Company
Pengembangan megaproyek baterai di Indonesia belum berjalan mulus dalam 5 tahun terakhir.
25 Mei 2025
Pengembangan rantai pasok ekosistem baterai kendaraan listrik berbasis nikel di Indonesia masih diselimuti ketidakpastian dengan batalnya investasi miliaran dolar dari sejumlah raksasa global.
Terbaru, yang menarik perhatian adalahnya batalnya investasi dari salah satu top produsen baterai asal Korea Selatan, LG Energy Solution (LGES).
Konsorsium LG yang dipimpin LGES semula berkomitmen untuk menggarap proyek grand package rantai pasok ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) dari hulu ke hilir. Total investasinya mencapai US$9,8 miliar atau sekitar Rp142 triliun terdiri atas investasi di hulu tambang senilai US$850 juta, smelter HPAL senilai US$4 miliar, pabrik prekursor/katoda senilai US$1,8 miliar, dan pabrik sel baterai senilai US$3,2 miliar.
Komitmen investasi tersebut menjadi bagian dari Proyek Titan dan Proyek Omega. Proyek Titan mencakup investasi pada hulu tambang (JV 1), smelter HPAL (JV 2), dan pabrik prekursor/katoda (JV 3). Dalam proyek ini, konsorsium LG yang terdiri atas LG Energy Solution, LG Chem, Huayou, LX International, Posco Future M, akan bermitra dengan konsorsium BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC) dan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam).
Sementara itu, dalam Proyek Omega, LGES berkongsi dengan Hyundai Motor Group membangun pabrik sel baterai (JV 4).
Komitmen investasi pada Proyek Omega ini telah direalisasikan dengan terbangunnya pabrik sel baterai fase pertama di bawah operasi PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power. Pabrik yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat ini memiliki kapasitas produksi 10 gigawatt hour (GWh) dengan nilai investasi senilai US$1,2 miliar. Rencananya pabrik baterai ini akan dilanjutkan ke fase kedua dengan kapasitas 20 GWh dengan nilai investasi US$2 miliar.
Sayangnya, realisasi komitmen investasi LGES terhenti hanya pada Proyek Omega. Negosiasi panjang terkait Proyek Titan tak mencapai kesepakatan. Pada pertengahan April 2025, LGES secara resmi menarik diri pada proyek grand package baterai di Indonesia yang diteken pada akhir 2020.
“Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi pasar dan lingkungan investasi, kami telah sepakat untuk secara resmi menarik diri dari proyek GP [grand package] Indonesia,” kata LGES dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters.
Namun, LGES menyatakan tetap berkomitmen untuk melanjutkan investasi pada pabrik sel baterai bersama Hyundai di Karawang.
"Kami akan terus menjajaki berbagai peluang kolaborasi dengan pemerintah Indonesia, yang berpusat pada perusahaan patungan baterai Indonesia, HLI Green Power,” kata LGES.
Sementara itu, pemerintah mengeklaim bahwa mundurnya LG bukan dikarenakan keinginan dari perusahaan tersebut. Namun, keputusan dari pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengungkapkan bahwa keputusan mengakhiri kerja sama dengan LG tertuang melalui surat resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dikeluarkan pada 31 Januari 2025.
Keputusan diambil, kata Rosan, lantaran negosiasi antara LG dan konsorsium Indonesia telah berlangsung terlalu lama, yakni hampir 5 tahun. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah memilih untuk mengambil tindakan tegas agar proyek tidak berlarut-larut.
“Itu kenapa dikeluarkan surat itu, karena memang negosiasi ini sudah terlalu lama, sedangkan kita kan ingin semua ini berjalan dengan baik, dengan cepat, karena negosiasinya sudah berlangsung 5 tahun,” ujarnya kepada wartawan di Kantor Presiden, Rabu (23/4/2025)
Dalam surat tersebut, Rosan menyampaikan keputusan resmi pemerintah kepada CEO LG Chem dan LGES. Surat itu sekaligus membuka jalan bagi Huayou, perusahaan asal China yang sebelumnya sudah menjadi bagian dari konsorsium, untuk mengambil alih peran LG dalam proyek senilai US$9,8 miliar tersebut.
“Sehingga total investasinya memang tetap tidak berubah dari US$9,8 miliar. Jadi karena memang Huayou ini kan dia juga sudah berinvestasi di Indonesia sebelumnya. Di bidang yang hampir sama juga,” ucap Rosan.
Gelagat keengganan LGES untuk melanjutkan investasi pada Proyek Titan sebetulnya telah mengemuka sejak awal 2023. Kala itu, holding BUMN tambang MIND ID menyebut bahwa negosiasi dengan LGES mandek. Bahkan, LGES menyerahkan negosiasi kepada rekanan konsorsium mereka, Huayou.
“Kami dapat informasi dari Aneka Tambang [Antam] bahwa LG itu masih belum jelas statusnya, tapi LG mendorong anggota konsorsiumnya Huayou untuk melanjutkan diskusi dan negosiasi,” kata Hendi Prio Santoso, yang saat itu masih menjabat sebagai direktur utama MIND ID, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Senin (6/2/2023).
Kendati demikian, MIND ID memandang bahwa Huayou bukanlah mitra yang setara dengan LGES. Hal ini lantaran Huayou tidak memiliki keahlian, serta pengalaman untuk pabrikan baterai EV. Portofolio Huayou lebih banyak pada pengembangan smelter.
“Kami masih menginginkan adanya konsorsium yang lengkap sampai ke EV manufacturer-nya, sedangkan Huayou kan bergerak hanya di pengembangan smelter,” tutur Hendi.
Pemerintah saat itu terus membujuk LGES untuk tetap melanjutkan komitmen investasinya. Dalam perkembangannya, LGES kemudian ingin melakukan perubahan komposisi anggota konsorsium.
Saat itu, Direktur Utama Antam Nico Kanter mengatakan, keinginan LGES mengubah komposisi anggota konsorsiumnya itu disebabkan karena implementasi Undang-Undang (UU) Penurunan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat (AS).
Untuk diketahui, kebijakan IRA mendiskreditkan produksi baterai dari negara mitra yang belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Selain itu, IRA juga ikut menilai negatif produksi baterai yang didominasi investasinya dari perusahaan China di sisi hulu hingga pengolahan bijih nikel.
“Maunya ada diversifikasi ya, mitra kita tidak semua China, kan dengan Amerika Serikat memberlakukan IRA yang perusahaan China itu ada pembatasan lah ya,” kata Nico saat ditemui di Jakarta, Rabu (5/4/2023) malam.
Situasi itu, kata Nico, membuat IBC bersama dengan pemerintah belum mendapat kepastian lanjutan dari transaksi konsorsium LG di usaha patungan baterai EV.
“Konsorsium members-nya dan komposisinya, masih ingin dimatangkan lagi karena mitranya dia ada China, jadi bukan China itu tidak boleh, buktinya kita dengan China di CBL tapi kami mau diversifikasi dan variasi,” kata dia.
Dalam versi lain, mundurnya LGES disebut-sebut lantaran ada perbedaan perlakuan pemerintah terhadap investor Korea dan China.
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mengungkap, konsorsium LG mengundurkan diri dari proyek baterai karena takut rugi. Dradjad mengaku sudah bertemu dengan pihak dari Korea Selatan, termasuk dari konsorsium LG. Dia pun coba merunutkan persoalannya.
Menurut Dradjad, awalnya pemerintah mengundang konsorsium LG untuk berinvestasi di proyek baterai EV. Saat itu, Hyundai Ioniq Electric memerlukan baterai. LG pun siap untuk menyediakan kebutuhan sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki.
"Mereka penuhi semua peraturan, TKDN [tingkat komponen dalam negeri] mereka penuhi, semua mereka penuhi," ungkap Dradjad dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).
Setelah dihitung dengan segala pertimbangan biaya produksi di Indonesia, mobil listrik Ioniq tersebut bisa dijual dengan harga sekitar Rp700 juta—Rp800 juta.
Ternyata di luar dugaan, produsen mobil listrik asal China BYD Auto Co. Ltd. tidak bisa menjual produknya di Eropa karena perang dagang. Akibatnya, BYD menjual produknya ke negara-negara lain di luar Eropa termasuk Indonesia.
Saat masuk ke Indonesia, pemerintah ternyata memberikan BYD berbagai kemudahan sehingga harganya bisa jauh lebih murah. Masalahnya, berbagai kemudahan tersebut tidak diberikan kepada LG.
"Ya otomatis enggak bisa bersaing. Harganya Ioniq sekitar 50%—60% di atas harga BYD dengan spesifikasi yang sama, ya gimana bisa bersaing?" ujar anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 itu.
Akibatnya, permintaan terhadap Ioniq menurun. LG pun memikirkan ulang rencana investasinya.
"LG mikir dong kalau mau investasi terus, pasarnya turun kok, kami enggak diperlakukan sama kok dengan teman-teman dari China," kata Dradjad.
Menurut ekonom senior Indef ini, perbedaan perlakuan atas perusahaan asal Korea Selatan dengan China itu karena adanya konstelasi politik. Dradjad pun meminta seharusnya tidak ada perlakuan khusus seperti itu ke depannya.
Tak hanya Proyek Titan, grand package proyek baterai lainnya juga masih diselimuti ketidakpastian. Proyek Dragon, yang digarap Antam dan IBC bersama raksasa baterai China, Contemporary Amperex Technology Co Ltd. (CATL), saat ini tengah dihitung ulang rencana pengembangannya.
Komitmen investasi CATL pada proyek manufaktur sel baterai belakangan terungkap tak ada separuhnya dari kesepakatan awal.
Adapun, Proyek Dragon hampir serupa dengan Proyek Titan yang mengembangkan eksositem baterai terintegrasi dari hulu ke hilir. Dalam proyek ini, CATL membentuk perusahaan patungan dengan Brunp dan Lygend, yakni Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL).
Pada pembentukan JV 5 bersama IBC, CATL berkomitmen untuk berinvestasi senilai US$1,18 miliar atau setara Rp19,13 triliun (asumsi kurs Rp16.213 per dolar AS). Nilai investasi tersebut untuk membangun pabrik sel baterai dengan kapasitas produksi sebesar 15 GWh per tahun.
Namun, dalam persetujuan penanaman modal langsung luar negeri (ODI) dari pemerintah China yang diterima IBC, terungkap bahwa komitmen investasi tersebut turun lebih dari setengahnya.
"Dari ODI approval [persetujuan penanaman modal langsung luar negeri] yang kami peroleh dari mereka [CATL] saat ini baru setengahnya. Jadi sekitar 6,9 GW atau US$417 juta [setara Rp6,75 triliun]," ujar Direktur Utama IBC Toto Nugroho dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR, Senin (17/2/2025).
Oleh karena itu, Toto mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan negosiasi dengan CATL. Negosiasi dilakukan untuk mencari solusi terkait perbedaan jumlah investasi tersebut.
Selain itu, Toto juga mengatakan, kesepakatan investasi dengan CATL itu sejatinya harus sudah rampung pada 28 Februari 2025. Namun, pihaknya masih menunggu dokumen-dokumen yang harus dilengkapi CATL.
"Supaya kita mendapatkan kepastian terhadap investasi dan juga salah satu hal yang kami minta adalah kepastian off-take agreement dari mereka," imbuh Toto.
Berdasarkan timeline IBC, pabrik sel baterai tersebut direncanakan mulai konstruksi pada kuartal I/2025 dan ditargetkan mulai berproduksi pada 2026.
Sumber Bisnis menyebut bahwa pabrik yang akan dibangun di Kawasan Industri AIH-KNIC, Karawang, Jawa Barat tersebut harus segera berjalan mengingat CATL telah berkomitmen untuk memasok baterai ke Toyota.
Sumber tersebut juga mengungkapkan bahwa tersendatnya eksekusi investasi pabrik baterai itu lantaran CATL juga masih menunggu suntikan modal IBC. Hal ini untuk memastikan keseriusan IBC menggarap proyek nikel di sisi hilir tersebut.
Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, bahkan sudah ada perusahaan asing lain yang berminat untuk bermitra dengan CATL bila IBC tidak siap.
Sementara itu, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengejar komitmen CATL untuk merealisasikan investasi sesuai dengan kesepakatan awal.
Dia menuturkan, pihaknya melalui anak usahanya, IBC, tentu berkomitmen untuk menanamkan modal dalam proyek bersama CATL. Asalkan, CATL memegang komitmennya sesuai perjanjian awal.
Pasalnya, kata Dilo, komitmen investasi CATL terus berubah. Target kapasitas pabrik baterai yang semula 15 GWh per tahun ditawar menjadi sekitar 7 GWh per tahun. Kemudian, ditawar lagi dari kapasitas 7 GWh terdiri atas 1 GWh baterai nickel manganese cobalt (NMC) dan 6 GWh baterai lithium ferro phosphate (LFP).
"Kami memang terus nego sama CATL. Investasinya harus mencerminkan framework agreement yang awal. Kami harus kawal itu dong," ujar Dilo ketika menjawab pertanyaan Bisnis, Kamis (17/4/2025).
Adapun, dalam proyek pabrik baterai sel (JV 5), IBC dengan CATL melalui anak usahanya, CBL International Development Pte Ltd, telah membentuk perusahaan patungan bernama PT Contemporary Amperex Technology Indonesia Battery (PT CATIB). CBL International mengempit saham mayoritas 70%, sedangkan IBC 30%.
Sebetulnya, Proyek Dragon ini terbilang lebih cepat kemajuan progresnya dibandingkan Proyek Titan. Pada Desember 2023, HongKong CBL Limited (HKCBL), anak usaha CBL, juga telah menyelesaikan transaksi perjanjian jual beli atau sales purchase agreement (SPA) saham pada anak usaha Antam, PT Sumberdaya Arindo (SDA) dan PT Feni Haltim (FHT).
Jual beli saham di SDA dan FHT itu menandakan dimulainya kerja sama Antam dan CATL di sisi hulu tambang (JV 1) serta pemurnian dan pengolahan lebih lanjut turunan nikel (JV 2) sebelum diolah menjadi bahan baku baterai listrik.
Nilai transaksi divestasi SDA-HKCBL yang dibayarkan secara tunai oleh HKCBL kepada Antam adalah sebesar US$416,5 juta.
Dalam perkembangan terbaru, CATL dikabarkan sedang mencari pinjaman sekitar US$1 miliar atau setara Rp16,4 triliun untuk mendanai investasi di Indonesia.
Dilansir Bloomberg pada Selasa (6/5/2025), informasi tersebut berasal dari sumber yang tidak ingin diungkapkan identitasnya. Sumber menyebutkan pendanaan tersebut bisa dalam jangka waktu 5 hingga 7 tahun.
"Dana itu akan membiayai usaha patungan perusahaan, yang berencana membangun fasilitas produksi sel baterai di Karawang, Jawa Barat," ungkap sumber.
Pembicaraan dengan calon pemodal saat ini juga disebutkan sedang berlangsung dan perincian pinjaman dapat berubah. Saat dihubungi Bloomberg, CATL tidak menanggapi permintaan komentar.
Di sisi lain, pengembangan proyek baterai Indonesia juga harus menghadapi tren pasar kendaraan listrik yang menggunakan baterai berbasis besi atau LFP.
Direktur Utama IBC Toto Nugroho menyebut bahwa mayoritas kendaraan listrik di Indonesia menggunakan baterai LFP. Realitas tersebut menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, baterai EV yang dikembangkan Indonesia merupakan berbasis NMC.
"Peningkatan mobil di Indonesia listrik sangat signifikan, hampir 40.000 terjual di tahun 2024. Namun, memang hampir 90%-nya yang berbasis LFP," ucap Toto.
Oleh karena itu, Toto mengingatkan pemerintah untuk memberikan dukungan agar penggunaan EV berbasis baterai nikel meningkat di Tanah Air. Dia ingin pemerintah bisa memprioritaskan penggunaan EV hanya untuk yang berbasis NMC.
Menurutnya, hal ini menjadi keniscayaan guna mendukung industri baterai EV berbasis NMC di Indonesia. Apalagi, RI merupakan negara dengan sumber daya nikel terbesar di dunia.
"Bagaimana secara regulasi kita bisa memberikan prioritas untuk baterai-baterai yang sifatnya dari nikel yang di Indonesia memiliki resource-nya langsung," ungkap Toto.
Berdasarkan catatan Bisnis, sejumlah pabrikan otomotif masih membuka peluang untuk menggunakan baterai jenis NMC.
Sebelumnya, Head of Marketing & Communication PT BYD Motor Indonesia Luther T. Panjaitan mengatakan, sejauh ini produk mobil listrik BYD masih menggunakan baterai LFP. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi BYD untuk memproduksi baterai EV berbasis nikel.
"Mengenai bahan baku, BYD adalah salah satu perusahaan baterai terbesar di dunia dan cukup lama berkecimpung di bisnis ini. Kami memiliki pilihan skema teknologi lengkap yang memungkinkan untuk bahan baku apa saja," ujar Luther kepada Bisnis, dikutip Jumat (18/10/2024).
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa BYD perlu melakukan studi komprehensif yang lebih mendalam terkait kebutuhan pasar agar bisa berjalan optimal.
Selain BYD, mobil listrik asal China lainnya yakni Chery Omoda E5 rakitan lokal masih menggunakan baterai LFP.
Head of Marketing PT Chery Sales Indonesia M. Ilham Pratama mengatakan, saat ini baterai yang digunakan untuk mobil listrik Omoda E5 masih diimpor dari China. Nantinya Chery akan menggunakan baterai lokal untuk menyesuaikan peta jalan yang disesuaikan oleh pemerintah.
“Chery berencana pada tahun 2026 akan menggunakan local battery,” katanya kepada Bisnis, Senin (15/7/2024).
Sejumlah mobil listrik China lainnya yang memakai baterai LFP di antaranya Morris Garage (MG) 4 EV, MG ZS EV, Neta V, hingga DFSK Gelora E.
Selain LG, dua perusahaan raksasa asal Eropa, BASF SE dan Eramet SA, juga membatalkan rencana investasinya pada proyek pabrik bahan baku baterai kendaraan listrik di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Padahal, investasi BASF dan Eramet ini tadinya diharapkan menjadi penyeimbang dominasi investasi China di proyek nikel RI.
Keduanya semula berencana membangun smelter dengan teknologi high-pressure acid leaching (HPAL)yang akan mengolah bijih nikel dari tambang Weda Bay menjadi produk antara nikel dan kobalt, mixed hydroxide precipitate (MHP). Produk antara ini kemudian akan diolah menjadi precursor cathode active materials (PCAM) dan cathode active materials (CAM), komponen penting dalam pembuatan baterai EV..
Tak kalah dengan Proyek Titan dan Dragon, proyek yang dinamai Sonic Bay tersebut diperkirakan akan menelan investasi senilai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp42,72 triliun (asumsi kurs Rp16.431 per US$) dan direncanakan akan menghasilkan sekitar 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun.
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (26/6/2024), BASF menyebut bahwa ketersediaan baterai berbasis nikel yang berkualitas secara global telah meningkat sejak proyek ini dimulai, sementara penjualan kendaraan listrik muai meredup sejak tahun lalu. Pabrikan kimia asal Jerman itu pun tidak lagi melihat perlunya investasi sebesar itu.
Adapun, BloombergNEF memangkas estimasi penjualan baterai kendaraan listrik menjadi sebesar 6,7 juta kendaraan hingga tahun 2026. Perlambatan ini terutama terlihat di Jerman, pasar asal BASF, dan Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan, seperti Volkswagen AG, Stellantis NV, dan Mercedes-Benz telah memangkas atau mengalihkan proyek-proyek baterai.
Sementara itu, grup pertambangan asal Prancis, Eramet memutuskan fokus untuk memasok bijih nikel dari operasi tambangnya di Weda Bay ke smelter di dalam negeri.
Geoff Streeton, Chief Development Officer Eramet, mengatakan bahwa perusahaan akan terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai nikel untuk kendaraan listrik di Indonesia dan akan terus memberikan informasi kepada pasar pada waktunya.
"Indonesia akan memainkan peran penting di pasar nikel global pada masa depan," ujar Streeton melalui pernyataan resmi Eramet.
"Eramet tetap fokus untuk mengoptimalkan sumber daya tambang Weda Bay secara bertanggung jawab untuk memasok bijih kepada produsen nikel lokal dan terus mengeksplorasi peluang untuk berpartisipasi dalam rantai baterai nikel untuk kendaraan listrik di Indonesia," lanjutnya.
Dalam perkembangan terbaru, Eramet tengah menjajaki peluang kerja sama investasi dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara dalam sektor mineral kritis.
Melansir Bloomberg, Senin (5/5/2025), sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengungkapkan bahwa Danantara dan Eramet ingin mengakuisisi saham di sebuah smelter HPAL di Kawasan Industri Weda Bay, Maluku Utara. Smelter yang memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik itu mayoritas sahamnya dimiliki oleh perusahaan asal China Zhejiang Huayou Cobalt Co.
Sumber Bloomberg mengatakan bahwa para pemangku kepentingan berharap dapat menandatangani sebuah nota kesepahaman (MoU) pada akhir bulan ini. Namun, mereka menekankan bahwa diskusi terkait hal ini masih berlangsung dan rencana dapat berubah.
Danantara disebut akan berinvestasi melalui holding BUMN tambang MIND ID, kata orang-orang tersebut.
Eramet mengakui bahwa Perusahaan tengah berdiskusi dengan Danantara terkait potensi kerja sama dalam rantai pasok baterai EV. Menurut Perusahaan, sejak didirikan beberapa bulan lalu, Danantara telah menunjukkan minat besar untuk berinvestasi di rantai nilai mineral kritis di Indonesia.
"Kerja sama dengan Danantara berpotensi menjadi peluang strategis bagi Eramet untuk memperkuat posisinya dalam sektor mineral kritis Indonesia, sekaligus mempererat hubungan antara Eropa dan Indonesia dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik," kata Eramet kepada Bisnis, Rabu (7/5/2025).
Namun, Eramet menyatakan bahwa diskusi masih berada pada tahap awal. Oleh karena itu, Perusahaan belum bisa memerinci investasi pada proyek apa saja yang akan digarap bersama Danantara.
"Diskusi ini masih berada pada tahap awal dan terlalu dini untuk memberikan pernyataan lebih lanjut," kata Eramet.
Setelah Prabowo Memangkas Pengurus Bank BUMN
Dua Sisi Soeharto: Pahlawan atau Tiran?