bisnis-logo

Stories

Bisnis 'Wabah' Para Konglomerat

Para konglomerat disinyalir ikut menangguk untung dari bisnis sektor kesehatan di tengah masyarakat yang sedang sekarat. Sebagian konglomerat tersebut terafiliasi langsung dengan para pejabat.

02 November 2021

A+
A-

Kewajiban penyertaan hasil tes polymerase chain reaction (PCR) sebagai syarat perjalanan udara ditentang oleh khalayak.

Publik keberatan, selain memakan waktu cukup lama, para calon penumpang atau pelancong harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar secarik hasil tes tes usap. Maklum, harga tes PCR di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan dengan negara lain.

Apabila disandingkan dengan India, misalnya, yang mematok harga di kisaran Rp100.000, harga tes PCR di Indonesia kepalang mahal. Nilainya berkali-kali lipat. Bahkan, bila menengok harga sebelum ditetapkan pemerintah melalui rata-rata atas, tarif sekali colok bisa menembus Rp2,5 juta.

Mahalnya biaya tes PCR menimbulkan syak wasangka. Apakah benar tarif usap tersebut sesuai dengan harga sebenarnya? Apakah memang ada unsur komersialisasi atau praktik mencari untung di balik penanganan Covid-19?

Menariknya, di tengah keresahan publik terhadap harga tes PCR, dan alat penanganan Covid-19 lainnya, pemerintah tercatat tiga kali mengeluarkan kebijakan penurunan harga tes PCR. Kebijakan pertama muncul ketika ramainya tes PCR yang lebih mahal dibandingkan dengan tiket pesawat.

Saat itu, keluhan muncul dari pelaku industri penerbangan. Mereka mengeluh tarif tes bisa sampai Rp2,5 juta. Setelah protes didengar, tarif PCR direvisi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi Rp900.000.

Polemik harga tes PCR tak berhenti, meski sudah ada harga patokan pemerintah. Pada Agustus lalu, muncul kabar bahwa harga tes usap PCR di India jauh lebih murah dibandingkan Indonesia. Harga tes di negara anak benua itu hanya Rp100.000.

Sontak berita itu membuat geger khalayak. Umumnya mereka menanyakan dasar penetapan harga tes PCR yang masih dianggap kemahalan. Tudingan soal komersialisasi tak bisa dihindarkan dan dalam beberapa kasus hal itu memang kerap terjadi.

Lagi-lagi pemerintah tidak bisa menghindar dari permintaan publik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun angkat bicara untuk menyelesaikan polemik itu. Dia meminta tarif tes PCR berada di angka Rp450.000 - Rp550.000.

Kemenkes merespons permintaan Jokowi dengan menerbitkan Surat Edaran Ditjen Pelayanan Kesehatan No.HK.02.02/1/2845/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi RT-PCR dari Rp900.000 menjadi Rp450.000.

Tarif tersebut kembali berubah pada pekan lalu, setelah Kemenkes menerbitkan edaran tarif baru senilai Rp275.000 khusus di Jawa -  Bali serta Rp300.000 untuk luar Jawa - Bali.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan kebijakan penurunan harga tersebut untuk mengakomodir  arahan Presiden.

"Kami sepakati batas tarif tertinggi diturunkan menjadi 275.000 di Jawa dan Bali dan Rp300.000 untuk luar Jawa Bali," katanya, Rabu (27/10/2021).

Namun demikian, inkonsistensi tarif itu memantik banyak pertanyaan. Semula syarat penerbangan harus memakai tes PCR yang sehari pakai. Kemudian dianulir dengan hasil tes bisa dipakai untuk tiga hari. Terakhir, tidak wajib memakai tes PCR saat naik pesawat bagi yang sudah divaksin, melainkan tes antigen.

Polemik lain semakin menjadi, pasalnya setiap penjelasan ke publik, pemerintah tidak pernah mengungkap secara gamblang komponen apa saja yang memengaruhi penetapan tarif PCR.

Bisnis telah memeriksa sejumlah dokumen untuk mengungkap praktik importasi dan bisnis alat penanganan Covid-19. Hasilnya terdapat temuan yang cukup menarik, mulai dari keberadaan perusahaan kosmetik hingga laboratorium yang terafiliasi dengan sejumlah konglomerat.

Sebagian konglomerat tersebut terhubung dengan pejabat penting yang saat ini berada di dalam kekuasaan.

Gula-gula Impor Alat Penanganan Wabah

Keran impor alat penanganan Covid-19, termasuk PCR dan rapid test antigen, mulai dibuka sejak awal pengumuman pandemi Maret 2021. Kemudian, arus barang impor mengucur deras ke dalam negeri.

Menariknya, sampai dengan Agustus lalu, importir alat penanganan Covid-19, didominasi oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-pemerintah. Malahan sejumlah korporasi itu tidak memiliki latar belakang bisnis yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. 

Berdasarkan dokumen importasi yang diterima Bisnis, dominasi impor alat kesehatan dari pihak korporasi non pemerintah mencapai 77,16 persen dari keseluruhan pengadaan barang selama tiga semester pandemi virus Corona di Tanah Air. 

Sementara itu, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit. 

Sejumlah entitas bisnis swasta yang cukup dominan dalam aktivitas importasi itu di antaranya perusahaan kecantikan PT Jenny Cosmetics dengan nilai impor sebesar US$43,6 juta atau 4 persen dari keseluruhan impor untuk pasar domestik.

Selanjutnya kelompok usaha Dexa Group PT Beta Pharmacon sebesar US$36,4 juta atau 3,34 persen, perusahaan teknologi medis asal Jerman Dräger Medical Indonesia sebesar US$21,5 juta atau 1,98 persen.

Selain itu, perusahaan tekstil multi nasional PT Pan Brothers US$21,07 juta atau 1,93 persen, perusahaan ketel uap PT Trimitra Wisesa Abadi sebesar US$20,8 juta atau 1,91 persen, perusahaan laboratorium diagnostik molekular PT Sinergi Utama Sejahtera sebesar US$20,8 atau 1,91 persen dan perusahaan alat kesehatan Cahaya Medical Indonesia sebesar US$20,7 juta atau 1,90 persen.

Importasi alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 dari pemerintah dikerjakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB sebesar US$68,6 juta atau 6,29 persen dari pengadaan barang untuk kebutuhan dalam negeri.

Selain BNPB, Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan juga melakukan impor dengan nilai mencapai US$18,7 juta atau 1,72 persen.

Dari lembaga non-profit, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia terbilang melakukan impor alat kesehatan yang relatif tinggi dengan nilai US$21,07 juta atau 1,93 persen dari kebutuhan nasional. 

Adapun alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen diimpor dengan nilai mencapai US$530,6 juta atau menyentuh di angka 52,2 persen dari keseluruhan pengadaan alat kesehatan yang didatangkan dari sejumlah negara pemasok. 

Perinciannya, impor PCR Test menembus di angka US$340,5 juta atau sekitar 31,20 persen dari keseluruhan alat kesehatan yang dibeli dari luar negeri. Ihwal rapid test, importir dalam negeri membeli dengan nilai US$190,1 juta atau 17,42 persen. 

Produk impor alat kesehatan itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai US$541,3 juta atau 49,61 persen dari keseluruhan negara penjual. Selanjutnya diikuti Korea Selatan dengan nilai transaksi mencapai US$150,5 juta atau 13,5 persen dari keseluruhan negara mitra.

Mayoritas alat kesehatan hasil impor itu didatangkan melalui pintu Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Soekarno-Hatta. Malahan barang impor yang sampai di pintu Soekarno-Hatta itu mencapai nilai US$828,1 juta atau 75,89 persen dari keseluruhan barang yang masuk ke Tanah Air.

Perusahaan Kosmetik hingga Kementerian Prabowo

Menarik untuk disimak bahwa importasi alat penanganan Covid-19 tersebut tak hanya dilakukan oleh korporasi yang memiliki hubungan langsung dengan dunia kesehatan, tetapi juga perusahaan kosmetik , PT Jenny Cosmetics.

Dalam penulusuran Bisnis, PT Jenny Cosmetics adalah perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik sejak tahun 1980. Perusahaan itu merupakan importir alat covid-19 terbanyak setelah US$43,6 juta.

PT Jenny Cosmetics yang berlokasi di Bandengan Utara – Jakarta itu diketahui menciptakan berbagai varian produk kosmetik antara lain, Foundation, Make Up Kit, Eye Shadow, Lipstick, Eyeliner, Mascara dan lainnya. Dengan berbagai merek, di antaranya Peach dan Polabis.

Berdasarkan data perseroan yang tercatat Direktorat Jenderal Adminsitrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), modal dasar perusahaan ini sebanyak Rp12 miliar dengan modal yang ditempatkan senilai Rp3 miliar.

Adapun perusahaan ini dikendalikan oleh satu komisaris bernama Andy Lesmana dan satu direktur bernama Kartono. Keduanya memiliki saham senilai Rp1,5 miliar atau 1.500 lembar saham.

Bisnis berupaya mengonfirmasi perusahaan yang bersangkutan dengan mengirimkan pertanyaan melalui surat elektronik yang tercantum dalam laman resmi Jenny Cosmetics. Namun hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban resmi dari perusahaan tersebut.

Sementara itu, dalam kasus Kementerian Pertahanan, data yang diperoleh Bisnis menyebutkan bahwa kementerian Prabowo Subianto itu juga masuk dalam jajaran 10 terbesar importasi alat penanganan Covid-19.

Dalam catatan Bisnis, pada 8 September 2020 total importasi alat Covid-19 yang diimpor Kemenhan hanya sebesar US$12,6 juta. Sementara itu, data Agustus 2021, impor oleh Kemhan mencapai US$18,7 juta.

Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anhar Simanjuntak membenarkan informasi tersebut. Dia mengatakan bahwa importasi alat penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) ditujukan untuk kebutuhan Rumah Sakit TNI di seluruh Indonesia.

“Untuk kebutuhan penanganan Covid-19 di RS TNI dan Kemhan,”jelasnya.

Usut punya usut, dominasi swasta dalam importasi alat covid-19 bermula dari kelangkaan alat penanganan covid - 19 pada Maret 2020 lalu. Saat itu, alat penanganan covid-19 yang tersedia masih sangat terbatas.

Pemerintah kemudian berinisiatif untuk mempermudah impor sekaligus memberikan fasilitas fiskal atas importasi APD & barang penanganan covid - 19 lainnya seperti test kit dan peralatan medis. Mekanismenya dengan menyusun Standard Operational Procedure (SOP) antara BNPB & Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).

Kebijakan yang mulai berlaku tanggal 20 Maret 2020 memberikan iming-iming pembebasan bea masuk maupun pajak impor untuk importir, instansi pemerintah atau Badan Layanan Umum (BLU), dan yayasan atau lembaga nonprofit (sosial keagamaan).

Selain fasilitas fiskal, kemudahan bagi importir ini juga diberikan dalam bentuk pelayanan. Importir cukup memperoleh rekomendasi dari BNPB untuk melakukan impor dan mendapatkan fasilitas fiskal.

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea & Cukai Kemenkeu Syarif Hidayat mengatakan bahwa sesuai mekanisme yang diatur, dalam konteks importasi alat penanganan Covid - 19, otoritas tak pernah memandang latar belakang perusahaan. 

"Pada prinsipnya importasi PCR sama dengan importasi umum. Namun terkait dokumen lartas terdapat kemudahan perizinan dengan mengajukan pengecualian tata niaga impor ke BNPB," katanya belum lama ini.

Tangan-Tangan Para Konglomerat

Pandemi tidak hanya mendatangkan bencana, tetapi juga membuka peluang bagi segelintir orang. Termasuk dalam proses pengadaan dan pelayanan tes PCR.

Salah satu perusahaan atau pihak yang menyediakan layanan PCR adalah PT Genomik Solidaritas Indonesia. Perusahaan ini mengklaim memiliki laboratorium terbesar dan tercepat dalam pelayanan tes PCR.

Ibarat cerita legenda, GSI mampu menyelesaikan pembangunan laboratorium uji spesimen Covid-19 terbesar di Indonesia dalam waktu singkat dengan kapasitas dalam menguji mencapai 5.000 per hari.

Dirut GSI Nino Susanto tahun lalu menyampaikan  pembangunan laboratorium di Jl Simatupang, Jakarta Selatan itu, dilakukan secara singkat di tengah pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Ibu Kota.

“GSI Lab ini dibangun kurang dari 6 Minggu. Saat Jakarta lagi PSBB. Tetapi, kualitas fasilitas dan tempatnya sudah sesuai standar Biosafety level 2,” ujarnya di sela-sela peresmian laboratorium tersebut di Jakarta, Rabu (12/8/2020).

Sayangnya waktu itu Nino enggan memastikan berapa besar investasi yang dikeluarkan untuk membangun laboratorium tersebut.

“Ini kan kewirausahaan sosial. Dalam aktivitasnya impact sosial menyehatkan masyarakat. Pendapatan akan dikembalikan untuk menyehatkan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Meski demikian, data perusahaan yang tercantum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), menunjukkan afiliasi GSI dengan sejumlah konglomerat.

Hal itu ditandai dengan masuknya sejumlah perusahaan milik konglomerat atau pejabat yang ikut dalam 'bisnis' di GSI antara lain. Ketiganya antara lain Arsjad Rasjid, Boy Tohir, dan Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam catatan Bisnis, PT GSI berkedudukan di Graha Mitra Lantai 4 Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav 21. Alamat ini sama dengan alamat Yayasan Indika Untuk Indonesia.

Yayasan Indika Untuk Indonesia atau Indika Foundation adalah yayasan yang terafiliasi dengan perusahaan tambang batu bara PT Indika Energy Tbk (INDY). Situs resmi Indika Foundation menyebutkan bahwa yayasan didirikan oleh emiten batu bara tersebut pada tahun 2017.

Indika Foundation adalah pemegang saham pengendali dari PT GSI. Mereka menguasai 932 lembar emas atau senilai Rp932 juta. Adapun PT GSI tercatat memiliki modal dasar sebesar Rp4 miliar dengan modal yang ditempatkan senilai Rp2,96 miliar.

Yayasan Adaro Bangun Negeri yang terafiliasi dengan PT Adaro Enegy Tbk (Tbk), perusahaan milik saudara kandung Menteri BUMN Erick Thohir, Boy Thohir menempati peringkat kedua. Yayasan milik Adaro itu memiliki 485 saham atau senilai Rp485 juta.

Sementara itu, sisanya dikuasai oleh dua perusahaan yang terafiliasi langsung dengan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA). TBS Energy kerap dikaitkan dengan nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Perusahaan Luhut yakni PT Toba Sejahtera memiliki 10 persen saham di TBS Energi Utama.

Adapun kepemilikan saham Luhut di PT GSI diwakili oleh PT Toba Sejahtera dan anak usaha TBS Energi Utama PT Toba Bumi Energi. Keduanya memiliki saham masing-masing 242 saham atau senilai Rp242 juta. (Lebih lengkap soal komposisi saham lihat tabel).

Sayangnya, Bisnis.com belum memperoleh jawaban resmi dari pihak terkait PT GSI terkait afiliasinya dengan para konglomerat tersebut. Bos INDY Arsjad Rasjid belum membalas permintaan konfirmasi tertulis yang disampaikan oleh Bisnis.com.

Meski demikian, Juru Bicara Luhut Jodi Mahardi membenarkan bahwa Toba Sejahtera yang terafiliasi dengan Menko Luhut berada di dalam struktur kepemilikan saham PT GSI. Keterlibatan Luhut atas ajakan dari pihak Group Indika, Adaro, dan Northstar,

Hanya, lanjut Jodi, partisipasi Luhut di GSI ini adalah bagian dari usaha untuk membantu penanganan pandemi pada masa-masa awal dulu, selain donasi pemberian alat-alat tes PCR dan reagen yang diberikan kepada fakultas kedokteran di beberapa kampus.

“Jadi tidak ada maksud bisnis dalam partisipasi Toba Sejahtera di GSI, apalagi Pak Luhut sendiri selama ini juga selalu menyuarakan agar harga tes PCR ini bisa terus diturunkan sehingga menjadi semakin terjangkau buat masyarakat,” jelasnya.

“Perlu disadari bahwa kebijakan tes PCR untuk pesawat ini memang diberlakukan untuk mengantisipasi Nataru ya,” tegasnya.

Akrobat Harta Tes PCR

Revisi harga eceran tertinggi (HET) tes PCR berulang dilakukan pemerintah. Hal itu membuat publik dibuat bingung. Apa pasal? Harga tes usap yang semula mencapai jutaan rupiah, ternyata dapat ditekan hingga Rp275.000 saja.

Belum lagi, penurunan HET tersebut diikuti dengan kebijakan wajib menunjukan hasil tes PCR untuk masyarakat yang ingin berpergian dengan seluruh moda transportasi umum, baik darat, laut, maupun udara.

Di luar segala kebigungan masyarakat, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengirim surat kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan standar harga, dan mutu bahan medis habis pakai seiring dengan kebijakan HET yang dipatok sebesar Rp275.000 dan Rp300.000 bagi alat Polymerase Chain Reaction (PCR).

Permintaan standardisasi harga dan mutu bahan medis habis pakai itu di antaranya menyasar pada reagen kitviral transport medium (VTM), alat pelindung diri (APD), dan kebutuhan langsung atau tidak langsung penanganan pandemi Covid-19.

Sekretaris Jenderal ARSSI Ichsan Hanafi mengatakan standardisasi harga dan mutu bahan medis habis pakai itu diharapkan dapat menekan biaya pelayanan kesehatan rumah sakit swasta seiring dengan penetapan HET alat PCR beberapa waktu terakhir.

“Kita mencari reagen yang bisa lebih ekonomis lagi untuk menyesuaikan HET itu, supaya terstandar reagen dan alat lainnya, jadi dimasukkan saja di e-katalog sehingga pemerintah bisa membantu ke importir supaya harganya bisa menyesuaikan,” kata Ichsan melalui sambungan telepon, Minggu (31/10/2021).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy Teguh menjelaskan perkembangan harga PCR tidak lepas dari kondisi ketersediaan alat untuk pengujian virus dan kebutuhan masyarakat.

Pada awal pandemi, produsen reagen virus Sars-Cov-2 cenderung terbatas, sedangkan permintaan di berbagai negara meningkat.

Ketika pemerintah mulai menetapkan harga batas atas PCR mandiri di level Rp900.000 pada Agustus 2020, Randy mengatakan harga reagen yang ada di e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) berkisar Rp400.000 sampai Rp500.000.

“Saat itu hanya ada 5 sampai 10 merek reagent PCR, harga masih cukup tinggi,” tambahnya.

Saat harga batas atas kembali disesuaikan menjadi Rp450.000 sampai Rp550.000, Randy mengatakan harga reagen di LKPP telah menyentuh sekitar Rp200.000 dengan merek yang beredar mencapai 52 jenis.

Dia justru menduga penetapan HET pada layanan tes PCR membatasi dinamika harga. Dia menengarai penyedia layanan tes menetapkan harga di batas tertinggi ketika harga sejumlah struktur sejatinya telah turun.

“Kami tengarai yang jadi masalah karena ada pembatasan harga. Saat harga dibatasi Rp900.000 pada 2020, mungkin sebenarnya saat Januari atau Februari 2021 sudah ada penyesuaian harga reagen. Mungkin karena dibatasi, banyak yang menentukan biaya layanan mengikuti harga tertinggi. Mekanisme pasar tidak terjadi.”

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati mengatakan kementeriannya masih menghimpun sejumlah informasi yang relevan terkait dengan biaya layanan kesehatan yang menjadi kendala rumah sakit swasta menyusul kebijakan HET alat deteksi Covid-19 itu.

“Kami akan tindaklanjuti, kami masih koordinasi informasi,” kata Widyawati melalui pesan tertulis, Minggu (31/10/2021).

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Hendri T. Asworo
Previous

Setelah 7 Tahun Jokowi 'Bertahta'

back-to-top
To top