bisnis-logo

Stories

Jalan Perang Rusia: di Antara Neo Nazi, Biden & Oligarki Ukraina

Trauma masa lalu Rusia yang dikepung Nazi Jerman melalui sandi perang 'Operasi Barbarossa' 81 tahun lalu menjadi motif menyerbu Ukraina. Neo Nazi dituding bangkit di negeri yang dipimpin oleh mantan pelawak tersebut.

18 Maret 2022

A+
A-

Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi khusus di Ukraina. Ratusan tank hingga pesawat tempur bergerak merangsek masuk dan memborbardir kota-kota di Ukraina. Ribuan orang tewas.

Operasi khusus, demikian kata Putin, dilakukan untuk membendung kekuatan nasionalis Ukraina yang di dalamnya ada unsur Neo Nazi. Rusia tidak ingin Ukraina jauh dari 'Blok Timur' dan semakin mendekat ke 'Barat' yang kanan.

Gerakan Neo Nazi sendiri menjadi salah satu momok bagi peradaban Barat. Neo Nazi berkembang pesat pasca Perang Dunia ke II. Sama seperti pendahulunya, gerakan ini memperjuangkan pemurnian ras' dengan retorika anti agama, imigran, dan kebencian terhadap kelompok tertentu.

Ukraina, salah satu negara bekas Soviet yang komunis, menjadi tempat subur kebangkitan Neo Nazi. Media Israel, The Time of Israel, bahkan pernah menyoroti peristiwa pawai perayaan Waffen SS, satuan elit tentara Nazi, pada April 2021 lalu.

Saat itu, demikian laporan media tersebut, ratusan warga Ukraina menghadiri pawai perayaan peringatan ke-78 pembentukan Divisi Grenadier Waffen ke-14 SS, juga dikenal sebagai Galicia ke-1. Pawai Kiev diikuti oleh sekitar 300 orang merupakan pendatang dari kota barat Lviv.

“Itu adalah kekuatan yang dibentuk di bawah naungan pendudukan Jerman yang terdiri dari sukarelawan dan wajib militer etnis Ukraina dan Jerman. Para pengunjuk rasa memegang spanduk yang menampilkan simbol unit,” demikian laporan media tersebut.

Selain penunjukkan simbol Nazi dalam pawai, gerakan Neo-Nazi di Ukraina bahkan digadang-gadang telah memiliki kekuatan politik dan sayap militernya sendiri. Sayap militer yang dimaksud adalah Batalyon Azov.

Keterkaitan Batalyon Azov dengan ideologi Neo-Nazi tampak dari pemakaian simbol Wolfsangel. Simbol ini dulu dipakai oleh salah satu unit pasukan Nazi Jerman saat Perang Dunia ke II.

Kemunculan batalyon Azov mendapat momentum ketika kisruh aneksasi Krimea oleh Rusia dan adanya separatisme di Donbass pada 2014 silam.

Benih 'ekstrim sayap kanan' kelompok Azov tersebut bersumber dari nasionalisme Ukraina dan gerakan anti-Rusia. Rusia dan separatis yang didominasi oleh etnis Rusia di Ukraina Timur, adalah musuh utama kelompok Azov.

Menariknya, pemerintah Ukraina menggunakan kelompok sayap kanan ini untuk membendung laju kelompok separatis di wilayah Donbass.

Pada 2014, misalnya, Ukraina resmi memasukkan Azov ke  pasukan Garda Nasional Ukraina. Sejak saat itu pula, kelompok ini terlibat konflik berdarah di Ukraina Timur.

Wajar, Rusia kemudian menjadikan kelompok ini sebagai target utama dalam invasi yang dimulai sejak 24 Februari 2022 lalu. Rusia sepertinya jengah dengan sikap Ukraina, yang semakin kebarat-baratan dan memiliki unit tempur Neo-Nazi dalam struktur militernya.

Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan berulangkali menyebut kelompok ini sebagai teroris. Azov dituding melakukan aksi kekerasan terhadap warga sipil di Donbass, kawasan yang sebagian wilayahnya dikuasai oleh kelompok pro-Rusia. 

Putin pun menegaskan akan melibas kelompok ini dalam operasi khusus yang berlangsung sejak 24 Februari 2022. Rusia, kata Putin, hanya akan berhenti menyerang jika syarat-syarat yang diajukan dipenuhi pihak Ukraina. Bahkan ancaman itu ditujukan kepada Perdana Menteri Israel. Simak di sini: Putin ke PM Israel: Demiliterisasi dan De-Nazifikasi Ukraina Mutlak! - Kabar24 Bisnis.com 

Syarat-syarat itu antara lain, pertimbangan tanpa syarat kepentingan keamanan Rusia, demiliterisasi dan denazifikasi negara Ukraina, memastikan status netral Ukraina dan non-nuklirnya.

“Serta pengakuan. kedaulatan Rusia atas Krimea dan kemerdekaan republik rakyat Donetsk dan Lugansk,” ujar Putin dikutip dari laman resmi Presiden Federasi Rusia, Jumat (4/3/2022).

Jejak Joe Biden di Ukraina

Selain keberadaan kelompok Neo-Nazi, salah satu pemicu konflik antara Ukraina dan Rusia adalah provokasi dari barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah kekuatan utama dunia. Negara cukup dominan di bidang militer dan perdagangan.

Namun menariknya, dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, Amerika Serikat (AS) sepertinya bermain cukup hati-hati. Presiden AS Joe Biden tidak seperti awal konflik yang cukup berapi-api mengecam dan menebar ancaman kepada Rusia.

Sikap Biden belakangan bahkan cenderung melunak. Dia rupanya tak ingin terlibat konfrontasi terlalu jauh dengan Rusia.

Biden paham, melibatkan pasukannya ke dalam medan pertempuran Ukraina terlalu berisiko. Apalagi jika harus berkonfrontasi langsung dengan Rusia. Rusia sama seperti AS adalah salah satu kekuatan utama militer dengan persenjataan canggih dan hulu ledak nuklir paling banyak di dunia.

Ikut perang langsung ke Ukraina sama saja memicu konflik yang lebih besar dan hal ini akan semakin membahayakan stabilitas global.

“Jika mereka bergerak, jika kami merespons, maka itulah Perang Dunia III... Kami tidak akan berperang dalam Perang Dunia ketiga di Ukraina," kata Biden. Simak lengkapnya di sini: Biden Tidak Akan Perangi Rusia di Ukraina - Kabar24 Bisnis.com

AS sepertinya memilih bermain di belakang layar dibandingkan dengan terlibat konfrontasi langsung di Ukraina. Mereka mensuplai senjata ke Ukraina mulai dari rudal anti-tank Javelin yang menjadi momok bagi kendaraan lapis baja Rusia hingga persenjataan berat lainnya.

Strategi AS tersebut sebenarnya mirip yang dilakukan di Suriah. AS secara diam-diam mendukung kelompok-kelompok anti rezim Bashar al-Assad yang dibekingi Rusia. Perang proxy (proxy war) antara kedua belah pihak terjadi.

Model Suriah  itupula yang diterapkan di Ukraina. Bedanya di Ukraina, Kremlin terlibat langsung dalam konfrontasi paling berdarah di Eropa pasca Perang Dunia ke II itu. Sementara AS memilih untuk berada di belakang layar sambil menunggu segala kemungkinan yang terjadi dalam konflik dua negara Slavik tersebut.

Kepentingan AS di Ukraina

Jejak AS, khususnya Joe Biden di Ukraina, sebenarnya bisa ditelisik jauh sebelum Rusia memutuskan untuk menyerang Ukraina, tepatnya ketika dia menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat di bawah Barack Obama.

Kandidat petahana, Donald Trump pada 2019 silam telah meminta Ukraina untuk menyelidiki Hunter Biden. Hunter Biden adalah putra Presiden AS Joe Biden. Dia diduga terlibat main mata dengan perusahaan asal Ukraina, Burisma Holdings.

Burisma Holdings adalah produsen gas alam swasta terbesar di Ukraina. Perusahaan ini didirikan oleh Mykola Ziochevsky. Ziochevsky  adalah konglomerat Ukraina yang namanya mencuat dalam skandal yang kelak menyeret nama Biden.

Usut punya usut, main mata antara Joe Biden, Hunter Biden, dan Burisma Holdings itu terkait dengan upaya membendung pengaruh Rusia khususnya dalam penyediaan energi gas alam di Ukraina dan Eropa.

Sekadar informasi, sampai saat ini Rusia adalah salah satu negara penyuplai utama energi fosil, khususnya gas alam, ke Ukraina dan negara Uni Eropa.

Berdasarkan catatan International Energi Agency (IEA) Pada tahun 2021, Uni Eropa mengimpor rata-rata lebih dari 380 juta meter kubik (mcm) per hari gas melalui pipa dari Rusia, atau sekitar 140 miliar meter kubik (bcm) untuk tahun secara keseluruhan.

Selain itu, sekitar 15 bcm disalurkan dalam bentuk liquefied natural gas (LNG). Total 155 bcm yang diimpor dari Rusia menyumbang sekitar 45 persen dari impor gas UE pada tahun 2021 dan hampir 40 persen dari total konsumsi gasnya.

Laporan media-media barat menyebutkan bahwa pada 2014, Wakil Presiden Joe Biden saat itu berada di garis depan untuk mendukung pemerintah demokratis Ukraina yang rapuh saat berusaha menangkis agresi Rusia dan membasmi korupsi. Hunter, putra Biden, kemudian dipekerjakan oleh perusahaan gas Ukraina.

Keterlibatan keluarga Biden di Ukraina ini sempat menjadi sorotan saat Pilpres AS 2020 lalu. Saat itu Presiden Donald Trump mendorong presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk membantunya menyelidiki korupsi apa pun yang terkait dengan Joe Biden.

Pengacara pribadi Trump, Rudy Giuliani, juga secara terbuka mendesak Pejabat Ukraina untuk menyelidiki Biden. Namun demikian, hingga kini di bawah Zelensky, upaya penyelidikan untuk membongkar keterlibatan Joe Biden dan anaknya dalam skandal itu tak pernah tuntas.

Zelensky dan Taipan Ukraina

Zelensky adalah mantan pelawak yang terpilih sebagai Presiden Ukraina pada 2019 lalu. Sama seperti pendahulunya, Petro Proroshenko, dia adalah salah satu politikus Ukraina yang pro barat dan cenderung anti-Rusia.

Zelensky, selama pemerintahannya, berupaya mengintegrasikan Ukraina ke dalam Uni Eropa dan berupaya menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Pilihan untuk masuk sebagai anggota NATO menjadi pilihan mutlak bagi rezim Ukraina pro-Barat untuk membendung kekuatan Rusia.

Apalagi, Ukaraina selama beberapa tahun terakhir, sejak jatuhnya pemerintahan pro-Kremlin menghadapi beberapa peristiwa yang kurang mengenakkan. Krimea yang merupakan kawasan strategis dianeksasi Rusia. Sementara Donbass, di Ukraina Timur, terpecah belah karena digerogoti oleh kelompok separatis yang didukung Rusia.

Dengan kondisi yang sangat rapuh tersebut, satu-satunya jalan bagi Ukraina adalah memilih bergabung dengan Uni Eropa dan NATO, meskipun langkah itu sampai sekarang belum pernah terealisasi karena pengaruh Rusia dan belum bulatnya sikap anggota NATO.

Zelensky sendiri memiliki latar belakang yang cukup menarik. Sebelum terjun ke politik dia dikenal sebagai penghibur di Ukraina. Karirnya sebagai komedian dan penghibur lebih banyak dihabiskan di statisun TV milik taipan Ihor Kolomoyskyy.

Ihor Kolomoyskyi adalah seorang pengusaha dan politisi asal Ukraina. Dia pernah menjabat sebagai Guberenur Oblast Dnipropetrovsk. Kolomoyskyy digadang-gadang sebagai salah satu orang terkaya di Ukraina.

Setelah Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2014, Kolomoyskyy meningkatkan kekuatan domestiknya dengan menjadi gubernur di wilayah asalnya Dnipropetrovsk dan mendanai pasukan swasta untuk memerangi separatis yang didukung Rusia di Donbass.

Kolomoysky dan keluarganya telah diberi sanksi oleh Amerika Serikat. Kolomoysky dinilai terlibat dalam tindakan korupsi yang merusak supremasi hukum dan kepercayaan publik Ukraina terhadap lembaga demokrasi dan proses publik pemerintah mereka, termasuk menggunakan pengaruh politik dan kekuasaan untuk keuntungan pribadinya.

“Sanksi ini didasarkan pada tindakan selama masa jabatannya, saya juga ingin mengungkapkan keprihatinan tentang Kolomoyskyy saat ini dan upaya yang sedang berlangsung untuk merusak proses dan institusi demokrasi Ukraina,” demikian kata Sekretaris Negara AS Antony Blinken dalam kegterangannya 5 Maret 2021 silam.

Sementara itu, The Washington Post melaporkan bahwa Kolomoyskyy memiliki kedekatan dengana Presiden Ukraina saat ini Volodymyr Zelensky. Zelensky tercatat membintangi acara televisi jaringan Kolomoisky.  Kedekatan itu telah menimbulkan kecurigaan jika Zelensky tunduk di bawah pengaruh sang Taipan.

Adapun terpilihnya Zelensky pada 2019 membalikkan nasib Kolomoisky, karena presiden yang baru terpilih dan taipan itu memiliki sejarah bisnis bersama.

Kolomoisky kembali ke Ukraina, sementara Zelensky mengundang individu-individu yang memiliki hubungan dengan oligarki ke dalam pemerintahan baru.

Pihak Zelensky, demikian laporan Washington Post, merilis pernyataan yang tidak menyebut nama Kolomoisky, tetapi mengatakan Ukraina harus mengatasi sistem oligarkinya.

“Pertempuran dengan oligarki tidak hanya terletak di ranah pertanggungjawaban pidana. Ini juga tentang menciptakan kondisi di Ukraina, di mana bisnis dapat tumbuh dalam lingkungan yang transparan dan kompetitif.”

Invasi Rusia yang mulai berlangsung pada 24 Februari 2022 menjadi titik balik bagi sejumlah konglomerat Ukraina. Para oligarki dikabarkan telah meninggalkan Ukraina di tengah ketegangan yang meningkat dan kemungkinan invasi dari Rusia.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pun mendesak politisi dan pengusaha kaya yang hengkang ke luar negeri agar kembali dalam waktu 24 jam guna menunjukan persatuan di tengah ancaman invasi Rusia.

Dikutip dari berbagai sumber, individu yang jadi sorotan media adalah salah satu orang terkaya di dunia, Rinat Lenidovych Akhmetov. Dia adalah pengusaha miliarder sekaligus oligarki Ukraina kelahiran 1966.

Akhmetov merupaan pendiri dan Presiden System Capital Management (SCM). Pada 2021, dia terdaftar sebagai orang terkaya di dunia dengan perkiraan kekayaan bersih US$7,3 miliar (Rp104 triliun).

Beberapa sumber mengklaim bahwa Akhmetov terlibat dalam kejahatan terorganisir, tetapi dia tidak pernah didakwa dengan kejahatan.

Pengacaranya selalu berhasil membantah tuduhan ini. Akhmetov juga pemilik dan presiden klub sepak bola Ukraina Shakhtar Donetsk.

Rinat Akhmetov lahir di Donetsk, SSR Ukraina, dari keluarga kelas pekerja. Dia adalah seorang etnis Volga Tatar dan seorang muslim Sunni yang taat.

Akankah Konflik Rusia Ukraina Berakhir?

Guru besar Hukum Internasional asal Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana mengatakan ada syarat yang harus dilakukan agar perang antara Rusia dan Ukraina segera berakhir.

“Presiden Volodymyr Zelensky ini yang diburu oleh Rusia, dan perang ini akan berakhir jika Zelensky turun atau dia menyerah,” ucap Hikmahanto Jumawa.

Dia mengungkapkan serangan awal Rusia ke Ukraina, khususnya ibu kota Kyiv, merupakan cara Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengejar Zelensky dan melengserkannya dari jabatan Presiden.

Pasalnya, kata dia, Zelensky merupakan Presiden Ukraina yang tidak pro kepada Rusia. Bahkan, Zelensky ngotot agar Ukraina bergabung dengan Uni Eropa dan NATO.

"Tujuan dari serangan ini jelas, Rusia ingin mengganti Zelensky dengan Presiden baru yang pro kepada mereka," imbuhnya.

Bukan hanya itu saja, Hikmahanto juga mengungkapkan jika cara yang harus digunakan untuk mengakhiri serangan Rusia ke Ukraina, yaitu Amerika Serikat dan NATO membuat pernyataan jika Ukraina tidak akan masuk menjadi bagian dari NATO.

Jika pernyataan itu dibuat, dia menilai bukan tidak mungkin Rusia akan mengakhiri serangan mereka ke Ukraina.

"Sebab, awal mula serangan ini terjadi karena Presiden Zelensky ingin Ukraina masuk kedalam NATO," ujar Hikmahanto.

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Kilas Balik Covid-19: Dua Tahun Bertahan dari Pagebluk

back-to-top
To top