. Meski begitu, pria yang lahir pada 1902 itu punya kriteria bidang usaha yang bakal dia jalani.

Merujuk pada penuturan Victor, kakeknya itu menekankan agar bisnis keluarga mereka menghindari bidang usaha yang ilegal, seperti narkoba dan senjata. Oei Wie Gwan juga tidak suka dengan bisnis yang dalam operasionalnya melibatkan aktivitas menghilangkan nyawa makhluk hidup, seperti rumah potong hewan. Di sisi lain, jenis usaha yang dia sukai ialah barang-barang konsumsi yang cepat habis dan dapat menghasilkan arus kas dengan cepat.

Atas pertimbangan itulah Oei Wie Gwan melirik bisnis rokok. Pada 74 tahun silam, Oei Wei Gwan membeli merek dan lisensi nama Djarum sekitar Juli 1950. Sembilan bulan kemudian, dia mendirikan brak kretek pertama di Kudus, Jawa Tengah, pada 21 April 1951. Sekitar 12 tahun lamanya Oei Wei Gwan jatuh bangun membesarkan bisnis kretek linting tangan Djarum dengan racikan tembakau dan cengkih dengan cita rasa yang khas sebelum tutup usia pada 1963.

Perjalanan Grup Djarum kemudian dilanjutkan oleh generasi keduanya, yaitu Oei Hwie Siang alias Michael Bambang Hartono dan Oei Hwie Tjhong alias Robert Budi Hartono. 

Tangan dingin Hartono bersaudara membawa sayap bisnis Djarum semakin melebar. Grup Djarum mendirikan Departemen Research & Development (R&D) pada 1960-an. Langkah itu dilanjutkan dengan pembangunan pusat penelitian dan pengembangan resmi pada 1970-an. 

Di pusat penelitian itulah Grup Djarum melahirkan inovasi dan racikan-racikan kretek baru. Mulai dari kretek rendah tar dan nikotin, kretek tanpa nikotin, hingga cerutu kretek pertama di dunia. Kini, beberapa produk Djarum yang terkenal di pasaran antara lain Djarum Coklat, Djarum 76, Djarum Super, LA Lights, dan Djarum Black.

Generasi Ketiga Keluarga Djarum & Siasat Diversifikasi

Suksesi Grup Djarum sudah disiapkan Bambang dan Budi Hartono saat usia senja. Generasi ketiga Grup Djarum digawangi oleh empat anak Bambang Hartono dan tiga anak Budi Hartono. Empat orang anak Bambang Hartono adalah Stefanus Hartono, Vanessa Hartono, Natalia Hartono, dan Roberto Hartono. Sementara itu, Victor Hartono, Martin Hartono, dan Armand Hartono merupakan putra dari Budi Hartono.

Di antara tujuh orang generasi ketiga Grup Djarum, adalah Victor Hartono putra tertua Budi Hartono yang mendapat kepercayaan untuk melanjutkan tongkat estafet bisnis kretek Djarum. Pria kelahiran Semarang itu bergabung di PT Djarum dengan menjalani program management trainee sejak 1994 hingga Juni 1995 selepas lulus dari University of California, Amerika Serikat, dengan gelar Bachelor of Science jurusan teknik mesin.

Setelah menyelesaikan program management trainee di PT Djarum, Victor kembali duduk di bangku sekolah dan meraih gelar Master of Business Administration (MBA) dari  Kellog School of Management, Northwestern University, AS, pada 1998. 

Tak lama setelah kembali ke Tanah Air, Victor didapuk untuk duduk di kursi Chief Operating Officer (COO) PT Djarum sejak 1999 hingga sekarang. Victor juga tercatat sebagai inisiator Djarum Foundation yang berdiri sejak Juli 2014. 

Pundi-pundi yang diperoleh keluarga Hartono dari bisnis rokok mulai mengalir ke sektor usaha lainnya sejalan dengan masuknya ide-ide segar dari generasi ketiga Grup Djarum. Langkah diversifikasi itu sekaligus mencerminkan mitigasi dari generasi ketiga Grup Djarum kalau-kalau bisnis rokok akan tiarap suatu saat nanti. 

“Kami sudah lama ketakutan rokok akan jadi sunset industry. Jadi, sudah segala macam kami usahakan. Masuk ke Polytron, masuk ke Blibli.com, masuk ke Hartono Plantation. Sudah segala macam kami kerjakan,” ucap Victor dalam acara Meet The Leaders bertajuk Djarum: a Story of Strategic Succession yang digelar oleh Universitas Paramadina, akhir Juli 2025.

Perasaan insecure itu, kata Victor, berdasar pada peristiwa masa lalu saat bisnis keluarganya di bidang minyak kacang tanah dan produksi mercon gulung tikar digerus lintasan zaman.

Selain Victor, enam orang generasi penerus Grup Djarum punya jalan yang berbeda-beda. Martin Basuki Hartono menggeluti bidang modal ventura melalui GDP Ventures. Sementara itu, Armand Wahyudi Hartono saat ini menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA). 

Lain lagi dengan anak-anak Bambang Hartono. Saat ini, Roberto Hartono berkarier di PT Hartono Istana Teknologi atau Polytron. Adik Roberto, Tessa Natalia Damayanti Hartono sempat menempati posisi CEO Grand Indonesia.

Berbeda jalur dengan saudara dan sepupunya, Vanessa Hartono memilih untuk fokus mengurus keluarga tanpa terlibat langsung menempati jabatan strategis di perusahaan milik keluarganya. Sementara itu, Bisnis tidak mendapat informasi tentang jabatan yang diduduki oleh Stefanus Hartono selain tercatat sebagai salah satu pemegang saham tidak langsung PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR). 

Melanjutkan cerita diversifikasi Grup Djarum, keluarga Hartono pertama kali terjun ke luar bisnis rokok pada 1970-an. Grup Djarum tercatat mendirikan PT Indonesia Electronic & Engineering pada 1975 yang kemudian hari berubah nama menjadi PT Hartono Istana Teknologi. Perusahaan itu meluncurkan produk Polytron pertama berupa televisi hitam putih pada 1979. 

Bisnis manufaktur elektronik Grup Djarum itu dipimpin oleh sosok dari kalangan profesional. Adalah Hariono yang ditunjuk sebagai CEO Polytron sejak 2005 hingga saat ini. Adalah Roberto Hartono yang disiapkan sebagai suksesor Polytron dari internal keluarga Hartono setelah dia dipindahkan dari PT Djarum untuk menapaki karier di Polytron.

Meskipun merupakan generasi ketiga Grup Djarum, Roberto harus merangkak dari posisi sebagai manajer hingga general manager di Polytron. Keluarga Hartono kemudian merekomendasikan agar Roberto dipromosikan untuk mendampingi CEO Polytron dan duduk di kursi direksi. Melansir laman Linkedin, Roberto bertanggung jawab di bidang Business Development PT Hartono Istana Teknologi. 

Langkah Bambang dan Budi Hartono melakukan diversifikasi bisnis Grup Djarum selanjutnya mengarah ke sektor properti. Grup Djarum membangun bisnis perumahan dan perhotelan yang tersebar di sejumlah wilayah, misalnya saja Bali Padma Hotel di Bali, Perumahan Karasang Resinda di Karawang, serta Perumahan Graha Padma dan Bukit Muria di Semarang.

Pada sektor properti kepemilikan oleh klan Djarum yang paling terkenal adalah PT Cipta Karya Bumi Indah sebagai swasta yang memenangkan pengelolaan kawasan Grand Indonesia pada 2004. Perusahaan tersebut kemudian membangun pusat perbelanjaan Grand Indonesia dan renovasi Hotel Indonesia menjadi hotel bintang 5 dengan nama Hotel Indonesia Kempinski. 

Setelah Polytron dan properti, Grup Djarum resmi masuk sebagai pemegang saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) pada 2002.

Pada 2010, perkembangan industri online dan digital economy membawa Grup Djarum masuk ke bidang modal ventura GDP Venture yang didirikan oleh Martin Basuki Hartono. Martin tercatat pernah mengenyam pendidikan ekonomi di San Diego Mesa College (1992-1994), dan Master of Business Administration Drucker School of Management (1996-1998). Istri Martin adalah Grace L. Katuari, anak dari pemilik Wings Group, Eddy William Katuari. 

Di bawah nakhoda adik Victor Hartono sekaligus Business Technology Director Djarum itu GDP Venture menjadi perpanjangan tangan Grup Djarum untuk mendukung pengembangan ekosistem digital di Indonesia. Sebagai CEO, Martin Hartono membawa GDP Venture untuk menanamkan modal di berbagai perusahaan dari sektor perdagangan, media dan hiburan, solusi teknologi dan kreatif, hingga produk konsumen. 

GDP Ventures tercatat melakukan investasi di beragam startup dan perusahaan teknologi, seperti Blibli, Dekoruma, Halodoc, Tiket.com, Cermati.com, dan masih banyak lainnya. GDP Venture juga chip in di perusahaan produsen sepatu lokal Brodo dan sepeda listrik Vintage electric bikes.

Di sektor media dan hiburan, GDP Venture merupakan investor IDN Times, Kumparan, Popbela.com, Narasi, hingga Yummy. Khusus di sektor musik, terdapat portfolio GDP Venture di 88rising, sebuah perusahaan musik yang berbasis di Amerika Serikat. Beberapa penyanyi Indonesia yang berada di bawah naungan 88rising di antaranya Rich Brian, Niki, Warren Hue, dan Stephanie Poetri.

GDP Venture membuka gerbang Grup Djarum untuk menjadi pemegang saham perusahaan e-commerce PT Global Digital Niaga Tbk. (BELI) atau Blibli.com. Selain jadi bos GDP Venture, Martin Hartono juga menjabat sebagai Komisaris Utama Blibli.com dan menjadi satu-satunya orang dengan nama belakang Hartono yang tercatat dalam Laporan Tahunan Blibli edisi 2024.

Bambang dan Budi Hartono pemilik Grup Djarum menguasai Blibli secara tidak langsung melalui PT Lingkarmulia Indah dan anak usahanya PT Global Digital Prima, hingga cucu usahanya PT Global Investama Andalan. Hingga akhir 2024, PT Global Investama Andalan menggenggam 77,03% saham BELI dan sisanya 22,97% dimiliki oleh publik. 

Arus diversifikasi usaha juga membawa Grup Djarum mengalirkan modal ke sektor jasa infrastruktur telekomunikasi, PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR). Saat ini, TOWR merupakan induk usaha PT Protelindo, PT iForte Solusi Infotek, PT Solusi Tunas Pratama Tbk. (SUPR), PT Inti Bangun Sejahtera Tbk. (IBST), dan teranyar PT Remala Abadi Tbk. (DATA).

Hingga akhir 2024, Grup Djarum memiliki 54,42% saham TOWR melalui PT Sapta Adhikari Investama dan 5,58% melalui PT Dwimuria Investasi Andalan. Ditelisik lebih dalam, PT Sapta Adhikari Investama dimiliki oleh PT Caturguwiratna Sumapala dengan porsi 49% dan PT Tricipta Mandhala Gumilang sebesar 51%. Keduanya merupakan milik generasi ketiga dan keempat Grup Djarum.

Empat orang anak Bambang Hartono, yaitu Stefanus Wijaya Hartono, Roberto Setiabudi Hartono, Tessa Natalia Damayanti Hartono, dan Vanessa Ratnasari Hartono merupakan pemegang saham PT Caturguwiratna Sumapala.

Sementara itu, PT Tricipta Mandhala Gumilang dimiliki oleh Vanessa Ratnasari Hartono, Martin Basuki Hartono, Armand Wahyudi Hartono, Alicia Katrina Hartono, Jacqueline Chiara Hartono, dan Marco Krisna Hartono. Meski begitu, tak ada satu pun dari nama generasi ketiga dan keempat keluarga Hartono yang duduk di jabatan komisaris dan direksi PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR). 

Di antara berbagai manuver diversifikasi itu, lompatan besar yang berdampak krusial terhadap kejayaan Grup Djarum tak lain adalah keputusan untuk menanamkan modal di sektor perbankan. Dalam dekapan Grup Djarum, BCA menjelma menjadi bank swasta terbesar di Tanah Air.

Langkah Krusial Akuisisi BCA

Saat ini, kepemilikan Grup Djarum di BCA dilakukan melalui PT Dwimuria Investama Andalan. Menengok ke belakang, aksi akuisisi BCA oleh Grup Djarum merupakan proses panjang dan berliku.

Perubahan pengendali BCA berawal dari gelombang krisis moneter di Indonesia pada 1997—1998. BCA mengalami bank rush yang berujung menjadi bank take over yang disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998.

“Kami di-rush luar biasa. Lebih dari 35% dana pihak ketiga kami dikuras, ditarik,” kenang Mantan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja yang kini menjabat sebagai Presiden Komisaris BCA, pada medio Juni 2020.

Pada 1999, rekapitalisasi tuntas. BCA tak lagi sepenuhnya milik Salim Group. Usai rekapitalisasi rampung setahun kemudian, Pemerintah RI melalui BPPN mengempit 92,8% saham BCA sebagai hasil pertukaran dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam proses rekapitalisasi, kredit pihak terkait ditukarkan dengan Obligasi Pemerintah. BPPN akhirnya melakukan divestasi 22,5% dari seluruh saham BCA melalui penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) pada 2000.

Selanjutnya, penawaran publik kedua kembali sebanyak 10% dari total saham BCA dilakukan pada 2001. Dengan demikian, kepemilikan BPPN atas BCA berkurang menjadi 60,3%.

Setahun kemudian atau tepatnya pada 14 Maret 2002, konsorsium Farallon Capital diumumkan sebagai pemenang tender strategic private placement atas 51% saham BCA dengan harga Rp1.775 per lembar. Nilai total transaksinya kala itu mencapai Rp5,3 triliun.

Konsorsium yang menggandeng Deutsche BankAG sebagai mitra strategis untuk memberikan bantuan teknis pengembangan BCA itu menyingkirkan calon investor lainnya seperti Standard Chartered Bank dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). 

Kepemilikan Grup Djarum dalam BCA terekam dalam Laporan Tahunan BCA. Pemerintah Republik Indonesia, melalui BPPN tercatat menjual sebagian besar kepemilikannya atas saham BCA kepada FarIndo Investments (Mauritius) Limited pada April 2002. FarIndo Investments (Mauritius) Limited merupakan sebuah perusahaan patungan di mana pemilik terakhir adalah dana-dana yang diawasi oleh Farallon Capital Management LLC dan keluarga Hartono.

Lebih terperinci, pemilik anyar BCA itu dibentuk oleh dua konsorsium besar, yaitu Alaerka Investment dan Farindo Holdings dengan komposisi 10%–90%. Alaerka Investment yang merupakan milik Robert Budi Hartono pada perkembangan selanjutnya membalik komposisi konsorsium tersebut menjadi 90%–10%.

Setelah transaksi itu, Farallon Capital Management LLC dan keluarga Hartono menjadi pemegang saham mayoritas baru dengan jumlah kepemilikan 3.153.005.000 saham BCA yang mewakili 52,4% hingga akhir 2002.

Keluarga Hartono berdampingan dengan konglomerat lainnya, yaitu Soedono Salim yang saat itu menggenggam 1,12% saham BCA, Anthoni Salim 1,85%, dan Andree Halim 2,1%. 

Grup Djarum kemudian mengalihkan kepemilikan saham BCA ke PT Dwimuria Investama Andalan sebanyak 11,62 miliar saham atau setara dengan 47,15% pada 2016. Transaksi pengalihan saham itu dilakukan bertepatan dengan bergulirnya program tax amnesty yang dicanangkan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo. 

Berdasarkan catatan Bisnis, pada awal Desember 2024, pemegang saham pengendali BCA adalah Grup Djarum melalui PT Dwimuria Investama Andalan dengan porsi kepemilikan 54,94% atau 67,72 miliar saham. 

Dwimuria Investama dimiliki oleh Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono. Selain itu, keduanya menggenggam kepemilikan saham BCA atas nama pribadi yakni masing-masing sebanyak 28,13 juta lembar dan 27,02 juta lembar saham. Alhasil, keduanya menjadi pengendali BCA.

Hingga 31 Juli 2025, BCA menggenggam aset sebesar Rp1.466,75 triliun, sebuah lompatan jauh dari masa-masa krisis yang pernah menyeret BCA ke bibir jurang likuidasi.

Generasi ketiga keluarga Hartono yang menapaki karier di BCA adalah anak bungsu Budi Hartono, yaitu Armand Wahyudi Hartono. Merujuk laporan tahunan BCA, perjalanan Armand di BCA dimulai dari jabatan sebagai Kepala Perencanaan dan Pembinaan Wilayah BCA pada 2004—2009. 

Armand lantas naik ke kursi Direktur BCA sejak 2009. Dia kemudian diangkat sebagai Wakil Presiden Direktur BCA dalam RUPS Tahunan 2016 dan mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan pada 21 Juni 2016. Jabatan itu ditempati oleh Armand hingga saat ini. 

Sebelum hijrah ke BCA, Armand lebih dulu bekerja di berbagai posisi manajerial di PT Djarum sepanjang 1998–2004 dan sempat menjabat sebagai Direktur Keuangan, Deputy Purchasing Director dan Kepala Sumber Daya Manusia. 

Meski merupakan generasi ketiga Grup Djarum, Armand tidak duduk di kursi Direktur Utama BCA. Saat Jahja Setiaatmadja lengser dari jabatan Presiden Direktur BCA yang djiabat sejak 2011, pemegang saham emiten berkode saham BBCA itu justru menyerahkan posisi bos BCA ke tangan Gregory Hendra Lembong yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Direktur Utama BCA atau jabatan yang sama dengan Armand Hartono saat ini. Gregory diangkat sebagai Presiden Direktur BCA sejak 2 Juni 2025.

Di bawah transisi pergantian presiden direktur, BCA kembali digoyang oleh rumor pengambilalihan saham perseroan oleh negara lalui Badan Pengelola Investasi Danantara.

Berdasarkan catatan Bisnis, beredar isu yang menyebutkan tentang rumor bahwa negara melalui Danantara mengambil alih saham BCA pada Agustus 2025. Rumor ini disebut berkait dengan dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada era krisis moneter 1998. Kala itu, BCA mendapatkan kucuran BLBI, sebelum berlanjut pada proses divestasi.

Rumor itu sempat mengguncang grafik harga saham BBCA di lantai bursa. Beruntung, Chief Executive Officer (CEO) Danantara Indonesia Rosan Perkasa Roeslani buka suara dan menepis rumor mengenai rencana sovereign wealth fund (SWF) tersebut untuk mengakuisisi mayoritas saham BCA. Rosan, yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi, memastikan saat ini tidak ada agenda dari Danantara untuk mengambil alih kendali BCA.

Tak berselang lama dari mencuatnya rumor tersebut, Djarum dikabarkan berpartisipasi pada pembelian Patriot Bond, obligasi yang dirilis oleh BPI Danantara dengan total nilai Rp50 triliun. Obligasi yang dibanderol kupon 2% itu dikabarkan mengalami kelebihan permintaan (oversubscribe).

Djarum berada di deretan teratas sebagai pembeli obligasi berjangka 5 tahun dan 7 tahun tersebut. (Baca: Patriot Bond Dikabarkan Oversubscribe, Djarum di Daftar Teratas Penawar)

Trauma Masa Lalu Grup Djarum

Dihantui oleh peristiwa traumatis masa lalu, Grup Djarum sangat berhati-hati dalam memastikan kelangsungan dan perkembangan bisnis keluarga mereka. Apalagi dalam bisnis keluarga dikenal adagium yang populer yang kerap disebut sebagai ‘kutukan’ generasi keempat yang berbunyi “generasi pertama membangun, generasi kedua mempertahankan, generasi ketiga menghabiskan, generasi keempat kehilangan.”

Disebut ‘kutukan’ karena perusahaan keluarga cenderung sulit bertahan hingga generasi keempat. Hasil survei Family Business Institute (FBI) beberapa waktu lalu mengamini hal itu.

Family Business Institute menemukan bahwa hanya 4% perusahaan keluarga yang mampu bertahan hingga generasi keempat. Artinya, 96% perusahaan keluarga bakal gulung tikar alias rungkad pada generasi keempat. 

Grup Djarum menjadi salah satu perusahaan keluarga di Indonesia yang sedang mati-matian menghindari kutukan generasi keempat itu.

Menurut Victor Hartono, saat ini, generasi keempat Djarum sudah berjumlah 18 orang. Bagi anggota keluarga yang tak mampu atau tak cocok terlibat mengelola bisnis, mereka pun tak perlu memaksakan diri untuk ditempatkan di posisi strategis di perusahaan Grup Djarum. 

“Kalau tidak kompeten, lebih baik cukup menikmati dividen saja.”

Dengan pohon bisnis Grup Djarum yang sudah bercabang ke berbagai sektor usaha, generasi penerus kerajaan bisnis keluarga itu memiliki ruang yang luas untuk mendalami dan terjun ke bidang yang sesuai dengan minat dan kecocokan, asalkan ditunjang oleh kapabilitas yang mumpuni. Dia mencontohkan, generasi keempat Grup Djarum ada yang tak suka merokok sehingga tak dipaksa terlibat di perusahaan rokok. 

Sebagai pewaris, Victor menegaskan adalah tugasnya dan enam orang generasi ketiga Grup Djarum lainnya untuk meneruskan tongkat estafet dari Bambang dan Budi Hartono, serta menyiapkan jalan suksesi yang mulus bagi generasi keempat Grup Djarum. Harapannya, Grup Djarum akan berkembang lebih baik di bawah gerak lincah generasi-generasi berikutnya.  (Oktaviano D.B. Hana/Patricia Yashinta Desy Abigail)

Penulis : Ana Noviani
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Generasi Muda dan Tantangan Literasi Finansial

Next

Ironi Penjualan Apartemen di Jantung Ibu Kota

back-to-top
To top