bisnis-logo

Stories

Harga Mahal dari Sebuah Politik Dinasti

Perhelatan Pemilihan Umum 2024 seolah menjadi pesta para elite politik, karena mengusung garis keluarga untuk melanjutkan suksesi kepemimpinan.

28 Februari 2024

A+
A-

Politik dinasti atau politik sayang anak menjadi isu yang menyeruak dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Trah politik yang mengalir dalam DNA anak cucu para elite menjadi modal utama untuk berebut suara guna mengamankan bangku kekuasaan dalam kontestasi yang digelar lima tahun sekali itu. 

Berada dekat dengan pucuk pimpinan partai membuat para penerus garis keturunan itu dapat dengan mudah mendapatkan tiket menjadi wakil rakyat atau pemimpin negeri.

Kehadiran para generasi kedua, bahkan ketiga, para elite politik seolah menegaskan bahwa dinasti elite kian mengakar di perpolitikan Tanah Air.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik dinasti memiliki artis suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa.

Namun, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Lusi Andriyani berpendapat bahwa ada dua konteks berbeda antara politik dinasti atau dinasti politik.

Menurutnya, politik dinasti berarti sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki keterkaitan. Sistem tersebut lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki.

Beda halnya dengan dinasti politik, yang dengan sengaja dikonstruksi bahwa kekuasaan hanya boleh dikuasai oleh satu keluarga saja.

“Dari kedua hal itu [politik dinasti dan dinasti politik], memang yang lebih terasa dampak negatifnya adalah dinasti politik. Karena ada upaya dengan sengaja merekonstruksi kondisi keluarganya untuk ditempatkan ke dalam kekuasaan tertentu, untuk kepentingan kelompoknya,” tutur Lusi.

Dilansir dari laman Mahkamah Konstitusi, sistem dinasti politik adalah merupakan strategi politik yang dibuat ataupun dibangun untuk memperoleh kekuasaan. 

Harapannya dengan menggunakan sistem dinasti politik, kekuasaan dapat di wariskan kepada keturunan ataupun keluarga. 

Kekuasaan Jadi Modal Utama

Punya kuasa dan jabatan merupakan fondasi utama untuk bisa membangun sebuah dinasti politik yang kokoh berdiri sampai ke anak, cucu, hingga cicit.

Dinasti politik bukan merupakan fenomena unik yang baru saja terjadi. Sederet nama keluarga yang lekat dengan stempel dinasti politik, seperti yang terjadi di Negeri Paman Sam, yakni potret keluarga Kennedy dan keluarga Bush.

Di India, dinasti politik yang terkenal mengakar adalah dominasi dari Keluarga Jawaharlal Nehru, seorang Perdana Menteri India pertama yang meneruskan estafet kekuasaannya ke keluarganya.

Kekuasaan Jawaharlal dilanjutkan oleh putrinya, Indira Gandhi dan cucunya Rajiv Gandhi. Keduanya meneruskan jabatan Perdana Menteri untuk India dalam periode yang berlangsung cukup lama.

Sementara itu, dalam buku Literasi Politik karangan Gun Gun Heryanto disebutkan bahwa perpaduan budaya dalam politik menjadikan Asia sebagai sarang praktik dinasti politik.

Kepemimpinan di Asia Timur Laut sangat memberikan kesan bahwa masyarakat Asia lebih toleran terhadap suksesi kepemimpinan mengikuti alur dinasti.

Sebagai contoh, terpilihnya Park Geun-hye sebagai presiden, mengikuti alur dari Park Chung Hee, sang ayah yang telah memerintah Negeri Gingseng sejak 1961-1979.

Xi Jinping, putra dari Xi Zhongxun, seorang mantan Perdana Menteri China, ada juga Shinzo Abe yang merupakan cucu dan sepupu putra dari dua mantan Perdana Menteri Jepang, serta putra seorang mantan menteri luar negeri Jepang.

Nama lainnya adalah Kim Jong-un, putra dan cucu lelaki dari dua orang pendahulunya di Korea Utara.

Gun Gun Heryanto menyatakan, terdapat tiga unsur utama dalam rezim oligarki sultanistik. Pertama penguasa memerintah secara pribadi dan mengatur segala hal yang penting dalam politik, ekonomi, hukum, lembaga demi kepentingan penguasa.

Kedua, penguasa mempertahankan kendali strategis atas akses  terhadap kekayaan dan menggunakan sumber daya material sebagai bagian penting yang mendasar dari kekuasaannya.

Ketiga, pemerintah sultanistik mencoba mengendalikan kekuasaan pemaksaan  di dalam negara atau rezim.

Meski demokrasi telah ditetapkan sebagai landasan utama politik Indonesia dan tercatat sebagai negara yang paling rajin menyelenggarakan pemilu, tetapi pesta demokrasi hanya dijadikan alat untuk memindahkan kekuasaan kelompok dan dinastinya.

Kendati praktik demokrasi tidak membatasi keterlibatan keluarga, tetapi perlu ada pengawasan yang ketat agar tidak dimanipulasi demi satu kepentingan.

Di Tanah Air, kisah dinasti politik yang cukup melegenda adalah kekuasaan dari Bupati Klaten yang cukup mengakar. Kekuasaan itu dimulai saat Haryanto Wibowo saat menjabat sebagai bupati selama periode 2000-2005.

Baru menjabat satu periode, Haryanto diciduk KPK, tersangkut kasus korupsi. Jabatan Bupati dilanjutkan oleh wakilnya, Sunarna untuk periode selanjutnya.

Sunarna maju bersama dengan istri dari Haryanto, Sri Hartini untuk menjadi wakil bupati Klaten. Kemudian, Sri Hartini maju sebagai bupati untuk periode 2009-2014 dengan wakilnya Sri Mulyani yang merupakan istri dari Sunarna.

Sejak era otonomi daerah, fenomena dinasti politik di Indonesia kian menguat. Ajang pemilihan kepala daerah menjadi pesta politik keluarga berebut kekuasaan.

Suami-istri, anak, adik-kakak, paman-bibi, ayah-mertua meramaikan ajang pemilihan.

Setelah reformasi, dinasti politik tidak lagi bertumpu pada kekuasaan di tingkat pusat. Namun, sudah mulai bergeser ke daerah yang melahirkan istilah dinasti korupsi.

Selain membangun kekuatan politik dengan menyebar keluarga di eksekutif dan legislatif, dinasti itu pun turut membangun kekuatan bisnis yang berbasis keluarga. Tujuannya memonopoli pengerjaan proyek yang dibiayai APBN dan APBD.

Contoh lainnya dari dinasti politik tersebut seperti yang terjadi pada dinasti Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang terciduk oleh komisi antirasuah dalam kasus suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi.

Pada kasus tersebut, jika salah satu anggota keluarga ditangkap, akan berefek domino pada anggpta keluarga yang lain. Hal tersebut menjadi salah satu indikator dari dinasti korupsi.

Politik Sayang Anak

Kian dewasanya demokrasi Indonesia tidak melunturkan keberadaan dinasti politik. Aroma politik sayang anak pada Pemilu 2024 amat kental.

Hal itu ditandai dengan terpampangnya kandidat dari darah para para elite pada surat suara pemilihan legislatif (Pileg) hingga pemilihan presiden (Pilpres).

Sebut saja keluarga Joko Widodo (Jokowi), presiden yang masih berkuasa telah menyiapkan garis keturunan untuk melanjutkan tongkat estafet  dinastinya.

Seluruh garis keturunan dikerahkan. Mulai dari anak kandung hingga menantu diterjunkan ke dunia politik.

Si bungsu, telah menempati jabatan Ketua Umum di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sejak diumumkan pada 25 September 2023, sedangkan sang menantu, Bobby Nasution --suami dari Kahiyang Ayu-- telah mantap dengan posisinya sebagai Walikota Medan.

Sementara itu, si anak sulung, Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024. Dia dipasangkan dengan Prabowo-Subianto.

Jalan Gibran untuk mengamankan posisi RI-2 dimuluskan dengan ketokan palu Ketua Hakim Konstitusi dengan mengesahkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Peran Ketua MK, Anwar Usman, paman Gibran, sangat krusial yang kemudian divonis melanggar etik dan dicopot dari posisi MK-1.  

Saat pendaftaran menjadi kandidat calon wakil presiden, umur Gibran masih sekitar 37 tahun. Masih di bawah umur yang disyaratkan dalam Undang-Undang Pemilu yakni minimal 40 tahun.

Untungnya, ketukan palu sang paman bisa membuat Gibran lolos menjadi kandidat calon wakil presiden untuk Pilpres 2024, walaupun jabatan Ketua Hakim Konstitusi menjadi 'bayarannya'.

Berdasarkan perhitungan sementar dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) per Selasa (27/2/2024), perolehan suara pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dengan 58,84% suara.

Sementara itu, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar masih pada urutan kedua dengan perolehan suara 24,46%, sedangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada peringkat buncit dengan perolehan suara 16,7%.

Namun, perolehan suara partai pimpinan si bungsu, belum berhasil mengamankan tempat untuk mendapatkan kursi di Senayan karena hanya mengantongi suara 2,76%.

Selain Jokowi, yang telah memantapkan dinasti politiknya dengan peluang terpilihnya Gibran sebagai wakil presiden, sejumlah elite politik juga sukses menancapkan supremasi politiknya.

Untuk trah Soekarno yang dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri dengan kendaraan politiknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), terdapat 3 orang sosok yang bakal melanjutkan estafet.

Pada Pemilu 2024, dinasti Soekarno dilanjutkan oleh anak, cucu, dan kemenakan dari Megawati yakni Puan Maharani, Diah Pikatan, dan Puti Guntur Soekarno.

Puan Maharani yang tercatat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) petahana kembali maju pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 untuk daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah V yang menjadi basis pemenangan moncong putih.

Data KPU menunjukkan, hingga Selasa (27/2/2024), Puan Maharani sukses mendulang suara tertinggi untuk wilayah Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Surakarta dengan 187.866 suara.

Cucu dari Megawati yang merupakan anak kandung dari Puan, Diah Pikatan, juga sukses mengantongi suara tertinggi kedua untuk daerah pemilihan Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Srage, dan Kabupaten Wonogiri sebanyak 64.153 suara.

Sementara itu, putri dari Guntur Soekarnoputra dan kemenakan dari Megawati, Puti Guntur Soekarno sukses menyaring suara tertinggi untuk PDIP di Dapil Jawa Timur I dengan perolehan 49.772 suara.

Hal itu sekaligus mengokohkan kekuasaan politik Megawati melalui PDIP untuk mengamankan kursi di Gedung DPR dengan perolehan suara 12,47 juta suara atau 16,5%.


Penguatan dinasti politik turut dilakukan oleh para pimpinan partai politik dalam Pemilu 2024.

Darah daging telah dipilih menjadi kader yang akan melanjutkan garis politik yang telah digoreskan ayah. 

Susilo Bambang Yudhoyono, menitipkan tongkat estafet dinastinya kepada Edhies Baskoro Yudhoyono. Kekuatan politik Partai Demokrat menjadi modal Edhie Baskoro untuk maju lagi sebagai anggota legislatif.

Dia maju sebagai caleg pada Pileg 2024 bersama dengan Partai Demokrat untuk Dapil Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Magetan yang menjadi basis suara terkuat Partai Demokrat.

Edhie Baskoro mengantongi 253.614 suara. Perolehan tersebut sangat mendominasi dibandingkan dengan perolehan suara caleg-caleg lain yang berebut suara pada Dapil tersebut.

Ibas, mendukung perolehan suara Partai Demokrat untuk melangkah ke DPR dengan suara 5,67 juta suara atau 7,46%.

Anak elite politik lainnya yang juga ikut mengamankan posisi legislatif yakni Ravindra Airlangga, anak kandung dari Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar).

Ravindra diusung untuk menjadi caleg di Dapil Jawa Barat V dari Partai Golkar. Dia sukses mendulang 77.333 suara.

Dari partai berlambang beringin itu, juga ada nama lain seperti Atalia Praratya, istri dari mantan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Atalia berhasil melaju ke Senayan dengan mengantongi suara 86.701 suara di Dapil Jawa Barat I.

Keberadaan dinasti politik juga ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Surya Paloh yang mengusung anak kandungnya menjadi caleg.

Prananda Surya Paloh, unggul di Dapil Sumatra I dengan perolehan 16.669 suara. Dalam penghitungan suara, Prananda sukses mengamankan tempat untuk menjadi wakil rakyat.

Kesuksesan Surya Paloh, Airlangga Hartarto, Megawati Soekarnoputri, dalam mengusung anaknya sebagai kader terbaik untuk mendulang suara juga diikuti oleh Zulkifli Hasan.

Memiliki jabatan Ketua Umum di Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi bekal untuk memajukan anaknya sebagai caleg dan juga mendongkrak popularitas partainya.

Putri Zulkufli Hasan, maju sebagai caleg di Dapil Lampung I. Putri mengantongi suara 87.149 suara dan mendominasi perolehan suara di daerah pemilihan tersebut.

Di sisi lain, trah mantan Presiden yang menjabat selama 30 tahun, Soeharto, akan kembali dilanjutkan oleh anaknya, Siti Hediati Soeharto atau Titiek Soeharto yang melaju dalam Pileg 2024.

Titiek bersama dengan Partai Gerindra, 'bertarung' memperebutkan suara di Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia berhasil mengantongi 68.904 suara dan untuk sementara mengamankan kursi di DPR.

Namun, tidak semua dinasti berhasil dijalankan dengan mulus. Apabila nama-nama yang sebelumnya berhasil mengamankan suara untuk menjadi wakil rakyat, beda halnya dengan anak-anak dari elite politik yang satu ini.

Hary Tanoesoedibjo misalnya, menjabat sebagai Ketua Umum Partai Perindo, belum mampu membuat tahta politiknya dapat dilanjutkan oleh anaknya dalam Pileg 2024.

Kendati suara sementara yang diperoleh Angela Tanoesoedibjo terhimpun 15.172 suara, hal itu masih belum mampu mendongkrak suara partai sang ayah untuk lolos dalam syarat batas Parliamentary Threshold sebesar 4%.

Dalam penghitungan suara sementara, Partai Perindo hanya menghimpun 951.618 suara atau 1,26% secara nasional.

Nasib sama juga terjadi pada keluarga Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang yang mengusung anaknya, Yuri Kemal Fadlullah untuk maju pada Pileg 2024 di Dapil Kepulauan Bangka Belitung.

Suara yang terkumpul untuk Yuri hanya berjumlah 9.066 suara, sedangkan suara Partai Bulan Bintang hanya terkumpul 251.119 atau 0,33% untuk sementara.

Begitu juga halnya dengan nasib dari keluarga politi senior, Amien Rais yang saat ini merupakan Ketua Umum Partai Ummat. Anaknya, Hanum Salsabiela atau Hanum Rais juga maju sebagai caleg di Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hitungan sementara suara yang diperoleh Hanum mencapai 17.372 suara, tetapi itu tidak cukup untuk mendorong Partai Ummat sebagai partai yang lolos untuk mengisi slot di DPR.

Potret politik dinasti telah mendarah daging di Tanah Air, pun praktik di berbagai negara. Namun, yang menjadi soal politik dinasti itu apakah dijalankan secara 'fair' atau penuh dengan kongkalikong? Terlampau mahal biaya yang dianggarkan negara untuk sebuah pesta pelanggengan politik dinasti ini, nyaris menembus Rp50 triliun.

Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Muhammad Ridwan & Hendri T. Asworo
Previous

Presiden Harus (Nya) Netral

back-to-top
To top