bisnis-logo

Stories

Balada Hunian Milenial, Kala Rumah Tengah Kota Sebatas Impian

Impian generasi milenial memiliki hunian di tengah kota menjadi sebatas angan. Kurangnya hunian dan rendahnya daya beli membuat daerah pinggiran lebih menawan.

23 Oktober 2023

A+
A-

Mati-matian, semua rela dilakukan untuk bisa membayar cicilan rumah idaman yang mulai diambilnya pada 2017. Perjalanan Depok-Jakarta rela ditempuh saban hari untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tentu juga menambal angsuran.

Sedikit bercerita tentang perjuangannya, Ciputri, seorang pegawai swasta, yang memiliki mimpi sederhana untuk memiliki rumah sendiri.

Bermodalkan tabungan yang cukup, dia memberanikan diri untuk memulai kredit pemilikan rumah (KPR). Rumah yang disasarnya berlokasi di Depok, Jawa Barat, meski pekerjaannya kala itu berada di Jakarta Barat.

Tingginya harga hunian di Ibu Kota membuatnya lebih menyasar daerah-daerah penyangga. Selain itu, mayoritas keluarganya juga bertempat tinggal di Depok.

"Pertimbangan ku dekat dengan keluarga, yang kedua udaranya lebih baik dari Jakarta, transporasinya juga tersedia," ujarnya kepada Bisnis, Senin (23/10/2023).

Setelah rumah idaman dibidik, ikhtiar Ciputri untuk mendapatkan rumah berlanjut dengan pencarian bank yang akan memfasilitasi KPR.

Dengan tabungan seadanya, dia harus lebih selektif untuk mencari bank yang memiliki fasilitas kredit yang lebih ramah ke kantongnya.

"Nyari bank yang sesuai dengan kantong kita, zaman aku masih jarang DP 0%, zaman itu masih 30%, aku punya uangnya cukup-cukup jadi nyari bank yang DP-nya 10%," ungkapnya.

Tidak sedikit penolakan yang dia dapat. Dari banyaknya pengajuan yang dikirimkan, tidak semuanya mendapatkan lampu hijau. Ada yang ditolak, ada juga yang tidak sesuai dengan pendapatannya.

"Pas diterima mereka [perbankan] cuma approve 7 tahun, yang artinya bisa saja 7 tahun, cuma jadi tidak makan karena per bulannya tinggi," imbuhnya.

Akhirnya, skema kredit yang sesuai dengan kantongnya pun didapat, dari salah satu bank. Uang muka sebesar 10%, dengan tenor angsuran yang panjang sesuai keinginannya.

Namun, perjuangannya belum selesai sampai di situ. Dengan skema bunga angsuran flat selama 3 tahun, ditambah pandemi Covid-19, telah membuat kisah baru.

"Pas pandemi sempat naik ke 5 juta, jadi kita ajuin take over KPR, kurang lebih kaya KPR awal, kita nyari-nyari bank, struktur bagaimana yang dia tawarkan, ngurus ke BPN," jelasnya.

Potret Kekurangan Hunian

Kekurangan atau backlog perumahan masih menjadi potret penyediaan hunian di kota-kota besar. 

Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) mencatat angka backlog perumahan di Indonesia pada 1 dasawarsa terakhir hanya susut 6%. 

Ketua Umum DPP REI Joko Suranto mengatakan merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog perumahan pada 2010 tercatat sebesar 13,5 juta unit, sementara pada 2020 angkanya terpantau masih berada di level 12,7 juta unit. 

Dengan tingginya angka kelahiran, besarnya demografi penduduk Indonesia, dan probabilitas penduduk tinggal di perkotaan yang akan mencapai 66,6% pada 2035 maka backlog perumahan bisa menjadi persoalan serius. 

“Dari data-data tersebut, dapat dipastikan angka backlog akan sulit diselesaikan jika tidak ditangani secara benar dan tepat,” ujarnya.

Joko menilai, guna mengantisipasi tingginya tingkat urbanisasi di perkotaan, maka diperlukan ruang-ruang yang besar untuk bisa menyelesaikan pekerjaan rumah itu.

Menurutnya, kebutuhan lahan untuk perumahan di perkotaan yang semakin meningkat, sangat membutuhkan penataan ruang yang konsisten sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih aturan. 

Joko pun menambahkan, sulitnya perizinan bagi para pengembang untuk membangun perumahan juga ditenggarai sebagai penyebab adanya backlog perumahan.

Di sisi lain, rendahnya anggaran perumahan yang dikucurkan Kementerian PUPR juga menjadi momok bagi kementerian yang mendapatkan salah satu kucuran dana APBN terbesar tahun ini senilai RP154,36 triliun.

“Akibat kurang terencananya program perumahan, maka biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat rumah masyarakat jauh dari tempat kerja justru lebih besar lagi, yakni mencapai Rp71,4 triliun atau 2,2 juta liter per hari. Anggaran sebesar itu dipakai pemerintah untuk menyuntik subsidi BBM karena macet yang parah di jalan raya terutama di Jabodetabek,” kata Joko.

Beda Data Backlog Rumah

Kementerian PUPR tidak meyakini data backlog perumahan saat ini telah mencapai 12,7 juta. Data itu pun akan divalidasi agar nantinya tidak menjadi persoalan.

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto mengatakan pihaknya akan mendalami betul kebenaran data backlog perumahan, terlebih memasuki tahun politik.

Iwan menilai kemungkinan besar angka kesenjangan kepemilikan rumah tersebut tidak mencapai 12,7 juta. Untuk itu, pihaknya berkomitmen untuk memperdalam metodologi yang digunakan dalam pengumpulan data backlog perumahan tersebut.

"Karena masuk tahun politik, saya tidak ingin [data backlog] dipolitisasi. Karena bagi kami data akurat itu penting," ujar Iwan.

Iwan juga menegaskan proses menekan backlog perumahan dinilai bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, Kementerian PUPR mencatat bahwa saat ini terdapat penambahan 700.000 hingga 800.000 keluarga baru setiap tahunnya.  

"Saya juga belum tahu berapa lama [proses validasi data backlog akan berlangsung], tapi kita secepatnya akan konsolidasi, yang penting harus buka datanya dulu metodologi datanya seperti apa kemudian akurasi datanya bagaimana," tambahnya.

Menurut Iwan Suprijanto, tantangan dalam penyediaan perumahan, khususnya di Indonesia masih sedemikian besar. 

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan sebanyak 70% rumah tangga menempati hunian layak baik pada 2024 yang tentu dengan intervensi langsung maupun tidak langsung dari pemerintah.

Iwan mengatakan bantuan perumahan dari pemerintah sejak 2015 selalu ada dan bahkan meningkat. Beberapa program yang telah dijalankan oleh Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Perumahan sebagai upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap rumah layak huni dan terjangkau meliputi Program Satu Juta Rumah, penanganan Rumah Tidak Layak Huni melalui pembangunan Rumah Susun, Rumah Khusus, dan Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya, serta penyediaan hunian bagi ASN, TNI dan Polri di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

“Capaian Program Sejuta Rumah sebagai salah satu upaya untuk percepatan penyediaan perumahan pada 2015-2022 mencapai 7,98 juta unit, sedangkan capaian PSR tahun 2023 hingga Juli sebanyak 480.438 unit,” kata Iwan Suprijanto. 

Sementara itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuldjono mengungkapkan bahwa pihaknya terus berupaya menekan angka backlog perumahan yang dilaporkan mencapai 12,7 juta unit. 

PUPR akan bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mewujudkan visi Indonesia 2045 yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya dengan menghadirkan hunian layak dan menekan angka backlog yang ada. 

"Saya kalau itu sih [siasat mengurangi backlog] nunggu Bappenas saja. Karena kalau sampai 2045 itu perencanaannya makro, jadi itu nanti kita ikuti strategi yang disiapkan dari Bappenas," jelasnya beberapa waktu lalu.

Daya Beli Hunian Belum Bergairah

Di tengah program-program yang dirancang pemerintah, impian untuk memiliki rumah idaman belum seluruhnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. 

Naiknya suku bunga dan tingginya kurs rupiah terhadap dolar AS menjadi masalah lain bagi masyarakat untuk memiliki rumah.

Director Leads Property Darsono Tan menilai kondisi itu telah membuat harga hunian cenderung mengalami kenaikan. Pasalnya, sejumlah bahan bangunan yang masih diimpor akan terimbas dengan adanya sentimen tersebut.

Menurutnya, dengan naiknya harga jual rumah, daya beli masyarakat justru akan semakin terbatas.

"Kemampuan generasi milenial ini sangat terbatas. Makanya kita lihat banyak developer yang membuat subsidi uang muka atau DP 10%, tapi DP 10% ini bisa dicicil beberapa kali dan juga ada program KPR otomatis di approved," jelasnya.

Darsono menambahkan, harga hunian di perkotaan yang kian melejit, membuat para calon membeli lebih membidik daerah-daerah penyangga, begitu juga para pengembang.

Harga lahan yang relatif lebih murah dari kota Jakarta, wilayah Bekasi, Tangerang, dan Bogor akan menjadi primadona untuk dikembangkan secara masif bagi para pengembang.

"Semuanya di kembangkan oleh swasta, yang kami catat. Pemerintah baru dalam pemberian insentif regulasi saja," jelasnya.
 

Penulis : Muhammad Ridwan, Alifian Asmaaysi
Editor : Muhammad Ridwan
Previous

Krisis Pangan Dari Zaman Kolonial hingga Milenial

back-to-top
To top